Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Pencinta tulisan renyah nan inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waspada Provokasi! Bersuaralah Tanpa Anarki!

31 Agustus 2025   06:26 Diperbarui: 31 Agustus 2025   10:20 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rakyat menyuarakan harapan, menuntut keadilan. Demo tanpa anarki, suara yang tak bisa diabaikan. (Foto: Pyae Sone Htun/Unsplash)

"Waspada Provokasi!"

Kalimat itu kembali menggema setiap kali rakyat turun ke jalan menyuarakan keresahan mereka. Sejarah terlalu sering membuktikan: ketika suara tulus masyarakat bergema, selalu ada tangan-tangan lain yang mencoba menyusup, mengaburkan makna perjuangan. 

Ada yang mendorong isu etnis dan agama untuk memecah belah, ada yang menyulut kerusuhan agar gerakan dicap kriminal, atau sekadar melontarkan disinformasi di media sosial untuk memancing emosi.

Demo adalah bagian sah dari demokrasi, ruang di mana rakyat mengingatkan wakilnya bahwa mandat tidak boleh dipermainkan. 

Namun, bila provokasi dibiarkan, ia akan menjerumuskan kita ke jurang anarki—dan ketika itu terjadi, yang paling rugi adalah rakyat sendiri.

Luka yang Bernama Tunjangan

Yang membuat luka rakyat kian dalam adalah kabar tentang berbagai tunjangan dan fasilitas pejabat, khususnya DPR, yang nilainya mencengangkan.

Di atas gaji pokok yang sudah tinggi, mereka masih menerima aneka tunjangan rumah, kendaraan, komunikasi, hingga wacana tambahan insentif lain. Semua itu terdengar janggal, bahkan menyakitkan, bila dibandingkan dengan kenyataan sehari-hari rakyat.

  • Petani yang sulit menjual hasil panen dengan harga layak.
  • Buruh yang upahnya pas-pasan dan tidak cukup untuk biaya sekolah anak.
  • Keluarga miskin yang harus menimbang ulang biaya makan, transportasi, bahkan berobat ke puskesmas.

Kontras inilah yang membuat rakyat memilih turun ke jalan. Bagi mereka, tunjangan yang berlebihan bukan hanya masalah anggaran, melainkan simbol ketidakadilan.

Wakil rakyat seakan hidup di dunia berbeda dari rakyat yang diwakili.

Ketika Ruang Dialog Mati, Jalanan Menjadi Solusi

Demonstrasi lahir ketika ruang formal tidak lagi memberi harapan. Jalanan menjadi alternatif, tempat suara-suara yang terabaikan mencari gema.

Pada hakikatnya, demo adalah koreksi sosial—cara rakyat mengingatkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak istimewa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun