Aku tak pernah berniat jatuh hati untuk kedua kalinya. Sama sekali tak pernah terlintas untuk menduakan pasangan hidupku.Semua terjadi begitu saja—tanpa rencana, tanpa niat, tanpa aba-aba. Dan, di tengah kekosongan itulah, pertanyaan tentang pembenaran mulai menghantuiku.
Aku tahu, di mata kalian ini mungkin hanya pembenaran. Barangkali memang begitu.
Namun, andai saja kalian bisa merasakan ruang hampa yang diam-diam menganga di hatiku, melihat dari sudut pandang di mana aku berpijak—mungkin kalian akan mengerti mengapa aku goyah.
Semua bermula dari ruang-ruang kosong yang tak kusadari telah lama menganga.
Bukan karena pasanganku tak mencintaiku. Ia mencintaiku ... dengan caranya sendiri. Tapi, aku tak tahu sejak kapan aku mulai merindukan percakapan yang bukan sekadar rutinitas. Sentuhan yang bukan sekadar kewajiban. Pandangan yang bukan sekadar formalitas.
Lalu, datanglah dia. Tanpa banyak kata. Ia hadir seperti air yang menyusup celah—diam-diam tapi pasti. Ia mendengarkan saat aku bahkan tak sadar sedang berbicara. Ia memperhatikan hal-hal kecil yang tak pernah kupikir penting.
Dan di situlah aku goyah.
Bukan karena aku ingin mengkhianati. Tapi karena aku lupa bagaimana rasanya dihargai.
Aku tahu ada garis yang tak boleh kulewati. Tapi diam-diam, aku melangkah juga.
Awalnya hanya obrolan ringan. Lalu candaan. Lalu rahasia-rahasia kecil yang hanya kami berdua tahu. Dan entah bagaimana, aku mulai mencari-cari alasanku sendiri.
"Kami hanya dekat, bukan selingkuh."
"Aku butuh teman bicara."
"Toh tak ada yang tahu."
Namun, jauh di dalam diriku, aku tahu ini bukan sekadar tentang teman bicara. Ini tentang aku yang sedang melarikan diri. Aku tahu, setiap langkah kecil yang kuambil menjauhkan aku dari rumahku sendiri.
Aku tak tahu pasti kapan garis itu kulanggar. Awalnya hanya percakapan ringan. Lalu menjadi candu. Hingga akhirnya aku kehilangan batas antara perhatian dan pengkhianatan.