Dan sekarang, aku merasa kotor. Bukan oleh tubuh, tapi oleh niat. Oleh ketidaktegasan, oleh diamku saat seharusnya aku menolak.
Dan malam-malam pun mulai dipenuhi rasa bersalah.
Aku memeluk pasangan hidupku dengan tubuh yang sama, tapi hati yang tak lagi utuh. Aku menatap matanya sambil diam-diam bertanya, "Apakah kau tahu?"
Ternyata mengkhianati bukan hanya soal tindakan. Kadang, cukup dengan membiarkan hati pergi diam-diam, seseorang bisa patah ... bahkan sebelum tahu dirinya disakiti.
Aku menyesal. Tapi bukan karena takut ketahuan. Bukan karena rasa bersalah yang datang dari luar.
Aku menyesal karena aku tahu—aku telah pergi terlalu jauh dari janji setiaku.
Aku telah mengejar hangat yang semu, dan meninggalkan pelukan yang selama ini tulus menantiku pulang.
Aku telah menukar kesetiaan dengan ketergesaan. Menukar pelukan sabar dengan pelarian sesaat.
Dan ternyata... yang kurindukan selama ini bukan orang lain. Aku merindu diriku yang pernah memilih satu hati, dan berjanji tak akan meninggalkannya.
Kupadamkan layar ponsel. Kutatap bayanganku di jendela. Mata itu ... seperti tak mengenal siapa dirinya.
Aku tahu, tak bisa kembali ke titik sebelum semua ini. Tapi aku masih bisa memilih ke mana langkahku sekarang. Dan aku memilih kembali menggandengmu.
Kusapu lantai ruang tamu, pelan-pelan. Ku-pel ulang bagian yang sama, seakan dengan itu aku bisa menghapus jejak yang tak diinginkan. Kuingat-ingat lagi, kapan terakhir aku melakukan ini karena cinta, bukan karena rutinitas.
Aku ingin memperbaiki, bukan demi citra, bukan demi penyesalan yang pura-pura—tapi karena aku akhirnya sadar: aku telah mengambil sesuatu yang bukan hakku untuk dimiliki, dan mengabaikan yang selama ini kubiarkan terluka dalam diam.
Aku ingin memulihkan, bukan karena takut kehilangan, tapi karena aku sadar: tak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan diri sejatiku.
Kucoba menyeduh teh kesukaannya. Kali ini kubuat lebih manis. Mungkin tak sebanding dengan getir yang sudah kualirkan, tapi setiap perbaikan harus dimulai, bukan?
Aku ingin dihargai lagi, tapi aku tak bisa menuntut itu sebelum belajar menghargai lebih dulu. Aku yang harus menyalakan lagi percikan kecil di antara kami. Aku yang harus berhenti bersembunyi di balik alasan dan luka lama.
Aku telah jatuh. Tapi aku belum hancur. Dan aku akan bangun. Untuknya. Untukku.
Aku sadar, cinta tak pernah hilang. Ia hanya diam, menunggu untuk disapa kembali.