Catatan penulis:
Artikel ini merupakan refleksi lanjutan dari tulisan sebelumnya berjudul “Pulang ke Rumah Hati”, tentang inner child dan keberanian menyapa luka masa kecil.
Saat hendak mengunggah artikel baru, aku mencoba membuat ilustrasi tentang inner child. Aku bayangkan seorang perempuan dewasa duduk di depan cermin; di dalamnya, bayangan anak kecil—dirinya sendiri—menangis.
Namun, sistem menolak. “Terlalu sensitif,” katanya.
Aku terdiam … bahkan sistem digital pun tak memberi ruang pada luka kecil itu.
Kupikir, hanya dunia nyata yang sering begitu.
Kita tumbuh dengan kalimat-kalimat seperti:
“Sudah, jangan diingat-ingat lagi.”
“Itu masa lalu, ngapain dibuka lagi.”
“Kamu kan sudah besar.”
Tapi anak itu ... masih ada!
Di sudut batin yang diam.
Menunggu, bukan untuk dikasihani—
hanya untuk ditemui.
Puisi Ini, Sebuah Surat Pulang
Hai, aku di masa kecil.
Maaf kalau baru sempat menyapamu.
Kalimat pembuka ini sederhana, tetapi menggugah.
Ia menyuarakan sebuah kesadaran baru—pengakuan bahwa kita pernah mengabaikan bagian rapuh dari diri sendiri, tanpa sengaja. Padahal, saat itu, kita hanya butuh dipeluk, bukan dipaksa mengerti semuanya sendiri.
Aku tahu, kadang kau menangis diam-diam—
takut dimarahi karena terlalu sensitif, terlalu takut, terlalu “bukan anak kuat”.
Banyak dari kita dibesarkan dalam narasi bahwa “anak yang baik itu kuat.” Tidak cengeng. Tidak terlalu peka. Tidak terlalu banyak bertanya. Lalu, air mata terbiasa kita sembunyikan. Kita percaya, perasaan bukanlah sesuatu yang layak diberi ruang.
Padahal, kita hanya butuh dipeluk, bukan dipaksa mengerti semuanya sendiri.