Mohon tunggu...
Dionisius Yuan Stefanus
Dionisius Yuan Stefanus Mohon Tunggu... Penulis

Menulis yang terdengar, memotret yang terasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Adab Pelajar yang Kian Menurun, Enggan Disalahkan dan Selalu Ingin Dimengerti

16 Oktober 2025   22:23 Diperbarui: 16 Oktober 2025   22:22 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa yang Salim dengan Para Gurunya, Memperlihatkan Sopan Santun dan Adab. Sumber: Islampos.com

Dan krisis ini tampak jelas ketika kita melihat bagaimana pelajar kini berani menentang otoritas guru dan bahkan “bermain korban” saat diberi teguran.


Kebebasan Tanpa Batas: Bertindak Seenaknya dan Konsekuensi yang Kabur

Kini, banyak pelajar merasa bebas melakukan apa pun atas nama ekspresi diri. Dari membolos hingga merokok di area sekolah, semua dianggap “hak pribadi.” Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana mereka bereaksi saat ditegur. Alih-alih introspeksi, mereka justru playing victim, mengaku disakiti, tidak dimengerti, atau dipojokkan oleh guru.

Kasus yang sempat ramai belakangan ini jadi contoh nyata. Seorang kepala sekolah di salah satu daerah di Indonesia diduga menampar siswa yang ketahuan merokok di sekolah. Namun setelah kejadian itu, murid tersebut mengadu ke orang tuanya dan berita berkembang cepat di media sosial. 

Alih-alih membicarakan pelanggaran murid yang merokok di area sekolah, para murid malah memperdebatkan tindakan kepala sekolah yang “berlebihan.” Sang guru pun dilabeli keras, bahkan “abusive.” Akhirnya, substansi pendidikan, tentang disiplin, tanggung jawab, dan keteladanan, justru hilang dalam kebisingan lingkungan sekolah.

Terlebih lagi, orang tua yang anaknya ketahuan merokok tidak mempermasalahkan apabila anaknya merokok di sekolah. Mereka malah mempermasalahkan tindakan disipliner yang dilakukan oleh kepala sekolah. 

Untungnya, publik dan media mendukung penuh kepala sekolah ini. Namun, ada hal yang sangat disayangkan, hal tersebut adalah para murid yang mendukung penuh seorang murid merokok di sekolah, tindakan yang memang jelas salah. 

Kondisi seperti ini membuat banyak tenaga pendidik merasa serba salah. Menegur terlalu keras bisa dianggap melanggar hak anak, tetapi terlalu lunak berarti menoleransi pelanggaran. Malahan, tenaga pendidik akan semakin diremehkan. Pada akhirnya guru akhirnya lebih memilih diam atau menegur sekadarnya, tanpa tindakan tegas. Akibatnya, disiplin kehilangan taringnya. Pelajar tidak lagi belajar menghargai batas, karena batas itu sendiri kini mudah dinegosiasikan oleh opini publik.

Fenomena “ingin bebas tanpa konsekuensi” inilah yang menandai generasi baru siswa yang tumbuh dalam kultur instan. Mereka mudah tersinggung, tetapi sulit diingatkan. Dan dari sinilah lahir generasi yang ingin selalu dimengerti, namun enggan memahami orang lain.

Ingin Dimengerti, tapi Tidak Mau Mengerti: Kontradiksi Sikap Pelajar

Banyak pelajar kini menuntut empati tanpa mau memberi empati. Mereka ingin guru memahami bahwa mereka lelah, tertekan, atau sedang punya masalah pribadi, tapi jarang berpikir bahwa guru pun manusia, yang bekerja di bawah tekanan besar untuk mendidik, menilai, dan membimbing ratusan siswa sekaligus.

Tentu, menjaga kesehatan mental itu penting, tapi bukan berarti semua bentuk teguran dianggap kekerasan. Justru, pendidikan yang sehat seharusnya melatih pelajar menghadapi kritik dan belajar dari kesalahan. Sayangnya, yang banyak terjadi justru sebaliknya: kritik dianggap serangan, teguran dianggap penghinaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun