Akibatnya, relasi antara guru dan murid menjadi kaku dan rapuh. Guru takut menegur, murid merasa tidak mau dan tidak bisa salah. Pendidikan kehilangan nilai transformatifnya, berubah menjadi ruang negosiasi emosi, bukan ruang pembentukan karakter.
Jika fenomena ini dibiarkan, sekolah bukan lagi tempat menanamkan nilai, melainkan tempat menyeimbangkan ego. Dan ketika itu terjadi, kita harus mulai bertanya: di mana peran orang tua, dan bagaimana sistem pendidikan kita ikut melanggengkan ketimpangan empati ini?
Akar Masalah: Apa yang Seharusnya Kita Tinjau Ulang?
Menurunnya adab pelajar tentu tidak muncul tiba-tiba. Ada banyak faktor yang saling bertautan. Pertama, keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama sering kali gagal menanamkan keteladanan. Banyak orang tua yang sibuk bekerja, menyerahkan tanggung jawab moral sepenuhnya kepada sekolah, sementara anak tumbuh tanpa pembiasaan etika di rumah.
Kedua, media sosial telah mengubah wajah komunikasi remaja. Bahasa yang kasar dan sinis menjadi norma baru. Influencer yang vokal tapi dangkal sering dijadikan panutan, bukan karena kebijaksanaannya, tetapi karena keberaniannya melawan arus. Dunia digital menanamkan gagasan bahwa yang penting adalah “berani bersuara,” bukan “bertanggung jawab atas suara.”
Ketiga, sekolah juga ikut bersalah. Pendidikan karakter sering kali hanya menjadi jargon dalam kurikulum. Nilai ujian masih menjadi tolok ukur utama, bukan nilai perilaku. Guru pun terjebak dalam birokrasi pendidikan yang kering nilai, di mana laporan dan administrasi lebih penting daripada bimbingan moral.
Dan keempat, ada ketakutan sistemik di kalangan guru. Di era kamera dan media sosial, setiap teguran bisa direkam, disebarkan, dan ditafsirkan secara salah. Guru akhirnya memilih jalan aman, tidak menegur sama sekali. Bahkan video benar pun, jika dinarasikan macam-macam akan menjadi salah, dan pada akhirnya sang guru pun yang menjadi sasaran bully.
Dari seluruh faktor itu, jelas bahwa penurunan adab bukan sekadar masalah siswa, tapi krisis budaya pendidikan secara menyeluruh. Karena itu, pembenahan pun harus dimulai dari seluruh pihak, rumah, sekolah, dan masyarakat. Dan untuk melangkah ke sana, kita perlu tahu dulu: seperti apa jalan perbaikannya?
Apa yang Harus Dilakukan: Jalan Perbaikan Adab Pelajar
Pertama, sekolah harus berani mengembalikan pendidikan adab dan karakter sebagai inti proses belajar. Adab tidak bisa hanya diajarkan di jam agama atau PPKn. Ia harus hidup di setiap sudut sekolah: di kantin, di upacara, di koridor, bahkan di dunia maya siswa.
Kedua, kita perlu memperkuat literasi emosional. Pelajar harus belajar bagaimana menerima kritik, menahan emosi, dan memahami bahwa tidak semua teguran berarti permusuhan. Sekolah bisa mengadakan sesi refleksi atau bimbingan karakter yang membiasakan siswa mendengar dan memahami sudut pandang orang lain.
Ketiga, guru dan kepala sekolah perlu dilindungi secara hukum dan moral ketika menegakkan disiplin. Penegakan aturan bukan bentuk kekerasan, selama dilakukan dengan proporsional. Masyarakat dan orang tua harus berhenti menempatkan guru sebagai “tersangka” setiap kali anaknya menangis.