Mohon tunggu...
Dionisius Yuan Stefanus
Dionisius Yuan Stefanus Mohon Tunggu... Penulis

Menulis yang terdengar, memotret yang terasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Adab Pelajar yang Kian Menurun, Enggan Disalahkan dan Selalu Ingin Dimengerti

16 Oktober 2025   22:23 Diperbarui: 16 Oktober 2025   22:22 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa yang Salim dengan Para Gurunya, Memperlihatkan Sopan Santun dan Adab. Sumber: Islampos.com

Keempat, orang tua perlu hadir lebih dekat. Bukan hanya ketika rapat atau ketika anak bermasalah. Orang tua harus menjadi sumber keteladanan. Tidak ada gunanya sekolah menanam nilai jika di rumah anak melihat contoh kebalikannya.

Dan terakhir, masyarakat harus ikut mengembalikan rasa hormat terhadap profesi guru. Selama kita masih memperlakukan guru seperti buruh nilai dan bukan pembentuk karakter bangsa, maka wajar jika anak-anak tumbuh tanpa arah.

Namun, semua langkah ini tidak akan berarti jika tidak disertai kesadaran bersama bahwa adab adalah fondasi pendidikan. Dan fondasi ini tidak bisa dibangun dalam ruang satu arah, ia membutuhkan komitmen seluruh ekosistem pendidikan.

Refleksi Akhir: Adab sebagai Pondasi, Bukan Sekadar Formalitas

Kita hidup di masa ketika batas antara pengetahuan dan kebijaksanaan semakin kabur. Pelajar hari ini memiliki akses tak terbatas pada informasi , mereka bisa belajar sains dari kanal YouTube terbaik, membaca jurnal internasional lewat ponsel, bahkan mempelajari kecerdasan buatan di usia belasan tahun. Tapi di sisi lain, banyak dari mereka masih belum mampu menghargai perbedaan, menerima kritik, atau menahan diri untuk tidak bertutur kasar.

Di sinilah pentingnya adab sebagai fondasi  peradaban. Adab bukan sekadar “sopan santun” di depan guru, tapi cara seseorang menata dirinya di tengah masyarakat. Adab adalah kemampuan untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya: kapan berbicara, kapan mendengarkan; kapan menuntut hak, dan kapan menunaikan kewajiban. Orang beradab bukan berarti selalu menunduk, melainkan tahu kapan harus tegas dan kapan harus hormat.

Dalam konteks dunia modern yang semakin terbuka, adab justru menjadi nilai yang paling strategis. Dunia kerja masa depan tidak lagi hanya menilai kemampuan akademik, tetapi juga integritas, empati, dan kecerdasan sosial. Banyak perusahaan global kini lebih memilih pekerja yang bisa bekerja sama, menghormati perbedaan, dan tidak mudah tersinggung, daripada yang hanya pintar secara teknis. Dengan kata lain, adab adalah modal sosial di era digital dan globalisasi.

Namun, sayangnya, kemajuan teknologi justru sering mengikis kemampuan dasar manusia untuk berempati. Di ruang digital, kita bisa berdebat tanpa tatapan mata, memaki tanpa rasa bersalah, dan menilai tanpa mengenal. Itulah mengapa pelajar masa kini perlu dibekali bukan hanya dengan kecakapan digital, tapi juga kecakapan moral. Karena di dunia yang semakin kompleks, adab bukan sekadar hiasan, ia menjadi kompas etika agar generasi muda tidak tersesat dalam kebebasan yang tak terbatas.

Adab juga menjadi penyeimbang antara kebebasan dan tanggung jawab. Dunia modern menjanjikan ruang untuk berekspresi, tetapi tanpa adab, ekspresi bisa berubah menjadi agresi. Adab mengajarkan bagaimana menggunakan kebebasan dengan martabat. Ia menuntun seseorang agar tahu batas tanpa perlu diatur secara ketat. Itulah bentuk kematangan yang membedakan manusia terdidik dari manusia berpendidikan. Maka dari itu ada kalimat, bebas yang bertanggung jawab. Kebebasan yang dilakukan sudah seharusnya disertai pertanggungjawaban dari dirimu sendiri. 

Karena itu, membangun kembali adab pelajar bukan tugas nostalgia, tetapi tugas masa depan. Sekolah yang menanamkan adab sejatinya sedang menyiapkan generasi yang tahan banting, bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka tahu cara menghormati. Generasi yang punya empati, tahu sopan santun, dan siap menerima koreksi akan lebih mampu bertahan di dunia kerja, dalam relasi sosial, bahkan dalam kehidupan keluarga.

Jika bangsa ini ingin maju, pendidikan tidak boleh hanya mengejar kecerdasan otak, tapi juga kecerdasan hati. Karena masa depan bukan hanya milik mereka yang paling cepat berlari, tetapi mereka yang paling tahu cara berjalan bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun