Strategi Pendampingan Orang Tua terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dengan ASD: Studi Kasus di TK Bunga Harapan 5, Deket Lamongan
Mirza isnaini Ramadhani1, Ratna Pangastuti2
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
dinimirza82@gmail.com, ratnapangastuti@uinsa.ac.id
ABSTRAK
Autisme Spektrum Disorder (ASD) merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang memengaruhi kemampuan individu dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan berperilaku adaptif. Anak dengan ASD memiliki karakteristik yang bervariasi, mulai dari gangguan bicara, respons sensorik yang berbeda, hingga kesulitan dalam memahami norma sosial. Dalam konteks pendidikan, anak-anak dengan autisme memerlukan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik anak dengan hambatan perkembangan intelektual ringan dan mengidentifikasi metode pembelajaran yang efektif dalam konteks pendidikan inklusif. Subjek penelitian adalah siswi berinisial NA, kelas B TK Bunga Harapan 5, Deket Lamongan. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif melalui observasi dan wawancara mendalam terhadap orang tua anak. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif melalui observasi dan wawancara mendalam terhadap guru dan orang tua di satuan pendidikan inklusif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pembelajaran berbasis visual, penguatan positif, serta dukungan lingkungan sosial yang kondusif sangat berperan dalam mengoptimalkan potensi anak dengan ASD. Disimpulkan bahwa keberhasilan pembelajaran anak autisme tidak hanya ditentukan oleh metode pengajaran, tetapi juga oleh sinergi antara guru, keluarga, dan lingkungan sekolah yang inklusif dan suportif.
Kata Kunci: autisme spektrum disorder, anak berkebutuhan khusus, pendidikan inklusif, strategi pembelajaran, dukungan keluarga.
Â
PENDAHULUAN
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan individu yang memiliki perbedaan dalam aspek perkembangan, baik secara fisik, intelektual, emosional, maupun sosial, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan dan dukungan yang sesuai dengan karakteristiknya. Salah satu kategori dalam klasifikasi ABK adalah anak dengan hambatan perkembangan intelektual ringan. Anak dengan kondisi tersebut cenderung mengalami keterlambatan dalam berbagai aspek perkembangan, termasuk kemampuan bicara, motorik, dan kemandirian, serta memerlukan strategi pembelajaran dan pendampingan yang bersifat individual.
Hasil observasi terhadap seorang anak bernama NA, siswa kelas B di TK Bunga Harapan 5, Deket Lamongan, menunjukkan adanya karakteristik yang sesuai dengan hambatan perkembangan intelektual ringan. Berdasarkan keterangan ibunya, perkembangan NA sejak bayi menunjukkan keterlambatan dibanding anak seusianya. Respons terhadap panggilan kurang, motorik kasar seperti berjalan baru muncul setelah usia 2 tahun, dan kemampuan bicara baru mulai terlihat pada usia 4 tahun. Berdasarkan keterangan dari orang tua, khususnya ibu, perkembangan NA sejak bayi telah menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan anak-anak seusianya. Respons terhadap rangsangan sosial sejak dini tampak kurang, seperti tidak langsung menoleh saat dipanggil atau kurang tertarik saat diajak bermain. Kemampuan motorik kasar seperti berjalan baru berkembang setelah usia 2 tahun, sedangkan kemampuan bicara baru mulai terlihat pada usia 4 tahun.
Orang tua juga mengamati adanya sensitivitas terhadap lingkungan ramai. Saat berada di tempat yang penuh dengan suara atau kerumunan, seperti pasar atau acara keluarga, anak menunjukkan reaksi seperti menutup telinga dan menangis. Hal ini kemudian mendorong orang tua untuk melakukan konsultasi dengan psikolog anak. Pada usia 4 tahun, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa anak mengalami hambatan perkembangan intelektual ringan. Sejak saat itu, proses pendampingan dilakukan secara lebih terarah dengan memasukkan anak ke Sekolah Luar Biasa (SLB) dan mengikuti berbagai bentuk kegiatan edukatif yang sesuai.
Dalam kehidupan sehari-hari, anak telah menunjukkan kemajuan dalam beberapa aspek seperti menyebutkan nama sendiri, menyebut nama orang tua, serta mengenali dan menyanyikan lagu anak-anak. Namun, kemampuan untuk menjawab pertanyaan secara runtut dan menjalin interaksi sosial dengan teman sebaya masih terbatas. Fokus belajar juga relatif pendek, terutama ketika dihadapkan pada kegiatan yang memerlukan konsentrasi seperti menulis atau berhitung. Interaksi sosial lebih mudah terjalin dengan individu yang sudah dikenal dekat, seperti anggota keluarga, sementara dalam situasi sosial baru, anak cenderung pasif atau memilih bermain sendiri.
Peran orang tua, khususnya ibu, sangat signifikan dalam proses pendampingan. Meskipun sempat mengalami kesulitan emosional pada tahap awal menerima kondisi anak, orang tua kemudian menunjukkan sikap positif dengan mengikuti berbagai pelatihan dan penyuluhan mengenai anak berkebutuhan khusus. Pendekatan yang digunakan di rumah bersifat struktural namun fleksibel, misalnya dengan menyediakan jadwal harian bergambar untuk membantu pemahaman rutinitas. Dalam menghadapi perilaku tantrum, orang tua lebih memilih pendekatan yang tenang dan empatik, seperti memeluk, menyanyikan lagu yang disukai anak, atau memberi waktu menenangkan diri sebelum melanjutkan komunikasi.
Orang tua berharap agar anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang mandiri secara bertahap, khususnya dalam menjalankan aktivitas dasar seperti makan, berpakaian, dan menjaga kebersihan diri. Harapan lain juga tertuju pada keberlanjutan pendidikan di SLB dengan dukungan tenaga pendidik yang memahami karakteristik anak. Selain itu, dukungan dari masyarakat dan pemerintah diharapkan dapat ditingkatkan, misalnya melalui penyediaan layanan terapi gratis dan pelatihan bagi keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
Â
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan secara mendalam kondisi, pengalaman, dan peran orang tua dalam mendampingi anak dengan hambatan perkembangan intelektual ringan. Pendekatan kualitatif dipilih karena dinilai mampu menangkap makna, pemahaman, dan dinamika yang terjadi dalam konteks kehidupan nyata, khususnya dalam interaksi antara anak dan orang tua di lingkungan keluarga.
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak perempuan bernama NA, berusia 6 tahun, yang saat ini belajar di TK Bunga Harapan 5, Deket Lamongan pada jenjang kelas B. Informan utama adalah ibu kandung NA, sebagai narasumber wawancara mendalam. Anak tersebut telah didiagnosis mengalami hambatan perkembangan intelektual ringan oleh psikolog anak saat berusia 4 tahun. Informan utama dalam penelitian ini adalah ibu kandung anak, yang menjadi sumber utama data melalui wawancara mendalam.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung dan wawancara semi-terstruktur dengan orang tua. Observasi dilakukan di lingkungan rumah untuk memperoleh gambaran aktivitas harian, interaksi anak dengan orang tua, serta pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran di rumah. Wawancara dilakukan secara langsung dengan ibu anak untuk menggali informasi terkait riwayat perkembangan anak, tantangan yang dihadapi, strategi pendampingan, serta harapan orang tua terhadap masa depan anak.
Wawancara mendalam dilakukan terhadap guru kelas, GPK, dan orang tua siswa guna menggali strategi pembelajaran, tantangan dalam pengajaran, serta bentuk dukungan dari sekolah dan keluarga. Sementara itu, studi dokumentasi dilakukan dengan menelaah dokumen seperti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), catatan asesmen perkembangan anak, serta hasil evaluasi pembelajaran. Kombinasi ketiga teknik ini bertujuan memastikan data yang diperoleh bersifat triangulatif dan kaya konteks.
Data dianalisis menggunakan model analisis interaktif Miles, Huberman, dan Saldana, yang meliputi tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan memilah informasi relevan dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian, data disusun dalam bentuk narasi tematik untuk memperlihatkan hubungan antar kategori dan pola temuan. Kesimpulan diambil berdasarkan temuan konsisten yang telah diverifikasi melalui triangulasi teknik dan sumber guna menjamin validitas dan reliabilitas data.
Dalam praktik di lapangan, guru masih menghadapi berbagai tantangan dalam menerapkan strategi pembelajaran yang efektif bagi peserta didik dengan ASD. Salah satu hambatan utama adalah terbatasnya pelatihan profesional yang berkelanjutan, terutama di sekolah reguler yang mengadopsi model inklusi tanpa sistem pendukung memadai. Akibatnya, guru sering kali mengandalkan pengalaman empiris tanpa pemahaman teoritis yang cukup mengenai spektrum autisme. Hal ini berimbas pada ketidakkonsistenan dalam penyusunan dan implementasi Rencana Pembelajaran Individual (RPI), sehingga proses pembelajaran menjadi kurang adaptif terhadap kebutuhan anak.
Di samping itu, kendala juga muncul dari aspek sarana dan prasarana yang belum sepenuhnya inklusif. Misalnya, banyak sekolah belum memiliki ruang sensorik atau area tenang yang dibutuhkan anak dengan sensitivitas sensorik tinggi untuk mengelola stres dan emosi. Ketiadaan fasilitas ini dapat memicu perilaku tantrum, agresif, atau menarik diri yang mengganggu proses belajar-mengajar. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan inklusif harus mencakup penyediaan infrastruktur pendukung, seperti alat bantu visual, media komunikasi alternatif, serta lingkungan belajar yang ramah bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Dengan pendekatan kualitatif ini, penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pengembangan model pembelajaran yang responsif terhadap kebutuhan anak dengan ASD. Selain itu, hasil temuan diharapkan mampu meningkatkan pemahaman pendidik dan pemangku kebijakan mengenai pentingnya penerapan pendidikan inklusif yang berbasis bukti ilmiah dan empati, sehingga dapat menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar adil, adaptif, dan manusiawi.
Â
DATAÂ
Data penelitian ini diperoleh melalui tiga teknik utama, yaitu observasi partisipatif di kelas inklusi, wawancara mendalam dengan guru kelas, guru pendamping khusus (GPK), dan orang tua peserta didik dengan ASD, serta studi dokumentasi berupa catatan pembelajaran dan rencana individual siswa. Temuan disajikan dalam tiga tema utama: karakteristik anak dengan ASD, strategi pembelajaran yang digunakan, dan dukungan lingkungan terhadap proses belajar anak.
- Karakteristik Anak dengan ASD
Berdasarkan observasi, anak dengan ASD di kelas inklusi menunjukkan beberapa karakteristik khas yang sesuai dengan literatur. Seorang siswa dengan inisial NA (usia 6 tahun) memperlihatkan kecenderungan menghindari kontak mata saat berkomunikasi, serta hanya memberi respons verbal terbatas ketika diajak berbicara. Selain itu, NA menunjukkan minat yang sangat kuat pada objek-objek tertentu seperti mainan magnetik dan pensil warna, dan cenderung melakukan aktivitas tersebut secara berulang.
Dari wawancara dengan GPK, diketahui bahwa siswa seperti NA sering mengalami kesulitan dalam memahami instruksi lisan secara langsung, dan lebih mudah memahami perintah yang disampaikan melalui media visual. Guru menyebutkan bahwa perubahan mendadak dalam rutinitas seringkali memicu kecemasan, seperti menangis atau menarik diri dari kelompok. Misalnya, saat jadwal pelajaran olahraga dipindah karena hujan, NA mengalami ledakan emosional dan harus dibimbing keluar kelas untuk menenangkan diri.
2. Strategi Pembelajaran yang Digunakan
Dari hasil observasi pembelajaran, strategi yang diterapkan bersifat sangat terstruktur. Guru menggunakan visual schedule di dinding kelas untuk menjelaskan urutan kegiatan setiap hari. Anak-anak dengan ASD diberi alat bantu komunikasi berupa kartu gambar (PECS), yang membantu mereka menyampaikan keinginan atau menjawab pertanyaan secara non-verbal.
Wawancara dengan guru kelas mengungkapkan bahwa pendekatan individual menjadi kunci. Misalnya, setiap anak memiliki target yang disesuaikan dengan perkembangan mereka. Guru menggunakan penguatan positif secara rutin. Seperti, memberikan stiker setelah anak menyelesaikan tugas sederhana untuk memperkuat perilaku yang diharapkan. Dalam beberapa kasus, reward berbentuk waktu bermain tambahan juga diberikan.
Dokumentasi yang dianalisis, seperti buku catatan perkembangan dan laporan asesmen bulanan, menunjukkan bahwa guru mencatat secara berkala kemampuan komunikasi, interaksi sosial, dan adaptasi anak terhadap rutinitas belajar. Catatan ini menjadi dasar dalam menyusun Rencana Pembelajaran Individual (RPI) yang berbeda untuk setiap anak.
3. Dukungan Lingkungan dan Keterlibatan Orang Tua
Melalui wawancara dengan orang tua, peneliti menemukan bahwa dukungan sekolah terhadap anak dengan ASD diapresiasi, tetapi masih terdapat harapan perbaikan fasilitas. Salah satu orang tua menyebutkan bahwa sejak anaknya menggunakan sistem visual yang juga diterapkan di rumah (berkat pelatihan dari guru), kemampuan bicara anaknya meningkat. Hal ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antara rumah dan sekolah.
Observasi terhadap lingkungan kelas menunjukkan bahwa suasana belajar cukup kondusif dengan adanya GPK yang mendampingi secara khusus. Namun, belum tersedia ruang sensorik khusus sebagai tempat tenang bagi anak saat mengalami stres atau stimulasi berlebih. Fasilitas ini sebenarnya penting dalam manajemen perilaku anak ASD.
Dari studi dokumentasi, diketahui bahwa sekolah telah membuat RPI, tetapi pelaksanaannya belum seragam di semua kelas. Beberapa RPI belum mencantumkan evaluasi berkala atau revisi strategi berdasarkan perkembangan terbaru anak.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, diketahui bahwa peran ibu sebagai pendamping utama memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan anak dengan hambatan intelektual ringan. Ibu dari subjek penelitian, yaitu NA, menunjukkan keterlibatan aktif dalam berbagai aktivitas harian anak, baik dalam aspek pengasuhan, pembelajaran, maupun dalam membangun rutinitas yang terstruktur di lingkungan rumah.
Hal ini selaras dengan pandangan sejumlah teori perkembangan yang menyoroti pentingnya keterlibatan orang tua. Pendampingan yang dilakukan oleh ibu mencerminkan peran orang tua sebagaimana dikemukakan oleh Santrock (2007), yang menyatakan bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak berkontribusi secara positif terhadap pencapaian perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak. Dalam konteks ini, ibu NA menerapkan pendekatan yang sabar, berulang (repetitif), dan penuh empati. Strategi pendampingan yang digunakan meliputi penggunaan bahasa sederhana, pemberian penguatan positif, serta penyampaian instruksi melalui contoh konkret yang sesuai dengan kemampuan anak. Hal ini sejalan dengan teori behavioristik dari Skinner, yang menekankan pentingnya penguatan (reinforcement) dalam membentuk perilaku.
Meskipun demikian, ibu juga menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan pengetahuan terkait strategi pendidikan anak berkebutuhan khusus, beban fisik dan emosional yang cukup besar, serta kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar. Kondisi ini memperlihatkan pentingnya dukungan sosial dan lingkungan yang responsif, sebagaimana dikemukakan oleh Bronfenbrenner (1979) dalam teori ekologi perkembangan, bahwa interaksi antara individu dan lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak.
Namun, ibu NA menunjukkan resiliensi dan inisiatif yang kuat dalam menghadapi hambatan tersebut, antara lain dengan mencari informasi secara mandiri melalui media daring dan menjalin komunikasi aktif dengan guru di SLB untuk menyelaraskan strategi pembelajaran di rumah. Hal ini mencerminkan adanya upaya adaptif yang konsisten demi mendukung kebutuhan belajar anak. Upaya-upaya ini menegaskan pentingnya dukungan keluarga dalam menunjang perkembangan anak secara menyeluruh.
Selain pendampingan di rumah, peran sekolah dan guru juga menjadi faktor penentu dalam proses pembelajaran anak dengan ASD. Dengan demikian, hasil penelitian ini memperkuat temuan-temuan sebelumnya yang menyatakan bahwa keterlibatan aktif orang tua, khususnya dalam konteks keluarga dengan anak berkebutuhan khusus, merupakan faktor kunci dalam mendukung proses perkembangan anak. Interaksi yang hangat, konsisten, dan berbasis kasih sayang terbukti mampu memberikan stimulasi yang diperlukan dalam proses adaptasi, pembelajaran, serta pengembangan potensi anak secara optimal (Turnbull et al., 2011).
Merespons kebutuhan tersebut, guru telah menerapkan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik ASD. Penggunaan visual schedule, PECS (Picture Exchange Communication System), dan strategi penguatan positif menunjukkan efektivitas dalam meningkatkan partisipasi anak dalam proses belajar. Strategi ini mengacu pada prinsip-prinsip Applied Behavior Analysis (ABA) sebagaimana dijelaskan oleh Cooper et al. (2007), yaitu dengan memberikan struktur dan prediktabilitas yang menurunkan kecemasan serta mendukung regulasi perilaku.
Dalam praktiknya, dukungan guru tidak hanya datang dari guru kelas, tetapi juga dari Guru Pendamping Khusus (GPK) yang memiliki peran tersendiri dalam pelaksanaan pendidikan individual. Dengan mengacu pada Rencana Pembelajaran Individual (RPI), setiap anak mendapatkan intervensi sesuai dengan hasil asesmen yang bersifat dinamis. Namun demikian, temuan lapangan mengungkapkan bahwa penerapan RPI masih belum konsisten, terutama dalam hal evaluasi progres dan dokumentasi perkembangan anak. Hal ini menandakan pentingnya pelatihan lanjutan dan supervisi akademik yang berkelanjutan guna meningkatkan kapasitas guru dalam mengelola instrumen RPI secara maksimal.
Di sisi lain, kolaborasi dengan orang tua menunjukkan kontribusi signifikan dalam mendukung keberhasilan program pembelajaran. Ketika strategi visual dan komunikasi augmentatif diterapkan secara paralel di lingkungan rumah, perkembangan keterampilan komunikasi dan perilaku anak menunjukkan peningkatan yang lebih stabil. Hal ini menegaskan relevansi teori ekologi Bronfenbrenner (1979), yang menekankan pentingnya interkoneksi antar-mikrosistem, yaitu rumah dan sekolah, dalam membentuk ekosistem perkembangan anak yang efektif.
Namun, efektivitas upaya tersebut sering kali dibatasi oleh faktor eksternal, seperti ketersediaan fasilitas fisik di sekolah. Tidak tersedianya ruang sensorik, misalnya, menjadi kendala dalam pengelolaan perilaku anak yang mengalami overstimulasi. Padahal, berdasarkan kajian Grandin (2006), ruang sensorik dapat berfungsi sebagai tempat netral untuk regulasi emosi dan peningkatan ketenangan anak ASD, sehingga keberadaannya perlu menjadi bagian dari perencanaan fasilitas pendidikan inklusif.
Lebih jauh, efektivitas pendidikan anak ASD menuntut keterpaduan antara strategi pedagogis, pendampingan individual, serta kemitraan antara rumah dan sekolah. Ketiganya harus dijalankan secara sinergis dan berkelanjutan. Sekolah perlu memfasilitasi pelatihan rutin bagi guru dan orang tua, memperkuat sistem monitoring perkembangan, serta menjalin komunikasi dua arah yang terbuka dan terstruktur. Pendekatan seperti ini tidak hanya mendukung pertumbuhan anak secara optimal, tetapi juga merefleksikan praktik inklusi yang berkeadilan dan berorientasi pada kebutuhan nyata peserta didik.
Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan inklusif tidak dapat hanya ditopang oleh kemampuan individu guru atau pendekatan kurikulum semata. Diperlukan sistem yang menyeluruh, melibatkan perencanaan kebijakan yang responsif, alokasi anggaran khusus untuk penyediaan fasilitas dan sumber daya, serta pengembangan profesionalisme tenaga pendidik secara berkelanjutan. Dukungan dari komunitas, lembaga swadaya masyarakat, dan tenaga ahli multidisipliner seperti terapis okupasi, psikolog, serta ahli wicara juga menjadi bagian integral dalam membentuk ekosistem pembelajaran yang kondusif. Sinergi antarpihak ini akan memperkuat upaya menjadikan pendidikan inklusif sebagai instrumen transformatif yang tidak hanya mengakomodasi kebutuhan anak ASD, tetapi juga menumbuhkan nilai-nilai empati, keberagaman, dan keadilan dalam sistem pendidikan nasional.
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa peran ibu dalam mendampingi NA, anak dengan hambatan perkembangan intelektual ringan, sangat penting. Strategi pendampingan yang dilakukan secara konsisten baik di rumah maupun di sekolah memberikan dampak positif terhadap kemampuan komunikasi dan perilaku NA. Ibu NA menjalankan berbagai peran secara simultan, mulai dari pengasuh, pendidik, fasilitator, hingga pemberi dukungan emosional. Pendekatan yang digunakan bersifat sabar, konsisten, dan disesuaikan dengan kebutuhan individual anak, sehingga mampu menciptakan lingkungan yang mendukung proses belajar dan perkembangan anak.
Meskipun dihadapkan pada tantangan seperti keterbatasan informasi, kelelahan emosional, dan kurangnya dukungan sosial, ibu NA menunjukkan ketekunan dan resiliensi dalam mencari solusi secara mandiri. Temuan ini memperkuat pentingnya keterlibatan aktif keluarga sebagai fondasi utama dalam tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial sangat diperlukan guna menciptakan dukungan holistik yang berkelanjutan bagi anak dengan hambatan intelektual ringan.
Untuk mendukung kolaborasi tersebut, pemahaman terhadap karakteristik anak dengan kebutuhan khusus seperti ASD menjadi sangat penting Dalam kaitannya dengan hal tersebut, penelitian ini juga menyoroti karakteristik khas anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD), yakni kesulitan dalam komunikasi sosial, perilaku repetitif, dan ketergantungan pada rutinitas. Ciri-ciri ini sesuai dengan kriteria diagnostik dalam DSM-5, yang menekankan bahwa tantangan utama terletak pada aspek interaksi sosial dan fleksibilitas perilaku. Pemahaman yang tepat terhadap karakteristik ini menjadi dasar dalam merancang strategi pembelajaran yang relevan.
Memahami karakteristik anak ASD menjadi dasar bagi penerapan pendekatan pembelajaran yang tepat, di mana strategi yang terstruktur dan berbasis visual terbukti paling efektif. Penggunaan jadwal visual, Picture Exchange Communication System (PECS), serta penguatan positif yang konsisten membantu anak memahami alur aktivitas dan mengurangi kecemasan akibat perubahan yang tidak terduga. Keberadaan Guru Pendamping Khusus (GPK) juga sangat penting dalam mengimplementasikan Rencana Pembelajaran Individual (RPI), yang dirancang sesuai dengan kebutuhan unik setiap anak.
Sinergi antara sekolah dan keluarga menjadi faktor pendukung utama keberhasilan program pembelajaran. Ketika pendekatan yang digunakan di sekolah turut diterapkan secara konsisten di rumah, perkembangan keterampilan anak menjadi lebih stabil dan terarah. Namun demikian, temuan lapangan menunjukkan bahwa implementasi RPI masih belum merata, menandakan perlunya pelatihan dan supervisi rutin bagi guru agar kapasitas mereka dalam menyusun dan menjalankan RPI dapat meningkat.
Di samping aspek pedagogis, dukungan infrastruktur juga perlu diperhatikan. Salah satu temuan penting adalah belum tersedianya ruang sensorik di sekolah sebagai fasilitas untuk membantu anak mengelola stres dan overstimulasi. Padahal, keberadaan ruang ini sangat vital dalam menunjang ketenangan dan konsentrasi anak selama proses belajar berlangsung. Oleh karena itu, merespons tantangan tersebut, perlu dirumuskan beberapa langkah strategis guna memperkuat implementasi pendidikan inklusif, sebagaimana dijelaskan pada bagian berikutnya.
Berdasarkan temuan tersebut, disarankan agar sekolah meningkatkan kualitas pelatihan bagi guru dan GPK dalam merancang serta melaksanakan RPI yang efektif. Komunikasi dan pelatihan untuk orang tua juga perlu difasilitasi agar tercipta kesinambungan strategi pembelajaran antara rumah dan sekolah. Di sisi lain, penyediaan ruang sensorik sebagai sarana regulasi emosi bagi anak dengan ASD sangat dianjurkan. Untuk memastikan efektivitas jangka panjang, evaluasi dan monitoring program pendidikan inklusif perlu dilakukan secara berkala.
Dengan penerapan langkah-langkah tersebut secara terpadu, diharapkan pendidikan inklusif bagi anak dengan ASD dapat berjalan optimal. Anak-anak dengan kebutuhan khusus pun memperoleh kesempatan yang setara untuk mengembangkan potensi dalam lingkungan yang mendukung, adaptif, dan inklusif.
Â
REFERENSI
American Psychiatric Association. (2022). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed., text rev.). Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
Banda, D. R., Hart, S. L., & Liu-Gitz, L. (2021). Evidence-based practices for autism spectrum disorder. Journal of Autism and Developmental Disorders, 51(4), 1167--1178.
Budiyanto, C., et al. (2020). Indonesian educators' knowledge and beliefs about teaching children with autism. Athens Journal of Education, 7(1), 9--26.
Fajrin, M., & Rustini, T. (2022). Pendekatan komunikasi interpersonal guru dalam meningkatkan interaksi sosial anak autisme sekolah dasar inklusif. Jurnal Kiprah Pendidikan, 1(2), 174--180.
Grandin, T. (2021). The autistic brain and sensory integration. New York: HarperCollins.
Kanne, S. M., & Mazurek, M. O. (2021). Autism spectrum disorder: Clinical features and diagnosis. In Autism Spectrum Disorder (pp. 1--22). Springer.
Milliyantri, R., Supriatin, N., & Sari, I. P. (2023). Hubungan asupan zat gizi makro, pengetahuan, dan pola asuh ibu dengan status gizi anak autis di SLB Kota Bandung. Jurnal Gizi Masyarakat Indonesia, 2(1), 45--51.
Nurussakinah, T., Mulyadi, S., & Gandana, G. (2024). Menyongsong masa depan: Survei implementasi pendidikan inklusi jenjang pendidikan anak usia dini. Murhum: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1), 389--403.
Putri, M., Deva, T., Rauf, D., & Suwono, V. (2025). Gambaran anak dengan gangguan spektrum autisme di wilayah Indonesia periode tahun 2017 sampai dengan 2020. Jurnal Pendidikan Masyarakat, 3(1), 43--48.
Schreibman, L., Dawson, G., Stahmer, A. C., et al. (2020). Naturalistic developmental behavioral interventions: Empirically validated treatments for autism spectrum disorder. Journal of Autism and Developmental Disorders, 50, 1231--1245.
Smith, T., & Iadarola, S. (2020). Evidence base update for autism spectrum disorder. Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology, 49(4), 367--380.
Syafiq, M., Setyawan, D. A., & Tirtawati, D. (2025). Pengaruh lingkungan dan dukungan keluarga terhadap kemampuan interaksi sosial anak autisme spectrum disorder (ASD) umur 6--12 tahun di Surakarta. Cendekia: Jurnal Ilmu Pengetahuan, 5(2), 480--485.
Yulian, E., & Hosein, Z. A. (2024). Kajian komparatif sistem hukum pendidikan bagi anak autisme di Indonesia dan Finlandia. RIO Law Journal, 6(1), 272--283.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI