Namun, menurut data dari Pusbang Film Kemendikbudristek, dari 1200 lebih film pendek yang terdaftar dalam kurun waktu 2021--2023, hanya sekitar 30% yang secara eksplisit mengeksplorasi tema kearifan lokal.
Jumlah itu tentu belum mencerminkan potensi yang kita miliki. Padahal, beberapa film lokal bertema budaya terbukti punya prestasi membanggakan.Â
Film pendek Basri & Salma in a Never-Ending Comedy (2023), misalnya, yang mengangkat kehidupan nelayan Bugis, berhasil menembus Berlin International Film Festival.Â
Begitu pula  Sinetron serta Film Preman Pensiun yang awalnya bernuansa lokalitas Bandung, malah menjadi fenomena nasional.
Dari Obrolan Warung Kopi, ke Gerakan Digital
Semua semangat yang tertulis di artikel ini sesungguhnya bermula dari obrolan sederhana beberapa tahun lalu antara saya dengan Fauzi, penggagas lokalfilm.id, sebuah platform digital yang secara khusus menerima dan menayangkan film pendek lokal.
Saat kembali bertemu di acara Halal Bihalal dan Ulang Tahun Perkumpulan Karyawan Film dan Televisi Indonesia (KFT Indonesia), Senin, (14/4/2025), obrolan sejenis kembali mengemuka.
Menurut Fauzi, "Kita harus percaya bahwa film pendek adalah medium yang kuat untuk menyampaikan nilai-nilai budaya lokal. Dengan lokalfilm.id, kami ingin memberikan ruang bagi sineas daerah untuk menampilkan karya mereka kepada publik."
Ucapannya itu seolah merangkum keresahan dan harapan banyak pelaku kreatif di daerah: bahwa film tidak harus selalu berbahasa Jakarta atau bergaya metropolitan. Film bisa berbahasa daerah, berbaju adat, dan tetap menggugah---asal diberi ruang.
Apa Manfaatnya Film Bernuansa Lokal?
Film lokal yang mengangkat kearifan lokal bukan hanya memperkaya narasi kebudayaan, tapi juga: