Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlawanan Sunyi Seorang Pipiet Senja (Mengenang Kepergiannya)

4 Oktober 2025   23:21 Diperbarui: 4 Oktober 2025   23:21 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis, menurutnya, merupakan tindakan publik: ia mengubah pengalaman pribadi menjadi tuntutan sosial. Dalam satu puisinya di acara yang sama, ia mengalihkan amarah menjadi seruan untuk merawat laut dan kehidupan nelayan:

"...Pagar melingkar di laut kita, Anakku. Sembilan ular melingkar-lingkar di atas pagar. Para nelayan hanya meringis semakin terkikis.. Dimanakah petinggi negeri berada? Ternyata sebagian mereka beralih profesi menjadi makelar laut serakah.. Ibumu menangis pilu anakku. Sampai kapan ini dibiarkan... Bangkitlah wahai anak bangsaku, perkuat barisan pembela kedaulatan negeri, hanya satu pilihan: perang melawan perampok NKRI!"

Pipiet tahu bahwa menulis bisa menjadi pembuka mata. Ia menggabungkan pengalaman personal---transfusi, antrian, ruang ICU---dengan narasi publik: soal pagar laut, soal kedaulatan, soal orang kecil yang semakin habis tempatnya.

"Kita harus melawan ketidakadilan. Menulis itu perjuangan melawan kezaliman dengan kata-kata."

Aku terdiam lama. Dalam suaranya yang bergetar, ada sesuatu yang lebih kuat dari tubuhnya: sebuah tekad untuk terus menjadi manusia yang utuh.

Di acara itu pula kami baru menyadari sebuah kebetulan yang menyentuh.

Ia bercerita bahwa dulu waktu remaja sempat bersekolah di SPG Negeri 1 Setiabudi, tapi harus berhenti karena penyakitnya. Aku tersenyum, lalu berkata:

"Teh, gedung SPG 1 itu di depan SD saya dulu, SD Budi Wanita. Bahkan sebelahan dengan SMA saya, SMAN 3 Setiabudi."

Ia tertawa kecil, "Jadi mungkin dulu kita sudah pernah saling lihat waktu bocah, ya Kang?"

Mungkin. Mungkin kami pernah berpapasan di lapangan SPG itu, antara seorang bocah sehat yang berlari dan seorang gadis muda yang harus berhenti sekolah karena darahnya sendiri.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun