Menulis, menurutnya, merupakan tindakan publik: ia mengubah pengalaman pribadi menjadi tuntutan sosial. Dalam satu puisinya di acara yang sama, ia mengalihkan amarah menjadi seruan untuk merawat laut dan kehidupan nelayan:
"...Pagar melingkar di laut kita, Anakku. Sembilan ular melingkar-lingkar di atas pagar. Para nelayan hanya meringis semakin terkikis.. Dimanakah petinggi negeri berada? Ternyata sebagian mereka beralih profesi menjadi makelar laut serakah.. Ibumu menangis pilu anakku. Sampai kapan ini dibiarkan... Bangkitlah wahai anak bangsaku, perkuat barisan pembela kedaulatan negeri, hanya satu pilihan: perang melawan perampok NKRI!"
Pipiet tahu bahwa menulis bisa menjadi pembuka mata. Ia menggabungkan pengalaman personal---transfusi, antrian, ruang ICU---dengan narasi publik: soal pagar laut, soal kedaulatan, soal orang kecil yang semakin habis tempatnya.
"Kita harus melawan ketidakadilan. Menulis itu perjuangan melawan kezaliman dengan kata-kata."
Aku terdiam lama. Dalam suaranya yang bergetar, ada sesuatu yang lebih kuat dari tubuhnya: sebuah tekad untuk terus menjadi manusia yang utuh.
Di acara itu pula kami baru menyadari sebuah kebetulan yang menyentuh.
Ia bercerita bahwa dulu waktu remaja sempat bersekolah di SPG Negeri 1 Setiabudi, tapi harus berhenti karena penyakitnya. Aku tersenyum, lalu berkata:
"Teh, gedung SPG 1 itu di depan SD saya dulu, SD Budi Wanita. Bahkan sebelahan dengan SMA saya, SMAN 3 Setiabudi."
Ia tertawa kecil, "Jadi mungkin dulu kita sudah pernah saling lihat waktu bocah, ya Kang?"
Mungkin. Mungkin kami pernah berpapasan di lapangan SPG itu, antara seorang bocah sehat yang berlari dan seorang gadis muda yang harus berhenti sekolah karena darahnya sendiri.
***