Menurut catatan Perpustakaan Nasional, Pipiet Senja telah menulis lebih dari 45 buku, terdiri dari 24 novel, 11 kumpulan cerpen, dan 10 buku nonfiksi, selain ratusan artikel, catatan harian, dan testimoni yang tersebar di media. Ia menulis hampir setiap hari.
Pernah aku bertanya dalam satu perjalanan,
"Teh, apa nggak capek menulis terus?"
Ia menjawab pelan sambil tersenyum,
"Kang Dikdik, kalau saya berhenti menulis, saya berhenti hidup."
Jawaban itu bukan metafora, melainkan kenyataan biologis dan spiritual sekaligus.
Sejak usia 10 tahun, Pipiet Senja yang nama aslinya Etti Hadiwati Arief divonis thalassemia mayor, kelainan genetik yang membuat tubuh tak mampu memproduksi hemoglobin secara normal. Sejak itu pula ia menjalani transfusi darah setiap bulan sekali, bahkan dalam lima bulan terakhir hidupnya---dua kali sebulan. Tapi tidak ada yang membuatnya berhenti menulis.
***
Pada 10 September 2025, aku kembali bertemu Pipiet Senja. Kali ini dalam acara bedah buku puisi "Sakti" karya Sastri Bakry di Taman Ismail Marzuki. Ia datang dari rumah sakit, baru saja selesai transfusi, tapi tetap hadir, memeluk semua orang dengan mata yang menyala.
Sepulang acara, aku menawarkan diri mengantarnya ke rumahnya di Depok.
"Jauh lho, di Depok" katanya.