"Sekalian lewat, Teh. Saya kan ke Cibinong, Bogor" jawabku.
Ia tertawa kecil, "Selalu ada alasan baik untuk menemani perjalanan, ya?"
Di dalam mobil, perjalanan dari Cikini ke Depok menjadi perjalanan yang tak ingin kuakhiri. Ia bercerita tentang hari-harinya di rumah sakit, tentang BPJS yang membuatnya menunggu semalam suntuk tanpa kepastian, tentang perjuangannya melawan sistem yang sering lebih sakit dari penyakit itu sendiri.
"Kang Dikdik, saya kadang nggak marah sama sakit saya. Tapi saya sedih kalau melihat betapa mudahnya orang kehilangan empati," katanya lirih.
Kata-kata itu masih terngiang sampai hari ini.
***
Dua hari kemudian, 12 September 2025, aku bertemu lagi dengannya di acara bedah buku antologi "Lansia Bahagia" di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki. Di acara itu, aku menjadi pembicaranya.
Pipiet datang dengan kursi roda, wajahnya pucat, tapi saat berbicara di depan forum, suaranya nyaring membacakan puisi tentang "Pagar Laut".
 Di acara itu, Pipiet memberi sambutan yang membuat ruangan terdiam. Ia menceritakan pengalamannya di ICU:
"BPJS jangan menyiksa lansia begitu. saya ngamuk ya ngamuk, saya tulis ya tulis. Itu di ICU, anda  bayangkan jam satu malam, dalam kondisi saya sakit, sakitnya dahsyat, ada syaraf kejepit, dari jam satu dini hari tanggapannya ini tidak akan menyebabkan kematian. Disuruh pulang. Akhirnya saya tunggu di lobi sampai jam tiga baru dapat pelayanan (lokal). Jangan bilang itu gratis. Anak saya enam bayar BPJS semua, tapi tidak pernah dipakai karena dari perusaahaannya dapat asuransi sendiri."
Kisah itu bukan sekadar keluh. Itu perlawanan---perlawanan seorang perempuan yang menolak menjadi statistik. Ia menulis apa yang ia rasakan, lalu meminta orang lain untuk mendengarkan.