Dari Teras di Jalan Emung Cinta Bermula
Oleh Dikdik Sadikin
KADANG ada yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata, kecuali oleh udara pagi dan tatapan pertama. Februari 1969, di sebuah rumah di Jalan Emung Bandung yang catnya mulai pudar oleh hujan dan usia, Rahmat Hadis, dalam usia 27, menatap dunia lewat jendela dengan mata seorang remaja: bersih, berani, dan belum terluka.
Rumah itu tak hanya tempat tinggal Keluarga Djuminta, tapi juga dermaga bagi anak-anak kos dari Medan dan Padang yang singgah, menimba ilmu di kota kembang. Mereka yang setahun sekali kembali ke kampung halaman, membawa pulang rendang buatan Ibu Djuminta, ibu dari Rahmat, sebagai bekal perjalanan di kapal laut.
Pagi itu, matahari masih malu-malu beranjak dari selimut kabut. Jalan Emung tampak seperti lukisan yang belum selesai. Daun-daun bambu berdesir pelan, seperti hendak membisikkan sesuatu.
Rahmat berdiri di teras, menyambut keindahan pagi. Matanya menatap dunia seperti halaman buku yang baru dibuka, belum terlipat oleh luka, belum ternoda oleh kecewa.
Dan saat itulah, gadis itu datang. Lewat di hadapannya.
Ia berjalan pelan, seakan waktu enggan menyalip langkahnya. Namanya, kelak Rahmat tahu, adalah Enen Z.
Enen, mahasiswi IAIN Bandung itu usia 19, Â menggenggam tas jinjingnya yang bergoyang mengikuti irama langkah.
Dan ketika ia lewat di depan rumah itu, tatapan matanya bertaut tak berkedip dengan tatapan mata Rahmat yang membeku oleh sesuatu yang tak ia mengerti. Seolah semesta menunduk hormat. Angin diam. Vespa yang biasanya berisik, entah ke mana suaranya itu. Bahkan waktu sendiri pun seperti lupa berdetik.
Sejenak, Rahmat tak merasa menjadi dirinya sendiri. Ia adalah udara yang mengantarkan wangi. Ia adalah pagi yang tiba-tiba ingin menetap. Ia adalah nama yang belum sempat disebutkan, namun sudah tertulis di hati.
Tatapan Rahmat tak lepas, meski gadis itu tak lagi menoleh. Sampai tubuh semampai itu menghilang di balik tikungan, di jalan Karapitan.
"Itu calon istriku," desahnya kemudian, masih bertumpu di tempat. Suaranya seperti doa yang tak sengaja terucap. Sahabat Rahmat yang berada di sebelahnya, Jimunadi, heran melihat Rahmat terpaku, seperti tersihir.
"Kamu mah, baru juga lihat mojang cantik udah langsung mengkhayal," ejek Jimunadi sambil tertawa. Jimunadi adalah kakak dari Gito Rollies, penyanyi yang namanya akan bergemuruh di panggung-panggung masa depan.
Tapi Rahmat tak menggubris. Ia tak sedang main-main. Ia bukan sekadar pemuda biasa. Ia pelatih tari  para penari istana, dikenal luas di kalangan seniman tari dan putri-putri seniman. Termasuk penari puteri binaannya adalah Henny Harsa, yang kelak menjadi istri Guntur Soekarnoputra. Putera Presiden Pertama yang biasa dipanggil "Mas Tok" ini tengah kuliah di ITB. Ia dikenalkan kepada Henny lewat personil Grup Trio Bimbo, antara lain Acil Bimbo yang juga menjadi sahabat Rahmat.Â
Tapi bagi Rahmat, Â pada gadis bernama Enen itu, Â entah kenapa, ia menemukan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekaguman. Cinta itu, kalau boleh rasa itu disebut cinta, mengguncangnya dengan getaran yang aneh. Seperti isyarat takdir yang menunggu di ujung harapan. Padahal sebagai pembina penari, hidupnya tidak pernah jauh dari senyum para gadis jelita.
Malam minggu itu, Rahmat pun menjemput takdir. Ia datang ke kosan Enen di Jalan Lengkong Kecil, Bandung. Membawa koran sebagai alibi. "Kalau dia tak sudi menemuiku, aku baca koran ini saja," gumamnya.
Namun begitu ia masuk ke ruang tamu kos putri itu, beberapa lelaki yang sedang bertamu langsung bubar. "Ada Rahmat. Kita pulang aja," celetuk salah satu. Nama Rahmat ternyata memang punya gema di daerah itu. Tanpa perlawanan, mengalahkan beberapa dosen dan kakak kelas yang sudah selesai sarjana yang ternyata juga memimpikan gadis itu.
Namun keberanian Rahmat ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Detak jantung mereka saat bertatapan tak bisa berdusta. Tak ada kata cinta terucap, tapi tatapan itu bicara lebih dari seribu kata, Rahmat tahu: Enen menerimanya.
Enen mengabarkan akan pulang ke Cianjur esok harinya. Rahmat menawarkan diri mengantar. Ia tidak hanya mengantar tubuhnya, tapi juga hatinya. Dan Enen tak menampik.
Di Cianjur, ia bertemu keluarga besar Enen, dengan kepala keluarga: Bapak Saleh Siradj, Kepala Dinas PU yang penuh wibawa. Uwak Hajjah Rukiyah sempat berseloroh, "Bawa Indo dari mana, Nen?" menyenggol Enen sambil melirik Rahmat yang tersenyum kaku. Tapi senyum itu, dengan segala gugupnya, adalah janji yang akan ia penuhi.
Tiga bulan kemudian, mereka menikah di rumah besar di Jalan Otista I atau dikenal dengan daerah Bojong Herang, yang berarti tepian sungai bening. Nama itu seperti mewakili gadis-gadis di sana yang memang konon "bening-bening".
Jalan itu juga dikenal keberkahannya karena setiap Kamis dan Ahad digelar "pasar kaget", dari pagi hingga siang. Â Sebuah tradisi yang masih dijaga sampai kini, mengiringi pengajian di rumah Ajengan Elim di jalan yang sama.
Tapi sekembalinya dari Cianjur ke Bandung, tak banyak yang tahu ikhwal pernikahan itu. Beberapa gadis masih melambaikan tangan pada Rahmat tiap lewat Jalan Emung. Bagaimana pun, Rahmat adalah idola gadis-gadis Bandung. Dan hal ini tentu membuat Enen, kini istrinya, cemburu.
Maka dipestakanlah sekali lagi pernikahan itu, di tanah yang menjadi saksi cinta pertama: di Jalan Emung, di depan teras tempat tatapan pertama mereka terjadi. Agar semesta tahu, bahwa yang dulu hanya tatap mata bertemu, kini telah menjadi dua hati yang menyatu.
Waktu pun berjalan. Anak-anak datang sebagai karunia Tuhan. Lima semua: dua putri, tiga putra. Rumah mereka, meski kadang berpindah dari Cianjur, Bandung, Bogor, dan Bandung lagi, tak pernah sepi dari doa dan tawa. Mereka arungi bahtera rumah tangga dengan suka dan duka. Bahagia meski bukan tanpa badai, yang segera redam karena cinta mengalahkan segalanya.
Sepanjang 56 tahun, mereka bersama. Tiba waktunya di ujung jalan, ketika malaikat maut memberi salam kepada salah seorang dari mereka.Â
Pada 11 September 2024, setelah tiga bulan terbaring, Enen dalam usia 75 tahun, menghembuskan nafas terakhir. Meninggalkan Rahmat yang berusaha tegar, meski diakui air matanya tak berhenti mengalir.
Cinta tak pernah memilih cara berpisah. Ia hanya tahu bagaimana cara hadir di hati. Dan Rahmat, di usia 82 tahun, tak pernah siap untuk hari itu. Dengan hati bergetar, ia hanya dapat mengikhlaskan kepergian kekasih hatinya. Terpekur di depan gundukan tanah, yang menyimpan jasad sang istri, di areal makam keluarga belakang halaman rumah putera tertuanya Uwais di Cigirising, Bandung.Â
Kini Rahmat di usia senja tinggal di Bogor, di rumah anak ketiganya, Leika. Tubuhnya lelah, kakinya lemah. Jalannya tersendat. Tapi yang paling sering terasa perih adalah hatinya.
Kepedihan yang seringkali datang setiap kali ia mengingat gadis yang lewat di pagi hari itu, di Bulan Februari Tahun 1969, di Jalan Emung Bandung, dan tak pernah benar-benar pergi dari hidupnya.
Kadang, ia tak sadar memanggil pelan dalam tidur, "Mamah..." panggilan sayang kepada istrinya itu. Dan setelah itu udara pun kembali senyap. Karena cinta seperti itu, tak mengenal akhir. Ia hanya belajar bagaimana hidup dalam kenangan yang tak tersentuh oleh waktu.
Bogor, 25 April 2025
(Seperti diceritakan Mertuaku, Bapak Rahmat)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI