Jalan itu juga dikenal keberkahannya karena setiap Kamis dan Ahad digelar "pasar kaget", dari pagi hingga siang. Â Sebuah tradisi yang masih dijaga sampai kini, mengiringi pengajian di rumah Ajengan Elim di jalan yang sama.
Tapi sekembalinya dari Cianjur ke Bandung, tak banyak yang tahu ikhwal pernikahan itu. Beberapa gadis masih melambaikan tangan pada Rahmat tiap lewat Jalan Emung. Bagaimana pun, Rahmat adalah idola gadis-gadis Bandung. Dan hal ini tentu membuat Enen, kini istrinya, cemburu.
Maka dipestakanlah sekali lagi pernikahan itu, di tanah yang menjadi saksi cinta pertama: di Jalan Emung, di depan teras tempat tatapan pertama mereka terjadi. Agar semesta tahu, bahwa yang dulu hanya tatap mata bertemu, kini telah menjadi dua hati yang menyatu.
Waktu pun berjalan. Anak-anak datang sebagai karunia Tuhan. Lima semua: dua putri, tiga putra. Rumah mereka, meski kadang berpindah dari Cianjur, Bandung, Bogor, dan Bandung lagi, tak pernah sepi dari doa dan tawa. Mereka arungi bahtera rumah tangga dengan suka dan duka. Bahagia meski bukan tanpa badai, yang segera redam karena cinta mengalahkan segalanya.
Sepanjang 56 tahun, mereka bersama. Tiba waktunya di ujung jalan, ketika malaikat maut memberi salam kepada salah seorang dari mereka.Â
Pada 11 September 2024, setelah tiga bulan terbaring, Enen dalam usia 75 tahun, menghembuskan nafas terakhir. Meninggalkan Rahmat yang berusaha tegar, meski diakui air matanya tak berhenti mengalir.
Cinta tak pernah memilih cara berpisah. Ia hanya tahu bagaimana cara hadir di hati. Dan Rahmat, di usia 82 tahun, tak pernah siap untuk hari itu. Dengan hati bergetar, ia hanya dapat mengikhlaskan kepergian kekasih hatinya. Terpekur di depan gundukan tanah, yang menyimpan jasad sang istri, di areal makam keluarga belakang halaman rumah putera tertuanya Uwais di Cigirising, Bandung.Â
Kini Rahmat di usia senja tinggal di Bogor, di rumah anak ketiganya, Leika. Tubuhnya lelah, kakinya lemah. Jalannya tersendat. Tapi yang paling sering terasa perih adalah hatinya.
Kepedihan yang seringkali datang setiap kali ia mengingat gadis yang lewat di pagi hari itu, di Bulan Februari Tahun 1969, di Jalan Emung Bandung, dan tak pernah benar-benar pergi dari hidupnya.
Kadang, ia tak sadar memanggil pelan dalam tidur, "Mamah..." panggilan sayang kepada istrinya itu. Dan setelah itu udara pun kembali senyap. Karena cinta seperti itu, tak mengenal akhir. Ia hanya belajar bagaimana hidup dalam kenangan yang tak tersentuh oleh waktu.
Bogor, 25 April 2025