Tatapan Rahmat tak lepas, meski gadis itu tak lagi menoleh. Sampai tubuh semampai itu menghilang di balik tikungan, di jalan Karapitan.
"Itu calon istriku," desahnya kemudian, masih bertumpu di tempat. Suaranya seperti doa yang tak sengaja terucap. Sahabat Rahmat yang berada di sebelahnya, Jimunadi, heran melihat Rahmat terpaku, seperti tersihir.
"Kamu mah, baru juga lihat mojang cantik udah langsung mengkhayal," ejek Jimunadi sambil tertawa. Jimunadi adalah kakak dari Gito Rollies, penyanyi yang namanya akan bergemuruh di panggung-panggung masa depan.
Tapi Rahmat tak menggubris. Ia tak sedang main-main. Ia bukan sekadar pemuda biasa. Ia pelatih tari  para penari istana, dikenal luas di kalangan seniman tari dan putri-putri seniman. Termasuk penari puteri binaannya adalah Henny Harsa, yang kelak menjadi istri Guntur Soekarnoputra. Putera Presiden Pertama yang biasa dipanggil "Mas Tok" ini tengah kuliah di ITB. Ia dikenalkan kepada Henny lewat personil Grup Trio Bimbo, antara lain Acil Bimbo yang juga menjadi sahabat Rahmat.Â
Tapi bagi Rahmat, Â pada gadis bernama Enen itu, Â entah kenapa, ia menemukan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekaguman. Cinta itu, kalau boleh rasa itu disebut cinta, mengguncangnya dengan getaran yang aneh. Seperti isyarat takdir yang menunggu di ujung harapan. Padahal sebagai pembina penari, hidupnya tidak pernah jauh dari senyum para gadis jelita.
Malam minggu itu, Rahmat pun menjemput takdir. Ia datang ke kosan Enen di Jalan Lengkong Kecil, Bandung. Membawa koran sebagai alibi. "Kalau dia tak sudi menemuiku, aku baca koran ini saja," gumamnya.
Namun begitu ia masuk ke ruang tamu kos putri itu, beberapa lelaki yang sedang bertamu langsung bubar. "Ada Rahmat. Kita pulang aja," celetuk salah satu. Nama Rahmat ternyata memang punya gema di daerah itu. Tanpa perlawanan, mengalahkan beberapa dosen dan kakak kelas yang sudah selesai sarjana yang ternyata juga memimpikan gadis itu.
Namun keberanian Rahmat ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Detak jantung mereka saat bertatapan tak bisa berdusta. Tak ada kata cinta terucap, tapi tatapan itu bicara lebih dari seribu kata, Rahmat tahu: Enen menerimanya.
Enen mengabarkan akan pulang ke Cianjur esok harinya. Rahmat menawarkan diri mengantar. Ia tidak hanya mengantar tubuhnya, tapi juga hatinya. Dan Enen tak menampik.
Di Cianjur, ia bertemu keluarga besar Enen, dengan kepala keluarga: Bapak Saleh Siradj, Kepala Dinas PU yang penuh wibawa. Uwak Hajjah Rukiyah sempat berseloroh, "Bawa Indo dari mana, Nen?" menyenggol Enen sambil melirik Rahmat yang tersenyum kaku. Tapi senyum itu, dengan segala gugupnya, adalah janji yang akan ia penuhi.
Tiga bulan kemudian, mereka menikah di rumah besar di Jalan Otista I atau dikenal dengan daerah Bojong Herang, yang berarti tepian sungai bening. Nama itu seperti mewakili gadis-gadis di sana yang memang konon "bening-bening".