Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membebaskan Kata dari Jeruji Tenggorokan

27 Maret 2025   14:51 Diperbarui: 23 Mei 2025   06:43 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membebaskan Kata dari Jeruji Tenggorokan


Oleh Dikdik Sadikin

Kesulitan menyuarakan pikiran berasal dari tiga sumber yang saling terhubung: psikologis, emosional, dan lingkungan. Kita cemas, kita takut ditertawakan, atau tumbuh dalam lingkungan yang membungkam. Seorang anak yang pernah dicemooh saat berbicara di depan kelas bisa menjadi seorang dewasa yang memilih diam, meski pikirannya penuh gagasan.

WAKTU kecil, saya seorang penggagap.

Untuk mengeluarkan satu suku kata dari tenggorokan, saya seperti harus bergulat dengan sesuatu yang tak kasatmata. Seakan ada kawat berduri menggulung lidah saya sendiri. Tak jarang, tubuh saya membanting diri sendiri, kaki menjejak lantai keras, hanya untuk satu kata keluar.

Barangkali karena itu, dalam masa kecil yang panjang, saya lebih banyak diam. Diam yang bukan tanda bijak, tapi tanda kalah. Kalah oleh tubuh sendiri.

Bila bahasa adalah jembatan antara pikiran dan dunia, saya hidup dengan jembatan yang sebagian papan-papannya patah. Tapi manusia selalu mencari jalannya sendiri untuk sampai ke seberang. Dalam diam, saya menulis. Mesin ketik manual Papah saya dengan bunyi "tak-tok" sering membelah sunyi saat digunakan, menjadi saksi proses itu. Dalam kesendirian yang tak menghakimi, saya menumpahkan kalimat-kalimat di kertas. Rumah menjadi ruang aman saya, dan barangkali satu-satunya ruang di mana saya benar-benar bisa bebas.

Dari kebiasaan menulis saat kecil itu, saat kelas satu SMP  (1977), saya diam-diam mengirim hasil tulisan saya ke majalah remaja "Kawanku", dan ternyata dimuat. Sebuah cerpen berjudul "Akibat Sok Tahu". Itulah tulisan pertama saya yang membuat saya bangga dan bersyukur. Setidaknya untuk dapat melihat arah minat saya ke depan.

Namun hidup menuntut kita untuk berkata-kata. Maka, terapi untuk dapat berbicara lancar saya lakukan bukan di klinik wicara, melainkan di panggung. Dalam latihan teater sebelum tampil di panggung, saya dilatih untuk berlatih artikulasi. Bagaimana merawat dan mengeluarkan kata-kata dengan teratur.  

Dengan tujuan itu, sejak SMP saya bergabung dengan kelompok teater di sekolah. Di SMA, saya makin menyukainya. Dan ketika kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) tahun 1984, saya bergabung dengan Grup Teater STAN yang dipimpin Helmy Yahya, yang kemudian menjadi raja kuis itu, yang saat itu adalah kakak kelas saya di STAN dan asisten dosen di kelas.

Dari latihan teater itu lah saya belajar: bahwa kata-kata tidak cukup lahir dari tenggorokan. Kata-kata harus diciptakan oleh tubuh, oleh napas, oleh irama emosi. Dan yang lebih penting: kata-kata harus lahir dari kejujuran pikiran. Di situ, kemudian akhirnya saya mencoba terus berlatih, bahkan pernah berhasil menjuarai lomba baca puisi. Ini bukan sekadar unjuk kebolehan. Tetapi lebih kepada pembuktian "terapi" mengucapkan kata-kata yang saya jalani.

Kesulitan mengungkapkan isi pikiran adalah hal yang bagi sebagian besar orang tampak sepele. Padahal tidak. Menurut data National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD) di Amerika Serikat, sekitar 3 juta orang mengalami gagap, dan kebanyakan dimulai pada usia 2 hingga 6 tahun. Di Indonesia, meski data spesifik masih jarang, namun WHO memperkirakan sekitar 1% populasi dunia mengalami gagap kronis. Artinya lebih dari 2,5 juta orang Indonesia mengalaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun