Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

IG: cakesbyzas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Imajinasi, FOMO, dan Risiko yang Tidak Disadari Dari Tren Foto AI

22 September 2025   08:32 Diperbarui: 22 September 2025   08:32 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda melihat teman, saudara, atau rekan kerja mengunggah foto dirinya dalam berbagai versi buatan AI? Kadang ada yang tampil bak raja di era kerajaan, ada yang jadi pahlawan super, ada pula yang bergaya seperti karakter animasi. Dalam beberapa detik, wajah yang biasa Anda lihat sehari-hari berubah jadi sesuatu yang penuh fantasi.

Fenomena ini sedang viral, dan hampir semua orang pernah tergoda untuk mencoba. Rasanya seru, bahkan membanggakan, ketika bisa melihat diri sendiri dalam wujud yang selama ini cuma ada di imajinasi. Tapi di balik keseruan itu, muncul juga pertanyaan: apakah tren ini cuma sekadar hiburan, atau ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya?

Rasa Ingin Tahu yang Sulit Dikendalikan

Kalau dipikir, manusia memang makhluk yang selalu penasaran. Ada rasa ingin tahu yang besar tentang bagaimana diri terlihat di mata orang lain, atau bagaimana jadinya kalau hidup di dunia berbeda. Teknologi AI seperti membuka cermin alternatif yang bisa menampilkan versi diri yang beragam, seakan-akan memberi jawaban atas rasa penasaran itu.

Psikologi menyebut hal ini sebagai bentuk "self-exploration" atau eksplorasi diri. Manusia suka mencari identitas, bahkan sekadar lewat visual. Jadi wajar kalau banyak orang tertarik, karena dengan satu klik, mereka bisa membayangkan hidup yang berbeda. Ada rasa kagum, ada rasa lucu, bahkan kadang ada rasa percaya diri yang tiba-tiba meningkat.

Antara Hiburan dan FOMO

Tapi tidak semua orang ikut tren ini karena benar-benar ingin tahu. Ada juga yang cuma merasa takut tertinggal, atau yang populer disebut FOMO (Fear of Missing Out). Anda mungkin pernah merasakannya. Ketika linimasa penuh dengan foto AI orang lain, ada perasaan: "Kalau tidak ikut, rasanya ketinggalan."

Sosiologi menjelaskan kalau manusia hidup dalam jaringan sosial yang penuh tekanan halus. Kalau mayoritas orang melakukan sesuatu, individu cenderung terdorong mengikuti, walaupun sebenarnya tidak begitu minat. Jadi kadang bukan karena Anda benar-benar ingin, tapi lebih karena dorongan sosial.

Hasilnya? Foto AI jadi semacam "seragam sosial" baru. Orang tidak mau ketinggalan. Semua ingin punya.

Cermin Virtual yang Menggoda

Di sisi lain, foto AI juga bekerja seperti cermin yang memperlihatkan versi diri yang lebih ideal. Kalau dalam kehidupan nyata ada hal-hal yang membuat Anda kurang puas, foto AI bisa menutupi atau malah memperbaikinya. Misalnya, wajah terlihat lebih muda, kulit lebih halus, atau gaya lebih keren.

Ini mirip dengan cara orang suka memakai filter di media sosial. Bedanya, AI membuat hasilnya jauh lebih dramatis. Dari sudut pandang filsafat, hal ini menggambarkan bagaimana manusia selalu mencari citra diri yang lebih indah dibanding realita. Kita ingin dikenang bukan cuma sebagai siapa kita sekarang, tapi juga siapa yang kita bayangkan.

Masalahnya, kalau terlalu sering melihat versi "sempurna" itu, ada risiko rasa syukur terhadap diri yang asli berkurang. Akhirnya, yang muncul bukan sekadar hiburan, tapi rasa minder ketika kembali ke cermin nyata.

Risiko yang Jarang Dibicarakan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun