Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

IG: cakesbyzas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Kakek Penjual Buku di Malam Hari

15 September 2025   11:33 Diperbarui: 15 September 2025   17:02 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anda bisa belajar dari siapa saja yang Anda temui, bahkan dari seorang kakek penjual buku (Gemini AI-Generated image)

Bayangkan malam yang sepi. Jalanan sudah mulai lengang, lampu jalan menyala redup, dan udara malam terasa menusuk tulang. Dari kejauhan, terlihat sosok seorang kakek berusia sekitar tujuh puluhan tahun. Jalannya pelan, sedikit tertatih, tapi tetap mantap. Di punggungnya tergantung sebuah tas besar yang terlihat berat, penuh dengan buku-buku agama yang dijualnya dari siang sampai malam.

Ia tidak naik motor, tidak menunggu ojek online, apalagi menenteng smartphone canggih. Ia cuma berjalan kaki, melangkah perlahan tapi terus maju. Padahal rumahnya masih puluhan kilometer dari titik ia berjalan sekarang.

Cerita ini bukan sekadar tentang seorang kakek yang berjualan. Lebih dari itu, ini adalah kisah tentang ketekunan, tentang perjuangan yang sunyi, dan tentang bagaimana sebuah langkah kaki bisa menyentuh hati orang yang melihatnya.

Kadang, kalau Anda merasa hidup begitu berat, coba bayangkan perjalanan seorang kakek itu. Bukan supaya Anda menyepelekan masalah sendiri, tapi supaya Anda ingat: nikmat yang Anda punya tidak pernah sepele, cuma saja seringkali Anda lupa.

Ketika Hidup Membawa Anda pada Ujian

Hidup memang tidak pernah rata. Ada yang jalannya lapang, ada yang jalannya terjal. Kakek itu, dengan tubuh renta dan tenaga yang sudah berkurang, memilih tetap berusaha mencari rezeki dengan cara yang sederhana. Membawa buku-buku agama, mengetuk hati orang lewat kata-kata yang tertulis, sambil mengetuk pintu rezeki dengan keringatnya sendiri.

Anda mungkin sering mengeluh soal pekerjaan yang terasa monoton, gaji yang belum cukup, atau target yang terus bertambah. Tapi di saat yang sama, ada orang yang bahkan harus berjalan belasan kilometer demi beberapa rupiah.

Psikologi menyebut fenomena ini sebagai downward comparison, yaitu kecenderungan membandingkan diri dengan orang yang kondisinya lebih sulit. Biasanya, orang melakukan ini untuk merasa lebih baik. Tapi kalau Anda berhenti sejenak, sebenarnya bukan itu pelajaran utamanya. Pelajarannya adalah: jangan pernah meremehkan nikmat yang Anda punya sekarang.

Beratnya Tas, Beratnya Hidup

Tas besar di punggung kakek itu bukan sekadar benda fisik. Ia adalah simbol dari beban hidup yang dipikul setiap orang. Ada orang yang menanggung beban hutang, ada yang menanggung beban rasa kehilangan, ada yang menanggung beban tanggung jawab di keluarga, dan ada juga yang menanggung beban ekspektasi di tempat kerja.

Setiap beban itu terasa berat sesuai dengan kapasitas masing-masing. Yang menarik, kakek itu tidak meletakkan tasnya di trotoar untuk berhenti lama. Ia tetap berjalan. Sesekali ia mungkin beristirahat, tapi langkahnya tidak berhenti total.

Di titik ini, nilai Islam tentang sabar terasa begitu nyata. Sabar bukan berarti diam tanpa usaha, tapi sabar adalah kemampuan untuk tetap melangkah, walau pelan, walau sakit, walau jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun