Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

IG: cakesbyzas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Ikut Memperkeruh, Bijaklah Menyaring dan Menyebarkan Informasi

8 September 2025   08:22 Diperbarui: 8 September 2025   08:22 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal dari Sebuah Kebiasaan

Anda mungkin pernah mengalaminya. Sedang asyik membuka media sosial, lalu muncul sebuah unggahan yang menghebohkan. Judulnya provokatif, isinya membuat emosi naik turun. Kadang marah, kadang takut, kadang juga merasa harus segera membagikan supaya orang lain tahu. Rasanya seperti ada desakan dari dalam diri: "Kalau tidak disebarkan sekarang, orang lain bisa terlambat tahu."

Tapi di balik dorongan itu, sering kali ada jebakan. Apa yang Anda bagikan belum tentu benar, bahkan bisa saja cuma separuh kebenaran yang dipoles sebegitu rupa supaya terlihat meyakinkan. Dari situlah rantai hoaks lahir. Bukan cuma dari orang yang berniat jahat, tapi juga dari orang baik yang tidak sempat memeriksa.

Godaan untuk Menjadi yang Pertama

Ada semacam kebanggaan tersembunyi saat menjadi orang pertama yang menyebarkan kabar. Seolah-olah kita jadi sumber terpercaya di lingkaran pertemanan. Cuma masalahnya, keinginan jadi "yang tercepat" sering lebih kuat daripada kesadaran untuk jadi "yang paling tepat".

Psikologi sosial menyebut fenomena ini sebagai need for recognition. Manusia cenderung mencari pengakuan sosial. Di era digital, pengakuan itu datang dari jumlah like, komentar, dan tanda panah berputar---tombol share. Semakin cepat Anda membagikan, semakin besar peluang mendapat perhatian.

Padahal, perhatian yang didapat dengan mengorbankan kebenaran sering cuma bertahan sebentar. Setelah fakta terungkap, justru muncul rasa malu, kehilangan kepercayaan, bahkan kadang disalahkan karena ikut memperkeruh suasana.

Kebenaran Bukan Sekadar Informasi

Kalau dipikir lebih dalam, kebenaran itu bukan sekadar soal data atau informasi. Ia menyangkut tanggung jawab. Dalam pandangan Islam, menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan bisa merugikan orang lain, meski niat awalnya tidak jahat. Amanah lisan---atau dalam konteks modern: amanah jari---tetap berlaku.

Bayangkan ada kabar tentang sebuah perusahaan yang dikabarkan bangkrut. Orang-orang ramai membicarakannya, saham turun, pelanggan jadi ragu. Beberapa hari kemudian, terbukti kalau berita itu salah. Tapi dampaknya sudah telanjur terasa. Kepercayaan yang rusak tidak bisa serta-merta dipulihkan.

Itulah sebabnya niat saja tidak cukup. Ikhlas memang penting, tapi ikhlas perlu ditemani dengan kehati-hatian. Sabar untuk tidak tergesa-gesa menekan tombol share bisa jadi bentuk ibadah yang sederhana tapi sangat bermakna.

Logika di Balik Kebohongan yang Viral

Mengapa hoaks lebih cepat menyebar daripada klarifikasinya? Sosiologi komunikasi memberi jawaban: manusia cenderung lebih tertarik pada informasi yang dramatis, mengejutkan, atau menimbulkan emosi kuat.

Kalau ada berita tentang bahaya baru, orang merasa perlu segera melindungi diri. Kalau ada gosip tentang tokoh terkenal, orang merasa tidak mau ketinggalan obrolan. Padahal berita yang benar sering kali justru lebih datar, lebih biasa, tidak memancing perasaan.

Inilah yang disebut negativity bias: otak manusia lebih cepat menangkap dan mengingat hal-hal negatif dibanding hal-hal positif. Jadi, tidak heran kalau kabar buruk lebih cepat viral. Masalahnya, viral belum tentu berarti benar.

Cerita tentang Sebuah Pesan Grup

Bayangkan sebuah grup keluarga di aplikasi chat. Seorang anggota mengirimkan pesan tentang obat mujarab yang bisa menyembuhkan penyakit tertentu. Katanya, sudah banyak orang sembuh. Ditambah lagi ada kalimat "Sebarkan supaya semua orang selamat."

Anda yang membaca jadi bimbang. Kalau benar, tentu sangat membantu. Tapi kalau salah? Bisa jadi ada orang yang berhenti berobat ke dokter cuma karena percaya pesan itu.

Dilema seperti ini sering muncul di keseharian. Kadang lebih mudah menekan tombol forward daripada menahan diri. Tapi setiap kali kita menahan diri, sebenarnya kita sedang menyelamatkan orang lain dari risiko salah langkah.

Filosofi Menyaring: Antara Hati dan Akal

Filsafat komunikasi menekankan pentingnya ethics of responsibility. Artinya, setiap kata yang keluar dari kita punya konsekuensi. Begitu sebuah pesan beredar, kita tidak bisa menariknya kembali.

Di sinilah akal dan hati perlu bekerja sama. Akal berfungsi untuk memeriksa logika, mencari sumber, membandingkan data. Hati berfungsi sebagai rem, mengingatkan kalau ada yang terasa janggal atau tidak sesuai nilai kebaikan.

Ada pepatah lama yang berbunyi: "Kalau ragu, tinggalkan." Prinsip ini relevan sekali untuk dunia digital. Kalau Anda ragu dengan sebuah informasi, lebih baik berhenti di tangan Anda. Jangan sampai menjadi jembatan bagi sesuatu yang bisa menyesatkan banyak orang.

Antara Kecepatan dan Kebijaksanaan

Internet membuat segalanya serba cepat. Informasi bisa beredar ke ribuan orang cuma dalam hitungan detik. Tapi kebijaksanaan tidak pernah lahir dari kecepatan. Ia lahir dari jeda. Dari kesediaan berhenti sejenak, memeriksa, dan merenungkan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita terbiasa menilai orang dari ucapannya. Sama halnya di dunia digital, orang akan menilai Anda dari apa yang Anda bagikan. Kalau yang sering muncul dari akun Anda adalah hoaks atau berita setengah matang, perlahan orang akan ragu mempercayai Anda. Sebaliknya, kalau Anda dikenal berhati-hati dan bijak, suara Anda akan lebih didengar ketika benar-benar dibutuhkan.

Nilai Ikhlas dalam Menyebarkan Informasi

Ikhlas bukan berarti asal berbagi tanpa peduli dampak. Ikhlas berarti meniatkan apa pun yang kita sebarkan untuk kebaikan bersama. Kadang wujud ikhlas itu justru berupa diam. Tidak ikut menyebarkan, meski merasa punya kesempatan.

Kalau dipikir, diam yang menyelamatkan orang lain dari kesalahan bisa lebih berharga daripada bicara yang cuma menambah keributan. Sama seperti ketika di jalan ada orang panik karena macet, lalu satu orang memutuskan tidak membunyikan klakson. Diamnya orang itu justru membuat suasana lebih tenang.

Tantangan Zaman: Informasi yang Tidak Pernah Usai

Anda mungkin merasakan sendiri, setiap kali membuka gawai, ada banjir informasi yang masuk. Berita baru, gosip hangat, rumor politik, kabar bencana, semuanya datang silih berganti. Tidak ada jeda.

Psikologi modern menyebut kondisi ini sebagai information overload. Otak manusia sebenarnya tidak didesain untuk menampung begitu banyak informasi sekaligus. Akibatnya, kita jadi sulit membedakan mana yang penting dan mana yang tidak. Dalam kondisi lelah, kemampuan berpikir kritis pun menurun. Di situlah hoaks paling mudah masuk.

Menjadi Bagian dari Solusi

Kalau dipikir-pikir, dunia digital itu ibarat pasar yang ramai. Ada penjual jujur, ada juga yang menipu. Anda bebas memilih mau jadi pembeli yang cerdas atau korban yang mudah percaya.

Lebih dari itu, Anda juga bisa memilih mau jadi penonton pasif atau agen kebaikan. Agen kebaikan bukan berarti selalu sibuk membantah setiap hoaks yang lewat. Kadang cukup dengan memberi klarifikasi dari sumber resmi, atau mengingatkan teman supaya hati-hati sebelum membagikan.

Perubahan besar sering dimulai dari langkah kecil. Satu orang yang berhenti menyebarkan hoaks bisa mencegah ratusan orang lain ikut terjebak.

Saatnya Berkaca

Pada akhirnya, pertanyaan yang perlu Anda renungkan bukan lagi "Apakah berita ini benar atau salah?" tapi "Apakah perlu saya sebarkan atau tidak?" Karena tidak semua yang benar harus selalu diumumkan. Kadang ada kebenaran yang, kalau disampaikan tanpa bijak, justru melukai orang lain atau menambah keresahan.

Hidup di era banjir informasi menuntut kita lebih bijak, lebih sabar, dan lebih berhati-hati. Nilai-nilai seperti amanah, ikhlas, dan tanggung jawab bukan cuma berlaku di masjid atau ruang kelas, tapi juga di layar kecil yang setiap hari kita genggam.

Jadi, sebelum jari Anda menekan tombol share, tanyakanlah pada diri sendiri: apakah ini akan membawa manfaat, atau malah memperkeruh suasana?

Apakah Anda merasa, kadang justru diam lebih bijak daripada berbagi? Dan kalau setiap orang mau menahan diri sejenak sebelum menyebarkan kabar, kira-kira bagaimana wajah dunia digital kita akan berubah?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun