Seorang anak yang berulang kali dibohongi orang tuanya, lama-lama akan merasa jauh. Misalnya, janji akan datang menonton pentas sekolah, tapi tidak pernah benar-benar hadir. Anak tidak akan marah di awal, tapi lama-lama ia belajar kalau janji orang tua tidak bisa dipegang.
Atau dalam hubungan suami-istri. Sekali perselingkuhan terbongkar, kata-kata maaf bisa ribuan kali diucapkan. Tapi rasa percaya sudah patah.
Luka di keluarga ini biasanya lebih dalam daripada di luar, karena menyangkut orang-orang yang paling dekat dengan hati.
Saat Dunia Digital Membuat Kepercayaan Makin Rapuh
Sekarang hidup kita banyak bergantung pada dunia digital. Media sosial, chat, email---semuanya jadi sarana komunikasi. Tapi di balik kemudahan itu, muncul tantangan baru.
Orang bisa dengan mudah menutupi kenyataan dengan tampilan. Foto bisa diedit, cerita bisa dipoles, pesan bisa direkayasa. Akhirnya, batas antara nyata dan palsu makin kabur.
Tidak heran kalau banyak orang kini lebih sulit percaya. Setiap kabar dipertanyakan, setiap informasi dicurigai. Dunia digital membuat kita lebih dekat secara teknis, tapi lebih jauh secara emosional.
Hikmah dari Kehilangan Kepercayaan
Kalau dipikirkan lebih dalam, kehilangan kepercayaan memang pahit. Tapi di balik itu ada hikmah yang bisa direnungkan.
Pertama, kita belajar berhati-hati dalam berkata. Jangan mudah berjanji kalau tidak yakin bisa menepati.
Kedua, kita belajar kalau hubungan manusia tidak bisa berdiri cuma di atas kata-kata. Ia butuh ketulusan, amanah, dan konsistensi.
Ketiga, kita disadarkan kalau manusia memang bisa mengecewakan. Maka satu-satunya tempat menaruh kepercayaan penuh hanyalah kepada Allah, yang tidak pernah ingkar janji.
Menutup dengan Pertanyaan untuk Anda
Hidup ini penuh dengan hubungan yang bertumpu pada kepercayaan. Begitu kepercayaan hilang, apa pun yang Anda katakan tidak lagi didengar. Kata-kata kehilangan daya.