Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang selalu tampak berani membela yang lemah, lantang menentang ketidakadilan, tapi diam-diam melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang dia serukan? Anda mungkin pernah melihatnya di lingkungan kerja, di komunitas sosial, atau bahkan di media sosial. Orang yang tampil seolah-olah menjadi pahlawan moral, tapi kenyataannya menyimpan aib yang jauh lebih besar daripada yang bisa ditutupi dengan kata-kata dan tindakan teaterik.
Kalau kita amati, ada sesuatu yang menarik dari fenomena ini. Orang seperti ini tidak cuma pura-pura peduli, tapi juga menata citra dirinya sedemikian rupa sampai seolah-olah semua yang dia lakukan adalah demi kebaikan orang lain. Ia berani bersuara lantang, mengkritik kebijakan yang merugikan, membela mereka yang tertindas, sampai banyak orang percaya kalau ia memang orang baik. Padahal, di balik itu semua, ada sisi gelap yang diam-diam ia sembunyikan.
Sandiwara Moral: Siapa yang Hendak Ditipu?
Kita mungkin bertanya-tanya, apa yang ada dalam pikiran orang yang bersandiwara menjadi orang baik itu? Kalau kita lihat dari sisi psikologi, fenomena ini bisa dijelaskan melalui konsep "self-deception" atau menipu diri sendiri. Orang yang bersandiwara kadang percaya kalau tampilan baiknya bisa menutupi kelemahan dan dosa yang nyata. Ia ingin orang lain menilai dirinya sebagai pahlawan, sehingga rasa bersalah atau takut ketahuan bisa ditekan.
Tapi, kalau diamati lebih dalam, ada ambisi tersembunyi di balik aksi heroiknya. Ia ingin dipuji, dihormati, atau bahkan dijadikan panutan. Ia berharap citra dirinya yang "bersih" akan menutupi perilaku jahat yang dilakukannya. Dalam bahasa Islam, ini bisa dikaitkan dengan soal niat. Kalau niatnya tidak lurus, sekadar tampak baik di mata orang lain tanpa memperbaiki diri, maka seluruh pertunjukan itu cuma menjadi sandiwara.
Sisi menarik lain dari fenomena ini adalah bagaimana ia memilih "korban" untuk dibela. Biasanya, ia akan memilih mereka yang lemah atau mereka yang bisa membuatnya terlihat heroik saat menolong. Ia tidak menentang ketidakadilan secara universal, tapi selektif, sesuai dengan apa yang bisa meningkatkan citra dirinya. Malah, ada kalanya, ia menggunakan isu ketidakadilan itu untuk menutupi perilaku curangnya sendiri.
Ironi Korupsi di Balik Lontaran Kata-kata
Bayangkan situasi ini: seorang pejabat sering mengampanyekan transparansi dan anti-korupsi, mengkritik rekan-rekannya yang tersangkut kasus penyalahgunaan dana, sambil mengunggah foto-foto kegiatan sosial demi citra. Semua orang mengangguk setuju, menaruh hormat. Tapi, di balik layar, ia menyelewengkan anggaran, memanipulasi laporan, dan menumpuk keuntungan pribadi.
Situasi seperti ini bukan sekadar kebetulan. Seringkali, perilaku korupsi muncul dari pola pikir kalau "saya bisa lolos karena saya terlihat baik." Ini adalah jebakan psikologis yang fatal. Ia menganggap penampilan moralnya bisa menjadi tameng terhadap konsekuensi nyata. Padahal, tidak ada yang bisa menutupi aib selamanya. Waktu dan keadaan akan menemukan celah untuk membuka semua yang disembunyikan.
Dari perspektif sosiologi, fenomena ini juga bisa dilihat sebagai bentuk tekanan sosial. Lingkungan yang memuji tindakan heroik tanpa meneliti integritasnya mendorong perilaku sandiwara. Orang yang tadinya mungkin cuma ingin menutupi kekurangan, akhirnya terbawa arus untuk menampilkan diri sebagai "pejuang keadilan," meski realitanya jauh dari itu.
Ketika Aib Terbongkar: Hancurnya Topeng
Akhirnya, seperti semua sandiwara, topeng itu akan jatuh. Seorang teman atau kolega mungkin secara tak sengaja mengetahui fakta sesungguhnya. Dokumen bocor, laporan audit terbuka, atau bahkan pengakuan seseorang bisa menjadi pemantik. Saat itu terjadi, semua yang telah dibangun selama bertahun-tahun bisa runtuh dalam hitungan hari.
Yang menarik, reaksi orang yang bersandiwara itu seringkali tidak diduga. Beberapa orang menjadi defensif, mencari kambing hitam, atau mencoba menutupi kesalahan dengan alasan baru. Tapi, tidak jarang, mereka yang bersandiwara justru merasa lega. Kenapa? Karena setelah sekian lama hidup dalam kebohongan, terbukanya aib bisa menjadi titik awal untuk menghadapi realita, meski pahit.