Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Berita Kematian Mengetuk Pintu Hati, Mengingat yang Penting, Melepaskan yang Sia-sia

17 Agustus 2025   08:08 Diperbarui: 16 Agustus 2025   18:12 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendengar kabar duka, bisa menyadarkan kita hakikat kehidupan (freepik) 

Ada satu momen yang hampir selalu membuat hati manusia berhenti sejenak. Bukan karena rasa sakit fisik, tapi karena ada hentakan yang datang dari dalam. Momen itu adalah ketika Anda mendengar atau membaca kabar kalau seseorang meninggal dunia.

Tidak harus orang yang sangat dekat. Bahkan kabar wafatnya seorang tokoh publik yang tidak pernah Anda temui pun bisa meninggalkan rasa aneh di dada. Apalagi kalau itu adalah teman lama, tetangga, atau rekan kerja. Rasanya seperti dunia tiba-tiba melambat. Pikiran pun mulai berkelana ke arah yang jarang Anda sentuh saat sibuk: tentang hidup, mati, dan waktu yang terus berjalan.

Kenapa momen seperti ini begitu mengguncang? Karena kematian adalah satu-satunya kepastian yang kita tahu akan datang, tapi justru paling sering kita hindari dari pikiran. Sampai akhirnya, sebuah berita mengingatkan kita dengan cara yang halus tapi menghantam: "Giliranmu juga akan datang."

Saat Kabar Itu Datang Tanpa Peringatan

Bayangkan suatu pagi Anda sedang menyeduh kopi. Hari terasa biasa saja. Lalu ponsel bergetar. Sebuah pesan singkat masuk di grup keluarga: "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, Pak Fulan meninggal dunia pagi ini."

Sekejap, rasa kantuk hilang. Kopi yang baru diseduh tiba-tiba terasa hambar. Anda mencoba mengingat-ingat, kapan terakhir kali bertemu orang itu. Mungkin beberapa bulan lalu. Mungkin lebih.

Ada rasa kaget, tapi juga ada rasa hening. Anda tidak tahu harus mengucapkan apa. Apalagi kalau itu seseorang yang baru kemarin tertawa bersama Anda, atau bahkan masih terlihat sehat. Seolah kematian tidak punya jadwal yang bisa kita baca, dan datangnya bukan menunggu giliran usia.

Dalam psikologi, ini disebut mortality salience --- kesadaran mendadak akan kefanaan hidup. Saat Anda dihadapkan pada realitas kalau suatu hari Anda juga akan mati, sistem mental Anda bereaksi. Ada yang langsung merasa takut. Ada yang tiba-tiba merasa ingin menelepon orang-orang tersayang. Ada yang justru sibuk mencari distraksi, seperti menonton video lucu, supaya rasa tidak nyaman itu cepat hilang.

Kematian: Guru yang Tidak Pernah Lelah Mengajar

Dalam Islam, kematian justru disebut sebagai nasihah (nasihat) yang paling kuat. Nabi Muhammad bersabda: "Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan (kematian)." (HR. Tirmidzi).

Kalau dipikir-pikir, nasihat ini masuk akal sekali. Manusia cenderung lengah saat hidup terasa nyaman. Kita lupa kalau semua ini cuma sementara. Pekerjaan, harta, bahkan hubungan, semua akan meninggalkan atau ditinggalkan. Kematian mengingatkan kalau waktu adalah modal yang habis tanpa bisa diisi ulang.

Filsafat pun memandang kematian sebagai pintu untuk hidup lebih bermakna. Tokoh Stoik seperti Seneca menulis kalau hidup itu cukup panjang kalau digunakan dengan bijak, tapi terasa pendek kalau dihabiskan untuk hal-hal yang sia-sia. Artinya, kesadaran akan kematian seharusnya membuat kita menyaring ulang mana yang penting dan mana yang cuma kebisingan hidup.

Saring Lagi: Mana yang Benar-Benar Penting

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun