Awal yang Penuh Harapan
Ada satu momen yang mungkin masih jelas dalam ingatan Anda. Saat itu, lima tahun lalu, Anda memulai bisnis pertama dengan semangat yang nyaris tak terbendung. Anda merancang konsepnya sendiri, mencari modal dengan segala cara, bahkan mengorbankan waktu tidur demi merintisnya.
Mungkin Anda masih ingat bagaimana jantung berdegup kencang ketika tanda tangan kontrak pertama kali. Atau rasa bangga saat melihat papan nama toko terpampang, atau logo bisnis muncul di kartu nama. Ada rasa percaya diri, ada doa yang terus terucap, ada keyakinan kalau inilah awal dari perjalanan panjang menuju kesuksesan.
Dalam lima tahun itu, bisnis Anda bukan cuma soal jual beli. Ada cerita di balik setiap pesanan, ada pelanggan yang sudah menjadi teman, ada pegawai yang sudah seperti keluarga sendiri. Semua itu membentuk nilai historis yang tidak bisa dihitung dengan angka.
Tapi, sekarang Anda berada di persimpangan yang sulit. Bisnis ini sudah tidak lagi sehat secara keuangan. Anda tahu, kalau dipertahankan, kerugiannya akan semakin besar. Dan Anda pun mulai mempertanyakan: apakah saya harus melepas sesuatu yang sudah saya perjuangkan setengah mati?
Mengapa Melepas Bisa Lebih Berat dari Memulai
Kalau memulai butuh keberanian, melepas justru butuh kerendahan hati. Ketika memulai, Anda berangkat dari nol, penuh harapan. Tapi ketika melepas, Anda berhadapan dengan kenyataan kalau semua tenaga, waktu, dan uang yang sudah Anda curahkan mungkin tidak akan kembali.
Secara psikologis, ada yang disebut sunk cost fallacy. Ini adalah kecenderungan manusia untuk terus bertahan pada sesuatu cuma karena sudah terlanjur menginvestasikan banyak hal di dalamnya, meskipun bukti jelas menunjukkan kalau bertahan akan lebih merugikan. Pikiran kita sering berkata, "Sayang sekali kalau berhenti sekarang," padahal berhenti mungkin justru menyelamatkan.
Di sinilah dilema besar muncul. Rasanya seperti mengkhianati diri sendiri. Seperti menghapus bagian dari identitas Anda. Anda tidak cuma melepas bisnis, Anda juga melepas cerita, kenangan, dan kebanggaan yang melekat di dalamnya.
Toko yang Tak Lagi Menguntungkan
Beberapa waktu lalu, seseorang punya sebuah toko yang sudah ia jalankan sejak 2018. Awalnya ramai, bahkan sampai harus menambah pegawai. Tapi sejak pandemi, penjualan turun drastis. Setelahnya, kondisi tidak pernah benar-benar pulih. Biaya sewa naik, pemasok menaikkan harga, dan pelanggan mulai beralih ke platform online yang lebih murah.
Ia mencoba bertahan. Mengurangi jam operasional, memangkas pegawai, bahkan mengorbankan tabungan pribadi. Tapi setiap bulan, grafiknya tetap turun. Ia tahu, kalau terus begini, dia bukan cuma kehilangan toko---dia juga akan kehilangan rumahnya karena harus menjual aset untuk menutup utang.
Akhirnya, dengan berat hati, ia memutuskan untuk menutup toko itu. Saat hari terakhir, ia berdiri lama di depan pintu, memandangi papan nama yang ia pasang lima tahun lalu. Katanya, yang paling berat bukan kehilangan pemasukan, tapi kehilangan tempat yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya.