Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Altar Paskah Hadir di Ruang-ruang Keluarga

12 April 2020   23:05 Diperbarui: 13 April 2020   15:00 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Paskah 2020 adalah perayaan yang istimewa karena setidaknya untuk tiga hal. Pertama, dirayakan dalam rasa keprihatinan yang mendalam. Kedua, dimaknai secara lebih khusus dan lebih luas. Dan, ketiga, membawa kepada refleksi dan permenungan yang jauh lebih dalam. “Jiwa-jiwa membutuhkan keheningan, alam membutuhkan keseimbangan dan Tuhan sungguh tidak di kejauhan,” demikian salah satu refleksi yang disharingkan oleh Maria. Refleksi yang secara umum merangkum banyak sharing dari banyak kota yang menjadi zona merah penyebaran pandemi  Covid19.

Basilika Santo Petrus tampak gelap. Paus Fransiscus merayakan Paskah yang disiarkan ke seluruh penjuru dunia lewat teknologi internet. Sangat bertolak belakang dari perayaan pada tahun-tahun sebelumnya, perayaan Paskah 2020 diselenggarakan tanpa umat. Pandemi Covid19 tidak memungkinkan banyak orang berkumpul. Resiko paparan sangat besar dan beresiko. Apalagi, seperti bersama diketahui, Italia adalah salah satu negara dengan jumlah korban yang sangat besar dibandingkan dengan jumlah penduduk.

Jiwa-jiwa membutuhkan keheningan, alam membutuhkan keseimbangan dan Tuhan sungguh tidak di kejauhan

Kebijakan drastis Bapa Paus Fransiscus juga diikuti oleh semua keuskupan di seluruh dunia. Tidak ada perayaan dengan konsentrasi massa yang besar. Misa-misa disiarkan secara streaming tanpa kehadiran umat. Umat berkumpul di rumah masing-masing. Altar-altar disiapkan di ruang-ruang keluarga.

Banyak sekali refleksi yang muncul atas situasi ini. Ada yang takjub, ada yang prihatin. Ada yang merindukan berkumpul di gereja, ada yang mengajak untuk merenungkan secara lebih mendalam.

Belarasa dari Para Sahabat

Naning Scheid, seorang ibu asli Semarang yang menetap di Belgia, memberikan catatannya, “Biasanya tiap Paskah, ada tradisi "mencari telur dari cokelat" yang disebar di taman atau hutan kota di Belgia. Tradisi yang diselenggarakan oleh "commune", setara kecamatan kalau di Indonesia, beberapa pihak organisasi sosial, maupun secara pribadi (di kebun milik kakek nenek). Tapi Paskah kali ini beda. Dan kita semua tahu kenapa. Salam sehat,”

Nurul, seorang muslimah, menyampaikan belarasanya, “Ada kesedihan tahun ini, salah satu sahabatku yang biasanya semangat dan ceria, tahun ini tidak ibadah Paskah sama sekali. "Aku gak dapat feelnya, aselik males,” katanya. “Biasanya aku sudah ikut dekor, naik ke atas menara Katedral untuk instalasi kabel atau lainnya, tahun ini harus berdiam. Males aku Paskah tahun ini,” lanjutnya.  Sungguh, sedih aku dengarnya. Ya, akupun akan merasakan berpuasa dan berlebaran tidak seperti biasanya. Ikut sedih aja dengar dia bicara gitu.”

Merindukan Kebersamaan di Gereja

Hery Sujatmo mensharingkan kerinduan itu, “Ada kerinduan akan pertemuan secara fisik. Ketika pergi ke gereja (biasanya) hanya rutinitas dan hanya kewajiban saja, dengan adanya peristiwa ini, kerinduan itu menjadi sangat terasa. Selamat Paskah.”

Demikian juga Lucia Esti Prihastuti, “Hanya dapat merayakan misa malam Paskah bersama keluarga di rumah. Ada sedih haru prihatin . Ada introspeksi diri, dan menemukan makna dan pelajaran hidup yang berharga. Pengalaman yang baru sekali terjadi sepanjang hidupku.”

Maria Imakulata Wurini, seorang pegiat bersama anak-anak, bersedih, “Paskah yang kelabu tahun ini. Kangen membagikan parcel buat anak-anak, kangen lomba-lomba dan mendampingi anak-anak merayakan Paskah. 

Kangen ada wedang jahenan sambil ngobrol bersama saudara dan kenalan, kangen foto-foto dan bergaya dengan yang lain. Kangen Komuni Suci, serasa hati disayat sembilu menerima komuni hanya secara batin. Pedih dan tak terasa air mata menetes di pipi. Kangen Ekaristi Suci yang nyata tidak hanya lewat TV.”

Merasa Prihatin

Tentu pandemi Covid ini juga dirasakan oleh orang-orang di seluruh dunia. Tidak hanya di Indonesia. Keprihatinan juga disharingkan oleh Susi Yuniawati, seorang ibu di Yogyakarta, “Kali ini saya merasakan dalam situasi keprihatinan. Keprihatinan bersama seluruh umat. Tetapi di sinilah kita diajarkan untuk selalu berharap kepada Tuhan. Pengorbanan Tuhan Yesus di kayu salib bukan suatu hal kesedihan tetapi harapan bagi umat yang percaya akan penyertaanNya. PertolonganNya ajaib.”

Is Susetyaningrum yang tinggal di wilayah Prambanan juga merasa masgul, “Paskahan ini sungguh terasa makin sendiri. Biasanya ya sendiri tapi karena di gereja, tidak begitu terasa. 

Ketika tiba saat komuni, rasanya sering sedih banget. (Misa streaming) Sungguh membantu saya untuk menerima keadaan di mana belum bisa menerima komuni dengan memandang Sakramen Mahakudus yang ditahtakan dalam monstran itu.”

Pastiur Meliala Sembiring juga dalam kesedihan, “Paskah tahun ini serasa tidak merayakannya. Seperti ada yang hilang.”

Steven Yao menuliskan juga kesedihannya meski disambungnya dengan harapan, “Yesus yang menderita sengsara disalib, wafat di kayu salib, dan bangkit pada hari ketiga adalah Tuhan yang dapat merasakan sengsara dan ketakutan manusia akibat wabah Covid-19. Selamat Paskah 2020.”

Irene Nenny L juga merasa sedih, “Lilin Paskah kutatap lekat. Ingin jemari ini meraih kehangatannya dalam nyala lilin-lilin kecil. Namun apa daya. Kali ini, dan cukup kali ini saja, kita diperingatkan akan arti wabah yang mendera seluruh manusia di bumi. Namun demikian, Kristus tak pernah meninggalkan kita. 

Cahaya Kristus tetap menerangi kita. Dengan kebangkitanNya, maut telah dikalahkan. Harapan baru telah dicurahkan. Semoga kita dapat menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik, meneladan ajaranNya, menebarkan kasihNya bagi seluruh makhluk di bumi. Selamat merayakan Paskah saudara-saudaraku semua.”

Y Wiwin Widyastuti bahkan menulis, “Paskah yang cukup emosional. Saya merayakan sendirian jauh dari keluarga. Tidak bisa pulang karena saya di kawasan red zone. Saat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.”

"Paskah yang cukup emosional. Saya merayakan sendirian jauh dari keluarga. Tidak bisa pulang karena saya di kawasan red zone. Saat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya."

Veronica Verron juga berbagi perasaan, “Misa dengan rasa haru dan sedih. Haru karena masih diberi kesempatan ikut misa walau lewat gawai dan televisi, Dan sedih karena tidak bisa menerima Komuni, Dan untuk pertama kalinya ikut misa Paskah tanpa takut tidak kebagian tempat duduk.”

Lisbeth Ho turut antusias sekaligus sedih, “Paskah yang unik karena ucapan-ucapannya so inspiratif, baik telur, kelinci dan orang-orangnya pun ada yang diberi masker. Sepintas terasa jenaka namun mengharukan. Tetap hati kita penuh pujian dan syukur. Dalam segala keadaan dan situasi sulit sekalipun, kita masih bisa merenung, merayakan Paskah di rumah masing-masing peringatan kebangkitan Juru Selamat kita dengan segala kesederhanaan dan keterbatasannya saat ini. Kiranya sukacita sejati dan damaiNya memenuhi hati kita lebih dalam dan luas lagi.”

Bakti Purwaningsih Paais merasa tidak karuan, “Paskah kali ini kulalui dengan perasaan yang nano-nano. Campur aduk. Terharu, sukacita, rindu dan prihatin. 

Saya mengikuti ibadah live streaming berdua dengan anak saya. Dan suami di Balikpapan yang sedang bertugas di sana pun harus mengikuti ibadah seorang diri. Agar tidak kehilangan keseruan Paskah, sehabis ibadah saya ajak anak saya dan juga papanya via video call mencari telur yang saya sembunyikan di dalam rumah. Sedikit terhibur. Mudah2an pandemi covid ini segera berlalu. Selamat Paskah.”

Keseruan-keseruan dalam Keluarga

Disamping rasa prihatin dan kerinduan pada kebersamaan dengan umat yang lain, juga ada rasa takjub yang dirasakan sahabat yang lain. Baik karena situasinya yang khusus, atau karena pengalaman-pengalaman yang muncul secara tidak terduga pada situasi ini.

Benedikt Agung Widyatmoko mengungkapkan rasa takjub itu, “Paskah paling berkesan. Tidak dilaksanakan di gereja, di rumah saya justru bisa melaksanakan misa Minggu Palma, Ibadat Tri Hari Suci Paskah dan Jalan Salib ditemani anak dan istri. Dan saya yakin anak dan istri saya pada akhirnya mendengar sabda dan mengalami Kasih Tuhan Kita Yesus Kristus. Haleluya!”

Christopher Sutanto Prabowo Paskah juga menyampaikan kesannya, “Paskah yang tak terlupakan. Setiap rumah berubah jadi Gereja mini. Ada altar yang disiapkan dengan perasaan campur aduk. Sedih sekaligus membahagiakan. Keluarga menjadi lebih "hidup", mengambil perannya sendiri sendiri untuk menjadi saluran berkat satu sama lain. Jadi lebih memahami bahwa Tuhan ada di manapun. Menyertai setiap langkah kita dalam situasi yang teramat sulit sekalipun. Terpujilah Allah selama lamanya!”

Paskah yang tak terlupakan. Setiap rumah berubah jadi Gereja mini. Ada altar yang disiapkan dengan perasaan campur aduk. Sedih sekaligus membahagiakan. Keluarga menjadi lebih "hidup"

Evarista Christiana, seorang ibu yang tinggal di Banjarmasin, menulis, “Paskah kali ini tidak perlu buru-buru datang ke Gereja.Tidak perlu kapling-kapling bangku. Karena altar cantik ada di rumah kita masing-masing,  sesuai sabdaNya, "Karena dua atau tiga orang yg berkumpul maka Yesus hadir". Kebersamaan keluarga juga menjadi lebih erat dan indah. Selamat Paskah!”

Rio Sulistyo Utomo menuliskan juga kesannya,”Gayeng (seru, Jw) nyiapin altar di rumah..”

Bantuan Teknologi

Kemajuan dan kecanggihan teknologi sungguh menjadi alat bantu yang memadai. Satu hal yang dapat disyukuri.

“Paskah yang unik, tidak akan bisa diulang pada tahun-tahun selanjutnya. Kita bisa memilih Misa di manapun juga: Jakarta, Denpasar, baik kokal maupun internasional. Tapi ada sedihnya, tidak bisa menerima tubuhNya secara nyata,” Agus Pujantoro menuliskan kesannya.

Senada dengan Agus Pujantoro, Emily Wu juga menuliskan, “Terkesan dengan Masa Paskah tahun ini, bisa mengikuti misa Pekan Suci dari beberapa Gereja Katedral di Indonesia. Katedral Jakarta lewat siaran langsung yang ditayangkan TVRI. Misa Kamis Putih ikut katedral Bandung. Misa Jumat Agung ikut Katedral Medan. Dan tadi malam, misa Malam Paskah ikut Katedral Semarang. Seru, haru dan jadi suatu pengalaman yang baru. Serasa keliling Indonesia, walaupun hanya di rumah saja.”

Terkesan dengan Masa Paskah tahun ini, bisa mengikuti misa Pekan Suci dari beberapa Gereja: Katedral Jakarta, Katedral Bandung, Katedral Medan, Katedral Semarang. Seru, haru dan jadi suatu pengalaman yang baru. Serasa keliling Indonesia, walaupun hanya di rumah saja

Lucas Djatmiko Heri Nugroho, seorang guru di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, juga membagikan pengalaman, “Baru Paskah tahun ini (12 April 2020), kami sekeluarga (berempat) bertiga di rumah ,satu di Surabaya merayakan Paskah sebagai hari raya teragung bagi umat Kristiani di rumah. 

Nanda di Surabaya mengikuti misa on-line (katanya) dari rumah kontrakan, dan kami bertiga ( saya, istri, dan Nugy si bungsu) ibadat keluarga di rumah menggunakan panduan lembaran yang disiapkan paroki, madah bakti, dan buku Ruah. 

Tahun sebelumnya kami selalu pergi ke gereja pusat paroki atau stasi merayakan bersama umat Katolik yang lain.Ini terjadi karena taat pada anjuran Gereja dan pemerintah untuk memutus mata rantai penularan covid-19. Ya, di tengah situasi pandemi corona Covid-19. Kami taat anjuran Gereja dan pemerintah.”

Tuhan yang Menjangkau Semua Hati

Pada akhirnya, kita sungguh merasakan bahwa situasi Paskah 2020 yang dilihat dari banyak sisi juga melahirkan perspektif baru tentang doa dan peribadatan. Bertold Sumedi menuliskan, “Bahwa prosesi tidak selalu harus dipuja-puji dan kaku. Allah Mahatahu, maka dengan berbagai cara dan media, Paskah tetap bisa berkesan dan syahdu.”

Altar-altar Paskah sudah disiapkan di semua ruang-ruang keluarga, tidak hanya di gereja. Makna Paskah juga menjangkau lebih banyak hati di tengah suasana prihatin. Semoga pandemi Covid19 segera berlalu

Yuriko Umboh sungguh merasakan situasi sulit yang justru membawa makna secara lebih riil, “Gotong-royong saling membantu, di tengah tengah pandemi seperti ini, makna Paskah adalah cinta kasih dan rasa kemanusiaan yang menjadi inti semua dogma agama.”

Altar-altar Paskah sudah disiapkan di semua ruang-ruang keluarga, tidak hanya di gereja. Makna Paskah juga menjangkau lebih banyak hati di tengah suasana prihatin. Semoga pandemi Covid19 segera berlalu.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun