Mohon tunggu...
Dian Misrawati
Dian Misrawati Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, praktisi psikologi

Berproses dan bertumbuh

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Tips Mendampingi Anak Rewel Saat Rawat Inap di Rumah Sakit

22 Juni 2022   06:22 Diperbarui: 23 Juni 2022   16:21 2478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendampingi anak berobat (Sumber: shutterstock)

Pernahkah Anda mendampingi anak batita di rumah sakit? Tentu penuh dengan tangisan dan penolakan dari anak. Bagaimanakah cara Anda mengatasi tangisan anak tersebut? 

Sering kali anak dibujuk dengan ucapan "Kamu kan jagoan, jangan nangis dong" atau "Ngga apa-apa. Nggak sakit kok". 

Nah, apakah anak akan berhenti menangis? Atau malah tangisannya semakin keras dan berkembang menjadi tantrum?

Menangis merupakan salah satu cara anak untuk mengekspresikan emosi yang ia alami. Terutama bagi anak-anak yang berusia di bawa tiga tahun, menangis merupakan cara yang paling dominan mereka lakukan.  Mengapa demikian? 

Berbeda dengan orang dewasa yang telah mampu mengutarakan emosi melalui kata-kata verbal, anak-anak di bawah tiga tahun mengandalkan tangisan (ekspresi nonverbal) untuk mengekspresikan emosinya agar dapat dipahami oleh orang-orang di sekitarnya. 

Bila kita cermati dengan seksama, tangisan anak banyak ragamnya, dapat diamati melalui frekuensi dan intensitas suaranya, serta ada atau tidaknya air mata yang menyertai tangisan tersebut. Makna tangisan anak pun beraneka ragam dan mewakili emosi yang ia alami, misalnya sedih, takut atau marah.

Anak-anak di bawah tiga tahun yang masih mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi secara verbal, mengandalkan kemampuan orang tua dan pengasuh lainnya untuk menangkap sinyal non-verbal yang mereka tampilkan. 

Terutama pada saat anak menghadapi situasi yang di luar kebiasaannya sehari-hari, misalnya ketika anak harus di rawat di rumah sakit yang penuh dengan muatan emosi negatif. Tentunya ia akan lebih banyak mengekspresikan perasaannya dengan menangis. 

Jika Anda berkunjung ke ruang rawat inap anak, Anda akan mendengarkan suara tangis yang tidak pernah berhenti. 

Ketika satu anak telah berhasil ditenangkan, biasanya akan ada anak lainnya yang menangis. Begitulah seterusnya dan berulang kembali, karena menangis adalah ekspresi yang paling wajar ditampilkan oleh anak batita.

Menghadapi suara tangis tersebut, pernahkah kita untuk berdiam sejenak untuk memahami apa yang sebetulnya ingin disampaikan anak melalui tangisannya? Bagaimana sebetulnya emosi yang dirasakannya? Atau kah kita lebih sering menentukan perasaannya dengan perspektif kita sendiri? 

Memahami emosi yang sedang dirasakan anak melalui tangisannya merupakan hal penting yang perlu dilakukan orang tua agar bisa memberikan respon dan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan anak. 

Pada saat kebutuhan anak telah terpenuhi, maka muatan emosi positif akan semakin mudah mereka rasakan, dengan demikian ia lebih bersedia menampilkan perilaku kooperatif dalam masa pengobatannya.

Coba kita simak pengalaman ibu Nana dan ananda Dimas berikut ini.

Sore itu, Dimas yang berusia dua setengah tahun memasuki bangsal rawat inap anak bersama kedua orang tuanya. Ia dirawat karena diare yang tak kunjung berhenti sejak pagi. 

Dimas tampak seperti anak yang kalem dan penurut. Ia mau menyuap sendiri makanan rumah sakit yang diantarkan kepadanya, tetap tenang ketika tangan dan mukanya dibersihkan. Tontonan video anak-anak dari gadget ibunya menjadi pilihan yang menemaninya di tempat tidur.

Tantangan besar bagi Bu Nana terjadi pada pukul satu pagi dini hari. Dimas yang sedang tidur tengkurap menangis sejadi-jadinya. Separuh celana dan baju bagian depannya bawah, lengket dan berwarna kuning. 

Rupanya ia diare pada saat sedang tidur tadi. Bu Nana pun terbangun di sebelah Dimas, dan langsung berkata "Diam!"

Tetapi ibarat pembalap sedang racing, Dimas pun malah meng-gas tangisannya dengan lebih keras. Bu Nana pun kembali berkata "Diam!" yang tentu saja tidak dituruti oleh Dimas. 

Ia tetap menangis dengan linangan air mata, disertai dengan beberapa kali teriakan "Diam" dari Bu Nana.

Nah, siapakah di antara kita yang melakukan hal yang sama seperti Bu Nana? Tampaknya hampir semua orang tua melakukannya ya..?

Mari kita teruskan dulu kisah Bu Nana dan Dimas.

Bu Nana akhirnya pasrah dengan tangisan Dimas. Ia membiarkan Dimas terus menangis, sambil menurunkannya dari tempat tidur dan membawanya ke kamar mandi. Bu Nana berusaha membersihkan Dimas. 

Dimas terus menangis dan pada saat ibunya hendak menyabuni Dimas, ia menepis botol sabun tersebut. 

Bu Nana pun bereaksi, ia kembali berkata "Diam!" dan kali ini ditambahkan "Kamu jangan nakal. Diam!" Alih-alih diam, Dimas malah semakin keras tangisannya. 

Pada saat Dimas menampik kembali tangan ibunya, Bu Nana kembali bersuara "Nakal ya. Nanti ibu panggilin susternya nih". 

Dimas akhirnya berkata untuk pertama kalinya setelah bangun dan menangis, "Ayaaaaah... Ayaaah..." sambil mengeraskan suara tangisnya.

Setelah selesai mandi, Bu Nana membimbing Dimas kembali ke tempat tidur. Tangisannya telah berhenti dan digantikan oleh cegukan. 

Situasi tampaknya kembali tenang, Dimas dan Bu Nana hanya duduk berhadapan tanpa saling memandang. 

Celana Dimas telah diganti, tetapi baju dan kaus dalam masih tergantung di tangan kanannya, terhalang oleh selang infus dan obat yang ada di pergelangan tangan itu. 

Bu Nana sebenarnya sedang menunggu suster untuk membantu melepas selang. Tepat ketika suster memasuki ruangan, Dimas yang duduk menghadap pintu langsung bereaksi. Tanpa ada ucapan dari siapa pun, ia kembali menangis sekeras-kerasnya.

Sebagian dari kita mungkin berpikir, "Namanya juga anak-anak. Mau diapain lagi?" 

Lalu, banyak orang tua beranggapan, "Biarin aja. Nanti kalau sudah capek, juga diam sendiri". 

Pertanyaannya adalah, pernahkah kita mencoba cara lain untuk menenangkan dan membantu anak untuk berhenti menangis?

Salah satu cara yang akan kita pelajari melalui tulisan ini adalah memahami dan menerima emosi yang dirasakan anak pada saat menangis, dengan demikian kita akan tahu apa yang sedang ia rasakan sehingga kita dapat mengetahui kebutuhan yang ia perlukan dan dapat mengajaknya untuk lebih kooperatif dalam mengatasi tangisannya sendiri. 

Memahami emosi anak dan kemudian menerima nya sebagai sesuatu yang wajar, akan mengarahkan kita untuk menanggapi tangisannya dengan lebih tenang dan wajar pula. 

Anak yang merasa dipahami dan diterima dengan sendirinya juga akan belajar memahami perasaan emosinya sendiri, belajar membedakan perasaannya dan pada akhirnya ia pun belajar untuk mengendalikan emosi dan tangisannya sendiri. 

Proses pembelajaran ini lah yang paling diharapkan orang tua, yaitu kemampuan anak untuk meregulasi emosinya.

Sebelum kita mencoba memahami emosi yang dialami anak secara spesifik di ruang rawat inap rumah sakit, kita perlu mengetahui jenis-jenis emosi dasar yang dirasakan oleh manusia, baik anak-anak, remaja maupun dewasa. 

Izard (dalam Santrock, 2011) mengklasifikasikan 7 emosi dasar manusia ke dalam 2 kelompok besar, yaitu emosi positif yang terdiri dari antusias, bahagia dan cinta; emosi negatif terdiri dari cemas, marah, rasa bersalah dan sedih. 

Sejak bayi kita memulai perkembangan emosi melalui tujuh emosi dasar tersebut, semakin bertambahnya usia, seseorang akan dapat mengalami emosi yang lebih beragam yang berasal dari turunan emosi dasar.

Sekarang marilah kita belajar menghentikan tangisan anak yang sedang dirawat di rumah sakit, melalui pengalaman Bu Nana dan Dimas. 

Ada beberapa langkah-langkah yang dapat kita lakukan untuk memahami dan menerima emosi anak, yaitu:

1. Perhatikan situasinya

Menurut Santrock (2011), emosi merupakan perasaan atau pengaruh (afek) yang terjadi ketika seseorang berada dalam situasi atau interaksi tertentu yang dianggap penting, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan mereka. 

Berdasarkan definisi ini dapat kita simpulkan bahwa untuk memahami perasaan anak, maka kita perlu memahami situasi yang terjadi di sekitarnya yang dapat membangkit emosi tersebut.

Pada saat kita berada di posisi Bu Nana, perhatikanlah situasi yang terjadi pada Dimas. Ia terbangun di tengah malam, mendapati dirinya yang sebagian besar penuh dengan kotoran dan tangannya terbelit selang infus. Sebuah situasi yang terjadi di luar kebiasaan sehari-harinya bukan? 

Tentu wajar saja jika ia merasakan gejolak emosi tertentu untuk bereaksi terhadap situasi yang kurang menyenangkan itu. Hal selanjutnya yang perlu kita pahami adalah situasi yang kurang menyenangkan akan mendatangkan emosi negatif, yang tentu saja diekspresikan Dimas melalui tangisan.

Kemampuan kita sebagai orang tua untuk memperhatikan situasi sekitar dan memahaminya sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan gejolak emosi pada anak, akan membantu kita untuk melakukan tahap selanjutnya, yaitu berempati terhadap perasaan anak.  

2. Tempatkan diri di posisi anak (berempati terhadap perasaan anak)

Tahap selanjutnya setelah kita memperhatikan situasi yang menjadi pemicu gejolak emosi yang dirasakan anak adalah mencoba menempatkan diri di posisi anak. 

Cobalah untuk melihat situasi dari sudut pandang anak. Proses ini disebut berempati terhadap perasaan anak, tahapan inti dalam upaya memahami dan menerima perasaan anak.

Hayatilah jika seandainya kita sedang berada di dalam tubuh Dimas. Tiba terbangun di tengah malam dan menghadapi situasi yang tidak menyenangkan seperti itu. Gejolak emosi apa yang akan muncul? Perasaan apa yang akan kita rasakan? Pertama-tama mungkin muncul perasaan kaget, lalu muncul pula perasaan jijik melihat badan dan pakaian kita terkena kotoran.

Perasaan itu pula lah yang dirasakan oleh Dimas, yang ia ekspresikan dengan menangis, sebagaimana karakteristik komunikasi non-verbal yang umum dimiliki anak-anak. 

Apabila kita sudah sampai pada kesimpulan ini, berarti kita telah dapat memahami perasaan yang dialami Dimas dan menerimanya sebagai sesuatu yang wajar ia rasakan dalam bereaksi terhadap situasi di sekitarnya.

Jika pada tahap ini, kita sudah dapat mengidentifikasikan perasaan yang dialami anak, jangan berhenti sampai di sini saja. Tahapan berikutnya akan menentukan interaksi kita dengan anak dan menunjukkan penerimaan kita terhadap anak, sehingga ia betul-betul merasa diterima dan didampingi dengan kasih sayang.

3. Berikan tanggapan yang tepat

Pandangan yang menyatakan bahwa anak adalah miniatur orang dewasa telah lama dibantahkan oleh tokoh-tokoh psikologi perkembangan.

 Anak yang sedang dalam masa pertumbuhan tidak dapat berpikir dan bertindak layaknya orang dewasa. Mereka memiliki keterbatasan, sehingga mereka akan berpikir dan bertindak sesuai karakteristik masa kanak-kanak yang dimilikinya.

Apa maksud penjelasan di atas? Begini, anggap kita sudah sampai pada tahap kedua, di mana kita sudah dapat mengidentifikasi perasaan kaget dan jijik sebagai reaksi terhadap situasi diare di tengah malam, sebagai orang dewasa kita telah memiliki kemampuan pemecahan masalah yang cukup matang. 

Kita dapat merekonstruksikan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut di dalam kepala kita dan melakukannya, seperti langkah-langkah yang dilakukan oleh Bu Nana untuk membantu Dimas.    

Apakah kita juga mengharapkan anak seumur Dimas juga melakukan hal yang sama? "Tentu tidak! Makanya dimandikan oleh ibunya." Mungkin demikianlah jawaban kita semua. Betul. Memang kita tidak mengharapkan anak usia dua setengah tahun akan menyelesaikan masalah sendiri, oleh karena itu sebagai orang tua kita memberikan bantuan dengan membersihkan dan memandikannya.

Akan tetapi secara tidak langsung, tanggapan yang kita yang menyuruh anak untuk diam, mencerminkan harapan kita bahwa anak dapat berperilaku seperti orang dewasa. 

Bu Nana berharap Dimas tidak menangis dan tetap tenang seperti biasanya, sehingga Bu Nana berkata "Diam!"

Tanggapan yang demikian belum mencerminkan penerimaan terhadap perasaan kaget dan jijik yang dirasakan Dimas.

Lalu bagaimana cara memberikan tanggapan yang tepat?

Pada dasarnya, cukup sederhana. Setelah kita sampai pada tahap kedua, di mana kita telah dapat mengidentifikasi perasaan anak, maka utarakanlah. 

Sampaikanlah secara verbal, sehingga anak mengetahui secara pasti bahwa perasaannya diterima. 

Pada pengalaman Dimas, Bu Nana dapat memberikan tanggapan, "Anak mama pasti kaget" lalu berikan pelukan ringan di bagian tubuh yang tidak terkena noda untuk memperkuat efek penerimaan bagi perasaan Dimas. 

Tanggapan ini dapat membantu Dimas untuk mengenali perasaannya sendiri (kemampuan yang masih belum berkembang pada anak-anak) dan kemudian meresapi perasaan kagetnya tersebut.

Jeda waktu sesaat yang diberikan kepada anak akan dapat menenangkan anak dan mengurangi intensitas perasaan negatif yang ia rasakan, dengan demikian ia akan lebih mudah menerima tanggapan selanjutnya. 

Bu Nana kemudian dapat mengutarakan perasaan berikutnya dengan mengatakan, "Dimas jijik ya lihat bajunya kotor begini?"

Memadukan perasaan dengan fakta yang dapat diamati secara visual dapat membantu anak untuk mengalihkan fokus emosional ke fokus permasalahan secara kognitif, barulah kemudian kita mengutarakan pemecahan masalah yang sesungguhnya, "Ayuk, kita bersihkan dulu. Buka bajunya lalu, kita mandi."

Apakah tiga langkah di atas akan otomatis menghilangkan gejolak emosi negatif anak? Apakah akan otomatis menghentikan tangis anak?

Tentu saja tidak. Gejolak emosi anak yang tinggi tentu tidak dapat dihilangkan begitu saja dalam waktu singkat, akan tetapi dapat diredakan secara bertahap. 

Anak yang merasa dipahami dan diterima perasaannya akan membantu ia untuk mengenali perasaannya sendiri, menenangkan diri dan secara perlahan dapat berhenti menangis dengan sukarela. 

Anak yang sudah mulai tenang dapat diajak untuk bekerja sama dengan lebih kooperatif. Ia pun dapat belajar bahwa ada berbagai alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi situasi kurang menyenangkan yang menimbulkan gejolak perasaan negatif yang dirasakannya.

Sebaliknya, penolakan dan teriakan dari pendamping akan menambah situasi yang kurang menyenangkan dan pada akhirnya gejolak emosi negatif juga semakin meningkat. 

Anak mungkin saja berhenti menangis karena merasa lelah, atau karena situasi kurang menyenangkan memang sudah tidak ada lagi, namun tidak terjadi proses pembelajaran pada anak.

Belajar dari pengalaman Bu Nana dan Dimas, terdapat tanggapan-tanggapan orang tua yang kurang tepat bagi anak. 

Pertama, Bu Nana yang selalu berkata diam, diam dan diam, namun tidak dapat dilakukan oleh Dimas, bisa menumbuhkan perasaan tidak mampu mengikuti perintah, karena ia tak kunjung bisa diam setiap kali ibunya memerintahkan untuk diam. 

Kedua, ucapan 'nakal' yang disebutkan Bu Nana dapat diinternalisasikan oleh Dimas ke dalam dirinya sebagai anak nakal.

Ketiga, mengancam anak dengan kehadiran suster atau dokter dapat mengembangkan ketakutan dan kecemasan yang tidak realistis terhadap profesi medis, yang dapat menghambat kesediaan anak menjalani proses pengobatannya selama di rumah sakit.

Selain memahami emosi yang ditampilkan anak melalui tangisannya, pendamping perlu pula melakukan persiapan untuk mencegah atau setidaknya meminimalisir emosi negatif yang sering muncul ketika anak di rawat inap. 

Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua atau significant others lain yang mendampinginya:

1. Informatif

Anak-anak di bawah tiga tahun masih lekat dengan orang tua dan kerabat  yang biasa  dijumpai. Mereka biasanya kurang nyaman ketika berhadapan dengan orang asing, apa lagi ketika orang asing tersebut melakukan tindakan medis seperti menyuntik, memasang infus, memeriksa suhu dan lainnya, yang mungkin menimbulkan perasaan kurang menyenangkan bagi anak.

Pada saat dokter atau suster mendekati kamar anak, informasikan kepadanya tentang kehadirannya dan tindakan yang akan dilakukan. Informasi yang diterima anak akan membantunya untuk mempersiapkan diri menghadapi tindakan medis tersebut.

Memberikan informasi tentang berbagai hal yang ada di sekitar anak juga dapat membantu anak untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang ia rasakan. 

Pendamping dapat mengajak anak untuk memperhatikan benda-benda yang ada di kamarnya dan mendiskusikan fungsinya. 

Di samping sebagai pengalihan, percakapan ini juga akan memperkuat ikatan antara pendamping dan anak serta memperkaya kosa katanya.

2. Jujur

Pada usia 0-2 tahun, anak berada pada tahap perkembangan sensori-motor, dimana mereka memahami dunia melalui pengalaman sensoris, termasuk indera raba. 

Setelah memberikan informasi tentang kedatangan tim medis dan tindakannya, orang tua perlu jujur mengenai efek yang akan dirasakan anak. 

Misalnya, pada saat anak akan disuntik sampaikanlah, "Maaf ya nak, ini akan sakit. Kamu tahan ya.." dan ketika dilakukan tindakan yang tidak menyakitkan seperti mengukur suhu, mendengar detak jantung sampaikan pula hal tersebut kepada anak, misalnya "Ukur dulu suhunya ya. Ga sakit kok. Keteknya mana."

Kejujuran pendamping akan membantu anak untuk belajar mengenali ragam stimulus atau tindakan medis di sekitarnya, menghayati dan menilainya secara subjektif, serta kemudian berlatih menampilkan respon dan ekspresi yang sesuai dengan stimulus yang diterimanya tersebut. 

Selanjutnya, anak yang sudah dapat membedakan stimulus medis akan lebih siap menghadapi stimulus yang tidak menyakitkan, misalnya pada saat mengukur suhu atau memakai kompres penurun panas. Hal ini tentu saja dapat membantu kelancaran pengobatan dan menghemat energi pendamping untuk membujuk atau mendiamkan anak.

3. Tidak mengancam 

Pada bagian sebelumnya telah kita bahas sedikit tentang ancaman yang dilakukan Bu Nana kepada Dimas tentang memanggil suster. 

Pada situasi Dimas, ancaman tersebut tidak berhasil meredakan suara tangisnya, namun pada beberapa pengalaman ibu-ibu yang lain, tampaknya ancaman ini cukup berhasil membuat anak melakukan apa yang diminta, misalnya pada saat anak tidak mau makan, pendamping mengancam anak dengan mengatakan, "Ayo makan, kalau nggak mama panggilin dokter nih biar disuntik."

Hal yang perlu diperhatikan adalah anak menuruti perkataan ibu bukan karena kesadarannya akan pentingnya perilaku yang diminta tersebut, tetapi karena ketakutan yang tidak realistis terhadap subjek yang menjadi ancaman. 

Ancaman-ancaman yang diberikan pendamping yang menggunakan figur dokter dan suster akan menambah rasa tidak nyaman anak terhadap rumah sakit, dan akan timbul penolakan terhadap kehadiran suster dan dokter, kemudian menolak tindakan medis yang akan dilakukan. 

Pada saat anak menolak, mau tidak mau tindakan medis akan dilakukan dengan paksaan, yang tentu saja akan lebih banyak menguras tenaga pendamping maupun anak.

Alih-alih memberikan ancaman dan menakuti anak dengan figur suster dan dokter, ataupun dengan jarum suntik, pendamping sebaiknya bersikap informatif kepada anak. 

Sampaikanlah fungsi dokter dan suster dalam mengobati rasa sakit dan rasa tidak nyaman yang dialami anak dengan sebenarnya. 

Misalnya, pada saat dokter datang untuk melakukan kontrol visit, pendamping dapat mengatakan, "Nah, itu pak dokternya datang. Pak dokter, ayo bantu Dimas cari tahu kenapa perutnya sakit. Coba periksa perut Dimas dokter."

Pendamping juga dapat memberitahukan anak mengenai tugas-tugas suster atau dokter untuk mengisi sela-sela waktu kosong di ruang rawat, sehingga dapat menjadi kesempatan untuk mengembangkan wawasan pengetahuan anak. Manfaat lain dalam memberikan informasi dibanding memberi ancaman, juga telah kita bahas pada poin pertama di atas.

4. Mulailah dari diri sendiri

Masih ingatkah Anda dengan panduan keselamatan yang diperagakan pramugari sebelum pesawat lepas landas? Ketika tekanan oksigen di dalam kabin berkurang, kita dipandu untuk mengambil masker oksigen yang telah disediakan. Bagi orang dewasa yang membawa anak, pasangkan masker untuk diri sendiri terlebih dahulu, baru kemudian memasangkan masker ke wajah anak. 

Pernahkah Anda berpikir, mengapa demikian? Pelajaran yang dapat kita ambil adalah ketika kita ingin menolong dan menyelamatkan orang lain, kita harus memastikan terlebih dahulu bahwa diri kita selamat. 

Apabila kita sendiri dalam keadaan bahaya, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa kedua-duanya memiliki peluang selamat yang lebih kecil.

Hal yang sama juga terjadi ketika kita menghadapi emosi negatif anak dan mencoba membantunya untuk mengatasi emosi negatif tersebut. 

Mengenali, memahami dan pada akhirnya menerima emosi anak akan terasa sangat sulit dilakukan ketika kita juga berada dalam muatan emosi negatif, karena pada saat itu kita pun memiliki kebutuhan yang tinggi untuk dipahami, baik oleh orang lain dan lebih utama lagi oleh diri sendiri. 

Oleh karena itu, penting bagi pendamping itu mengenali gejolak emosinya sendiri, terutama gejolak emosi negatif. 

Apabila pendamping menyadari adanya luapan emosi yang dapat mempengaruhi interaksinya dengan anak, maka pendamping hendaklah melakukan strategi coping yang sesuai untuk mengatasi gejolak emosi tersebut. Misalnya, pada saat pendamping merasa lelah, ia menjadi sensitif dan akan mudah sekali terpancing emosinya. 

Pendamping yang lelah ini akan sulit mengenali emosi anak yang menjadi tanda atau ekspresi kebutuhannya, sehingga sama-sama akan meningkatkan intensitas gejolak emosi negatif anak maupun pendamping. 

Maka langkah terbaik adalah, menyampaikan kelelahannya pada pendamping lain yang dapat menggantikan posisinya sebagai pendamping dan kemudian berehat untuk melepaskan kelelahannya. Selanjutnya, ia akan kembali mendampingi anak ketika merasa siap.

Mengaplikasikan hal-hal yang telah Anda baca ini memang tidak mudah. Tidak semudah Anda membalikkan halaman demi halaman hingga selesai. 

Namun ketika Anda mendapatkan momen "Oh, iya ya..." pada saat membaca tulisan ini, jangan disia-siakan. 

Cobalah praktekanlah, Anda tidak akan pernah tahu apakah tulisan ini efektif atau tidak sebelum mencobanya sendiri. Berani mencoba?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun