Mohon tunggu...
Ahmad Sofyan
Ahmad Sofyan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Arsitek dan desainer web freelance yang suka nulis dan ngeblog. Mantan kolumnis majalah INTELIJEN.\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi, Jacob Soetoyo, dan Trilateral Commission

17 April 2014   00:15 Diperbarui: 4 April 2017   17:21 2871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

David juga anggota dari forum-forum penting seperti Bilderberg group, Bohemian Group, chairman dari Council on Foreign Relations (CFR), dan pendiri sekaligus anggota Trilateral Commission.

Pandangannya tentang dunia sangat globalis dan pro New World Order (Tatanan Dunia Baru). Berikut video saat dia dikonfrontir tentang agenda NOW saat berkunjung ke Chili :

http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=GFWzDFjBKUw

Dalam buku Memoirs-nya yang terbit pada tahun 2002, halaman 405, David mengaku sebagai bagian dari rencana jahat Illuminati untuk menguasai Amerika dan dunia.

"Sejumlah orang bahkan percaya bahwa kami(keluarga Rockefeller) merupakan bagian darikomplotan rahasiayang bekerjamelawan kepentinganterbaikAmerika Serikat, karakteristik keluarga sayadansaya sebagaiseorang 'internasionalis' danbersekongkoldengan orang laindi seluruh dunia untukmembangunlebihglobal terpadupolitikdanstruktur ekonomi-satu dunia, jika Anda mau. Jika itutuduhannya, sayamengakuibersalah, dan sayabangga karenanya. "

Pada satu kesempatan, David pernah berkata:

"Kita berada di ambangtransformasiglobal.Yang kita butuhkanadalahkrisis besaryang tepat danbangsa-bangsaakanmenerimaNew World Order."

Zbigniew Brzezinski

[caption id="attachment_332017" align="aligncenter" width="300" caption="Zbigneiw Brzezinski. Globalis dan Pakar politik internasional"]

1397643165840110524
1397643165840110524
[/caption]

Zbigneiw Brzezinski adalah seorang mantan Penasehat US National Security, pendiri Trilateral Commission, anggota CFR, Club of Rome, dan Committee of 300. Ia merupakan keturunan Polish Black Nobility (Old World Order) dan kolega Henry Kissinger. Dalam bukunya yang berjudul “Technotronic Era” (1970), Brzezinski meramalkan kedatangan jaringan kendali (control-grid) diktatoris di bawah para globalis: “Mungkin akan segara terlaksana pengendalian atas semua warga negara secara terus-menerus dan pemeliharaan file-file agar tetap up-to-date, yang mengandung data paling pribadi tentang kesehatan dan perilaku semua warga di samping data lain yang lebih umum. File-file ini akan menjadi sarana pencarian informasi oleh para penguasa. Kekuasaan akan jatuh ke dalam genggaman orang-orang yang mengendalikan informasi. Institusi-institusi kita yang telah ada akan digantikan oleh institusi-institusi manajemen pra-krisis, yang tugasnya adalah mengidentifikasi krisis sosial lebih awal dan mengembangkan program untuk mengatasinya. Ini, setelah beberapa dekade berikutnya, akan mendorong kecenderungan menuju Technotronic Era, sebuah Kediktatoran yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk prosedur-prosedur politik yang kita kenal. Akhirnya, jika melihat pada akhir abad ini, kemungkinan penggunaan mindcontrol biokimia serta rekayasa genetik pada manusia, termasuk pada makhluk-makhluk yang berfungsi dan berfikir seperti manusia, dapat menimbulkan beberapa pertanyaan sulit.”

Buku berjudul “The Technotronic Era” itu dipesan oleh Club of Rome. Buku itu merupakan pengumuman terbuka tentang cara dan metode yang digunakan untuk mengendalikan Amerika Serikat di masa mendatang… Brzezinski, saat berbicara untuk Committee of 300, mengatakan bahwa Amerika Serikat sedang bergerak ‘menuju sebuah era yang berbeda dari pendahulunya; kita sedang bergerak menuju ‘technotronic era’ yang dapat dengan mudah menjadi sebuah kediktatoran…’ Brzezinski selanjutnya mengatakan bahwa masyarakat kita ‘sekarang berada dalam revolusi informasi yang berlandaskan pada fokus hiburan, tontonan (pemberitaan peritiwa-peristiwa hiburan melalui televisi) yang menjadi racun bagi orang banyak yang tak memiliki tujuan.’ Apakah Brzezinski merupakan seorang peramal? Apakah ia bisa melihat masa depan? Jawabannya TIDAK; apa yang ia tulis dalam bukunya disalin dari blueprint milik Committee of 300 yang diserahkan ke Club of Rome untuk dilaksanakan.” – John Coleman, “Conspirators Hierarchy: The Story of the Committee of 300”

Brzezinski juga menjabat sebagai penasehat CSIS, lembaga think tank yang didirikan oleh dua tokoh militer Orde Baru, Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani dan  memperoleh pengaruh kuat selama masa Presiden Soherto. Boleh dibilang CSIS dan Golkar adalah dua pilar penting Orde Baru selama 32 tahun.

lihat link : http://csis.org/expert/zbigniew-brzezinski

Tentang sejarah CSIS, silahkan klik link ini :

http://tikusmerah.com/?p=1204&wpmp_tp=3&wpmp_switcher=desktop

Baca juga :Zbigniew Brzezinsky : Penasehat Senior CSIS yang Doyan Black-Ops



Agenda Politik Trilateral Commission

TC jelas memiliki agenda politik-ekonomi, yang secara pokok dibagi dalam dua poin di bawah ini :

1.World Management

Dalam bukunya yang berjudul “Technotronic Era” (1970), Brzezinski meramalkan kedatangan jaringan kendali (control-grid) diktatoris di bawah para globalis: “Mungkin akan segara terlaksana pengendalian atas semua warga negara secara terus-menerus dan pemeliharaan file-file agar tetap up-to-date, yang mengandung data paling pribadi tentang kesehatan dan perilaku semua warga di samping data lain yang lebih umum. File-file ini akan menjadi sarana pencarian informasi oleh para penguasa. Kekuasaan akan jatuh ke dalam genggaman orang-orang yang mengendalikan informasi. Institusi-institusi kita yang telah ada akan digantikan oleh institusi-institusi manajemen pra-krisis, yang tugasnya adalah mengidentifikasi krisis sosial lebih awal dan mengembangkan program untuk mengatasinya. Ini, setelah beberapa dekade berikutnya, akan mendorong kecenderungan menuju Technotronic Era, sebuah Kediktatoran yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk prosedur-prosedur politik yang kita kenal. Akhirnya, jika melihat pada akhir abad ini, kemungkinan penggunaan mindcontrol biokimia serta rekayasa genetik pada manusia, termasuk pada makhluk-makhluk yang berfungsi dan berfikir seperti manusia, dapat menimbulkan beberapa pertanyaan sulit.”

2.Controlling World Assets

Tujuan ini dibagi ke dalam tiga poin :

1. 1. Rakyat, Pemerintahan, dan ekonomi seluruh bangsa harus melayani kebutuhan bank dan korporasi multinasional. Ditegaskan oleh Zbigniew Brzezinski dalam bukunya Technotronic Era

2. 2. Kontrol atas sumber daya ekonomi sebagai mantra kekuatan dalam politik moderen.

Tentu saja, setiap warga negara harus diarahkan/dididik/digiring untuk selalu percaya bahwa demokrasi Barat itu ada, kesetaraan itu ada, betatapun kondisi ketidaksetaraan ekonomi terlihat.

3. 3. Para Pimpinan demokrasi kapitalis, sistem dimana kendali ekonomi dan profit, sekaligus kekuasaan politik, harus bertahan dan bergerak maju melawan sistem demokrasi yang sejati.

(Sumber : Holly Sklar, ibid, hal. 5).

Singkatnya, trilateralisme adalah usaha para elit berkuasa untuk merekayasa ketergantungan dan demokrasi, di dalam negeri (Amerika) maupun di luar negeri.

Silahkan renungi, setiap kali Amerika dan kawan-kawanya mengatakan “demokrasi” maka maksud tersirat dari kata tersebut yaitu : “Ketundukkan pada pengaruh/kepentingan Amerika.” Bukan demokrasi dalam arti partisipasi rakyat dalam ranah politik.

Sejak tragedy WTC 2001, Amerika jelas akan mempromosikan “demokrasi” (ketundukkan pada Amerika) dan akan memposisikan siapapun sebagai musuh yang menentang demokrasi versi Washington. Silahkan baca-baca National Security Strategy.

Mengabadikan America-Centered Transnational Hegemony

Era Soeharto

Sejak era Soeharto, setiap yang akan menjadi RI-1, selalu harus mendapat restu internasional, terutama Amerika.

Soeharto dengan Mafia Berkeley (Frans Seda, Ali Said, Widjojo, dll) membuka lebar-lebar kuku besi Washington di NKRI. Freeport, Caltex,dll memulai perkawinan Indonesia dengan liberalisme.

Lembaga think-tank yang berpengaruh di era itu adalah CSIS, yang dikomandoi Ali Murtopo. Kader-kader CSIS sekarang : Sofyan Wanandi, Jacob Soetoyo.

Kelompok CSIS ini juga dekat dengan Riady Family, (Lippo grup). James Riady pernah muncul sebagai salah satu tim sukses Clinton.

Ironisnya, Soeharto pun digulingkan oleh induk semang yang dulu mengangkatnya. Lagi, Sofyan Wanandi kali ini berperan dalam posisi yang berbeda : menggulingkan Soeharto melalui krisis ekonomi.

Peran IMF dalam krisis ekonomi ini telah diakui oleh mantan Direktur IMF waktu itu Micahel Camdessus. Dalam wawancara "perpisahan" sebelum pensiun dengan The New York Times, Camdessus yang bekas tentara Prancis ini mengakui IMF berada di balik krisis ekonomi yang melanda Indonesia. "Kami menciptakan kondisi krisis yang memaksa Presiden Soeharto turun," ujarnya.[i]

Soeharto jatuh karena IMF. Pendapat ini antara lain dikemukakan Prof. Steve Hanke, penasehat ekonomi Soeharto dan ahli masalah Dewan Mata Uang atau Currency Board System (CBS) dari Amerika Serikat.

Menurut ahli ekonomi dari John Hopkins University itu, Amerika Serikat dan IMF-lah yang menciptakan krisis untuk mendorong kejatuhan Soeharto.

Jika pernyataan Camdessus dan Hanke diatas dihubungkan dengan ancaman Sofyan Wanandi yang telah saya singgung di awal, ini menunjukkan adanya benang merah antara Sofyan Wanandi - IMF - Krisis Moneter 1998.

[caption id="attachment_332015" align="aligncenter" width="300" caption="Artikel Majalah TIME, 3 Nov 1997 yang mengungkap peran spekulan binaan Soros dalam menciptakan krisis moneter di Thailand (termasuk Indonesia)"]

13976430051716162924
13976430051716162924
[/caption]

Sebuah artikel majalah TIME 3 November 1997 yang berjudul How To Kill A Tiger, Speculators Tell The Story Of Their Attack Against The Baht, The Opening Act Of An Ongoing Drama,” disusun oleh Eugene Linden secara mencengangkan menuturkan pengakuan pada spekulan dalam mengacak-ngacak mata uang baht dan menciptakan krisis moneter di Asia Tenggara.[ii]

Pengakuan para spekulan itu sangat brutal : "Kami seperti serigala di atas bukit melihat ke bawah pada sekawanan rusa," kata salah satu spekulan mata uang yang membantu memicu devaluasi yang mengarah pada kejatuhan di pasar saham yang menyapu dunia minggu lalu (akhir Oktober 1997 – pen). Akhir 1996, delapan bulan sebelum Thailand akhirnya menyerah dan mendevaluasi baht, sekelompok “serigala” telah berkeliaran. Mereka melihat perekonomian Thailand bukan sebagai salah satu harimau Asia, tapi lebih seperti mangsa yang terluka. Setiap pemangsa mulai merencanakan serangan. "Dengan memusnahkan mereka yang lemah dan sakit, kami membantu menjaga kesehatan kawanan," kata spekulan itu. Dan pemusnahan pun mereka lakukan. Melalui wawancara dengan anggota“serigala” ini, majalah TIME telah merekonstruksi kisah tentang bagaimana para spekulan melahap mata uang Thailand dan menggerakkan krisis yang sedang berlangsung serta menyebabkan trauma keuangan di seluruh dunia.

Di era Reformasi, terjadi pergulatan antara kelompok yang menginginkan keberlanjutan liberalisasi Indonesia melalui reformasi vs kelompok yang tetap pada pemahaman lama : Indonesia harus bersih dari asing. Dari sinilah muncul konflik-konflik dan pertarungan politik sebelum Sidang Istimewa MPRS yang berhasil mendudukkan Habiebie sebagai Presiden ke-3.

Fihak pro Liberal tentu tidak senang, makanya Sofyan Wanandi mengancam akan menaikkan nilai dollar jika Habiebie jadi Presiden.

Era Habiebie

Pada era yang singkat inilah sebenarnya nilai dollar kembali berhasil diturunkan hingga level Rp. 5000/1 dollar. Tapi tidak ada satu pun media yang mengangkat dan mengapresiasi langkah pemerintah.

Sekaligus ini membantah logika kaum liberalis bahwa sosok Habiebie tidak ramah pasar.

Di era ini sempat muncul Adi Sasono yang mengusung PER (Pos Ekonomi Rakyat) yang berusaha membantu dan mengangkat ekonomi rakyat kecil dengan bantuan modal dan bimbingan konseling.

Tapi saying, lagi-lagi kaum liberalis berulah. Mereka, dengan dukungan media massa, menggelembungkan opini dan citra jika Adi Sasono “anti Cina”. Padahal Adi telah keras membantah jika dia rasis dan anti satu kelompok.

Dia hanya ingin ekonomi masyarakat kecil yang jumlahnya mayoritas, tapi minoritas secara kualitas itu bisa maju. Apa itu salah?

Era Mega dan Gus Dur

Di era reformasi, ada beberapa tokoh nasional yang ditawari bantuan dan datang ke Amerika, diantaranya adalah : Amien Rais dan Megawati. Keduanya sama-sama membantah soal tersebut ketika dikonfrontir oleh Metro TV.

Pada era Megawati, jual-jualan asset negara dimulai. Satelindo dll. Orang yang berperan dalam jual-jualan itu adalah Laksamana Soekardi.

Ada tokoh mafia Berkeley yang berperan penting di era Mega : Boediono (sekarang Wapres).

Era SBY

Sebenarnya SBY tetap presiden yang mendapat restu Washington. Tapi diakhir jabatannya ini ada beberapa hal positif yang bisa kita lihat :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun