Mohon tunggu...
Diah Sarithi
Diah Sarithi Mohon Tunggu... Man Jadda Wa Jada

celoteh_literasi: Bukan hanya sekedar berceloteh, tetapi juga memberikan imajinasi lewat kata, hiburan, informasi, dan pelajaran hidup bagi para pembaca

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

BATAS Dalam Cerbung Romantika Cinta Milik Kanaya

28 Juli 2025   13:32 Diperbarui: 28 Juli 2025   21:24 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Cerbung Romantika Cinta Milik Kanaya Part 1 BATAS

Kanaya dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Sejak kecil, ia lebih dekat dengan neneknya dan tinggal bersama di kota setelah memasuki sekolah dasar. Sebelumnya mereka tinggal bersama dengan kedua orangtuanya, namun kedua orangtua Kanaya ingin mencoba bisnis baru di sebuah desa. Alhasil, kedua orangtuanya memutuskan untuk pindah ke desa tersebut membawa adiknya yang masih berusia 8 bulan. Walaupun begitu, Bapak Kanaya setiap hari Sabtu atau Minggu pergi ke kota untuk melihat Kanaya dan juga sang ibunda.Teringat dahulu, saat pertama kali memasuki SD. Di pagi hari yang cerah dan langit yang indah menemani langkah kecil Kanaya menuju sekolah barunya. Ia dengan bangga dan hati yang gembira mengenakan baju muslim berwarna kuning pemberian ibunya. Ya, Kanaya pergi ke sekolah berjalan kaki karena jarak dari rumah ke sekolahnya cukup dekat.
Sebelum memasuki gerbang sekolah, ia melihat anak-anak sebayanya diantar oleh orangtuanya. Bahkan beberapa diantaranya ada yang diantar sampai ke kelasnya.
Mata teduhnya mulai mengamati suasana di lapangan sekolah yang dipenuhi anak-anak kecil sebayanya dan kakak kelasnya. Ada yang memakai seragam sekolah dan ada yang masih memakai baju bebas seperti dirinya.
Dengan penuh percaya diri, ia memberi salam pada sekolah barunya dengan memberi senyuman tulus dengan parasnya yang lugu. Ia mulai melangkahkan kakinya dengan semangat yang membara memasuki arena lapangan sekolah menuju kelas barunya.

Kanaya tumbuh menjadi sosok anak yang mandiri dan punya semangat yang tinggi untuk sekolah.
Sejak memasuki sekolah dasar dan memiliki seorang adik. Kanaya belajar untuk terbiasa menjalani hari-harinya tanpa kehadiran yang utuh dari kedua orangtuanya terutama sosok ibu. Ia belajar untuk terbiasa akan hal itu. Tapi, ia yakin bahwa kedua orangtuanya sangat menyayanginya walaupun tidak sepenuhnya hadir untuknya. Dan kehadiran sosok neneknya yang sangat menyayangi dan memanjakannya itu sudah cukup membuatnya bahagia.
Namun, tanpa disadari hal itu membentuk pola pikir yang kurang baik bagi masa kecil  Kanaya tentang ibunya. Ia berpikir bahwa ibunya jahat kepadanya. Sebab ibunya tidak pernah hadir untuk menemaninya melakukan aktivitas bersamanya.
Ia hanya merasa, hanya neneknya yang peduli dan sayang kepadanya karena selalu ada untuknya. Dan juga Bapaknya yang setiap satu atau dua kali seminggu mengunjungi mereka.

Selama lima tahun tinggal bersama neneknya. Ia belajar banyak hal seperti tentang kebiasaan bangun pagi, sarapan, ibadah, berdoa, melakukan aktivitas sendiri, punya etika dalam bersikap, berani, suka belajar, belajar menabung, belajar jualan dan masih banyak lagi. Tentu nasihat-nasihat terdahulu, cerita-cerita tentang keadaan Kanaya  saat dilahirkan, saat Kanaya yang berusia 2 tahun harus mengonsumsi obat rutin karena sistem pernapasannya bermasalah, tentang perjalanan hidup neneknya dan perjuangan bapaknya saat masa sekolahnya dulu secara perlahan telah disampaikan kepada Kanaya. Respon Kanaya setiap kali neneknya bercerita, ia sambut dengan hangat, mata yang selalu berbinar-binar dan telinga yang siap mendengarkan.  Ia juga belajar menangkap pesan dari setiap nasihat dan cerita dari nenek kesayangannya itu.

Setelah lima tahun sekolah di kota, kedua orangtua Kanaya memiliki rumah sendiri di desa tempat mereka menjalankan bisnis barunya. Mereka mengajak Kanaya dan neneknya untuk pindah bersama mereka. Akhirnya, Kanaya bisa tinggal bersama dengan keluarganya yang utuh walaupun ia masih merasa sedikit aneh dan canggung berada di dekat ibunya.

Bagaimana dengan sekolah Kanaya di kota? Kanaya tetap melanjutkan dan menjalani satu tahun terakhir di sekolahnya. Namun, ia tidak jalan kaki lagi. Ia belajar naik angkutan umum sendiri menuju sekolahnya. Walaupun semenjak naik angkot, ia jadi sering terlambat dan dihukum sebelum masuk kelas. Kanaya tetap menikmati setiap moment di dalam angkot seperti saat  impit-impitan dengan penumpang lain seperti anak-anak SD lain, SMP, SMA, ayuk-ayuk cantik dan wangi yang ingin pergi bekerja sampai  ibu-ibu penjual ikan yang tentu membawa ikan-ikan dan hasil lautnya ke dalam angkot. Posisi duduk ternyamannya di dalam angkot baginya adalah berada di paling belakang, sebelah jendela kaca dan dekat dengan speaker mobil. Posisi duduk itu sangat nyaman baginya di saat pulang sekolah dengan cuaca yang panas menyengat. Ketika angkot mulai berjalan, musik sudah disetel oleh sopir dan Kanaya membuka jendela kaca di sebelahnya. Lalu, semilir angin yang sejuk mulai menyentuh lembut wajah Kanaya yang kegerahan dan itu adalah nikmat sederhana yang ia senangi.
Ada satu moment juga, di saat hujan telah reda. Jalanan yang berlubang sudah diisi oleh air hujan yang terkontaminasi dengan berbagai zat lain yang mengubahnya menjadi cokelat. Saat angkot mulai berjalan dan Kanaya membuka jendela kaca. Seketika ada angkot lain  yang menginjak jalan  berlubang itu. Alhasil, cipratan air comberan itu terpental dan mendarat di wajah Kanaya. Hahaha
Sesuatu yang tidak terduga dan mengagetkannya. Matanya seketika terpejam, mulutnya mengatup dan merasakan ada sesuatu yang membasahi wajahnya
Ia terdiam sejenak mencerna dengan polos dari mana asal air itu dan bagaimana caranya air itu bisa membasahi wajahnya padahal jaraknya cukup jauh. Wkwkw
Akhirnya ia sadar dan tangannya bergegas mengelap area wajahnya yang terkena air comberan. Bukan hanya itu, terkadang ia juga pernah kehilangan uang. Pernah dibayari oleh orang baik tak dikenal. Pernah dibelikan takjil  oleh seorang bapak yang baik hati agar dirinya bisa menyegarkan berbuka. Semua moment kecil yang dirasakan Kanaya dalam hidupnya baik itu sesuatu yang menyenangkan ataupun tidak, ia belajar untuk menerimanya dan menjadikannya sebagai memori dan sebuah pembelajaran bagi dirinya bahkan dijadikan sebagai ide dalam tulisannya.
Selain moment naik angkot yang super nano nano, sesekali ia juga sering diantar oleh Bapaknya ke sekolah menikmati suasana dan udara di pagi hari yang segar dengan paparan cahaya mentari yang selalu bersahaja dan menghangatkan menemani perjalanannya hingga sampai ke sekolah.

Sebuah keberuntungan bagi Kanaya bisa tinggal bersama keluarganya secara utuh di waktu yang tepat. Semenjak menginjak kelas 5, ia merasa ada suatu hal yang aneh terjadi pada ke kedua lututnya. Setelah ia pernah jatuh di usia sembilan tahun saat ia dan beberapa temannya sedang terburu-buru saat mendengar suara azan berkumandang. Kanaya pun berlari sekencang mungkin tanpa melihat ada batu besar di depannya. Membuat dirinya jatuh tersungkur dengan posisi sujud di sebuah jalanan yang curam seperti tebing.  Ia merintih kesakitan dengan jemarinya memegang area lutut sebelah kirinya. Ia menangis dan menahan rasa sakitnya untuk tetap melanjutkan perjalanan menuju masjid demi melakukan shalat asar berjamaah dan mengaji. Dari peristiwa itu, kondisi kakinya tidak lagi sekuat dulu. Kepribadian dirinya yang mandiri dan berani kini terkurung oleh rasa trauma yang berkepanjangan telah membentuk kepribadian baru dalam diri Kanaya menjadi sosok pendiam, pemurung, penakut dan insecure terhadap dirinya.

Disinilah Kanaya mulai mengenal dan merasakan kehadiran batas dalam dirinya yang belum bisa ia terima dan kontrol.
Sosok Kanaya dengan kepribadian aslinya seolah terkurung dalam penjara bawah tanah yang sangat dalam dan gelap oleh keterpurukannya yang belum bisa dan belum siap menerima batas yang ada padanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun