Oh, sungguh! Aku mengingatnya. Kopimu dan coklat hangatku. Berdua. Semeja. Kita tertimbun jelai dahana tanpa jeda.Â
Asmaraku, aku menuliskan surat ini, kembali. Semalam rindu merenggut mimpiku. Kau benar. Betapa sakit mendera hati. Mengurai kembali setiap kata sendiri, dingin, kangen, yang kau tulis penuh dalam alun rimba rimamu.Â
Tidakkah kau tahu, aku menahan gigil sejak melepasmu kembali ke langit Paris. Dan kau ingin jarak kita tergulung.Â
Bentang ini nyata, kekasihku. Jalanan kota kecilku, bangku panjang di bawah pohon akasia itu, gedung yang tak seberapa tinggi, angin sejuk yang masih nakal meniupi rambut hitamku, dan senyumanmu yang masih tertinggal di sini.Â
Aku yang masih duduk termangu. Menunggu sendiri yang tak jua mengalun pergi. Apakah kau di sana pun menanti?
Hari terlampau cepat berlalu. Surat-suratku mengering. Layaknya daun akasia tua yang jatuh. Daun kuning itu kini tak menemukan rambut ikalmu. Begitupun aksaraku.Â
Hari terlampau ringan melaju. Ataukah aku yang masih saja gagap menunggu. Diam membeku. Frasa yang kujumputi pun terenggut gumam.Â
Kekasih, apakah masih boleh kukirimkan jingga sore hari dalam bait hujan yang asing ini?Â
Kau. Jarak. Jeda. Secuil November Rue Montorgueil. Parismu. Dan Nusantaraku.Â
'Je te manque?' apakah kau merindukanku? bukankah itu tanyamu?Â
'qui, Monsieur... tu mé manqués' ya, Tuan. Aku merindukanmu.Â