Belum usai berita tentang kehilangan mereka yang kita cintai, sirine kecemasan serasa terus berkumandang mendengungkan kepanikan massal. Ya, panic buying seketika melanda.Â
Seperti saat saya harus ke apotik, karena persediaan masker kami menipis. Saat harus mengantri, saya melihat ada seorang ibu yang memborong obat flu, suplemen vitamin, obat cacing, pun ia tak lupa bertanya harga ivermectin yang melambung hingga kurang lebih dua ratus ribuan. "Itu kalau ada barangnya, Bu," gumam sang sales obat.
Hffth...
Beragam Aksi DistraksiÂ
Berita kehilangan dan luka karena duka yang mendera menuntut kita untuk terus bertahan melalui hari demi hari yang tidak pernah pasti.Â
Kehilangan relasi dengan gebetan, kehilangan seseorang yang tanpa kita duga harus meninggal terpapar covid, atau kehilangan pekerjaan sehingga ekonomi keluarga menjadi morat-marit seakan terus-menerus membuat kita berada pada ambang batas kesadaran diri.
Beberapa memilih untuk meluapkan emosi yang ada. Entah itu marah, takut, sedih, atau emosi lainnya secara berlebihan dengan dalih sebagai respon untuk memvalidasi emosi yang sedang dirasakan.Â
Beberapa lagi memilih untuk memendam, meredam, menekan segala bentuk emosi dan mengatakan bahwa semua sedang baik-baik saja.Â
Lempar senyum, atau bahkan tertawa sekeras-kerasnya agar apa yang sebenarnya kita rasakan menjadi invalid.Â
Beberapa dari kita memilih beragam distraksi untuk mengalihkan rasa gelisah dan cemas yang sedang dihadapi.Â
Segala emosi yang datang dialihkan pada perubahan kebiasaan makan yang berlebihan, berbelanja online secara berlebih, atau scrolling media sosial selepas bekerja.Â
Maksud hati memang ingin menghilangkan penat atau hanya sekadar ingin melindungi diri dari kecemasan dengan mencari informasi sebanyak mungkin tentang apa yang terjadi di sekitar kita.