Tempat yang tenang. Di hamparan padang rumput hijau yang membentang. Bunga-bunga rumput liar tumbuh seenak perut mereka. Kupu-kupu liar beraneka warna beterbangan diantara binatang-binatang kecil yang menikmati hangatnya sinar karunia surga. Bunga-bunga semak bergoyang ditiup angin. Kecil, rapuh, namun penuh warna. Aku mendengar angin bertiup lembut, membelai rambut ikalku. Pelan, begitu lembut.Â
Berdiri di bawah sebuah pohon besar, begitu rindang dan teduh, seraut wajah tersenyum padaku. Aku berlari padanya. Boone...kaukah itu?
"Mengapa kematian datang padamu, Boone?" tanyaku dalam peluknya.
"Aku harus pergi. Agar kau tetap hidup, Puteri. Aku akan tetap hidup untukmu. Dekat denganmu, sadari itu,"
"Untuk apa aku hidup jika kau pergi dariku?"
"Agar kehidupan itu tercipta kembali, kehidupan adalah benih, benih itu harus mati, agar kemudian tumbuh menjadi pohon yang lebih indah."
"Boone, mengapa kau tak mengajakku pergi? Biarkan saja aku pergi denganmu,"
"Lepaskan apa yang tak bisa kau miliki. Biarkan semesta menata dengan rapi mimpi indahnya untukmu, Puteri. Jangan mengejar, karena ia yang akan mendatangimu,"kulihat Boone tersenyum, sungguh teduh.
Datang dari lembah, angin yang begitu dingin menusuk tulangku. Sangat dingin namun terasa begitu sejuk. Boone menciumku perlahan. Lalu kabut dari lembah menyelubungi tubuh lelaki dalam rengkuhanku. Menutupi pandanganku darinya, dan membawanya pergi, nenghilang dari kasat mataku.
Kudengar kembali suaranya jelas berbisik di telingaku,"Aku tak akan jauh darimu, Puteri. Tak akan. Pejamkan matamu dan dengarkan detak jantungku yang selalu ada bersamamu....,"
Kemudian kabut itu membawanya pergi. Pergi, entah ke mana, aku tak pernah mengerti. Hanya menyisakan aku sendiri, bersama angin gunung yang bertiup seolah menerbangkan segala mimpi yang pernah singgah dalam malam-malamku.