Disandangnya pedang besar berkilat layaknya guntur yang sedang menyambar di angkasa raya.
Ia, makhluk itu memimpin di barisan paling depan dari segala makhluk mengerikan yang keluar dari dalam lautan lepas.
Mungkin lebih dari hitungan juta, selaksa prajurit dengan berbagai jenis senjata yang kini menjadi andalan mereka.
"Lihat....!! Lumira, sebentar lagi akan menguasai kalian, bangsa peri... Tunduklah, serahkan diri kalian pada kekuasaan Lumira..." suara makhluk mengerikan tersebut dibarengi dengan semburan api yang keluar dari naga besar yang masih melayang di atas lautan.
Tak lama pedang makhluk aneh itu diangkat tinggi dan seluruh angin bertiup kencang dari arah pasukan itu berada, dan menggoncangkan sebagian air laut yang bergulung menuju para prajurit istana.
Ayahanda, Raja Redrix melesat menghalau ombak tinggi itu dan menggulungnya kembali ke arah para prajurit Lumira.
Namun begitu banyaknya monster yang akhirnya menyerang memasuki pantai dan bertempur dengan para prajurit peri. Para peri pemanah mahir segera meluncurkan beribu panah api di angkasa, hingga membentuk satu bola api besar dan turun tepat di bawah prajurit Lumira.
Aku berdiri di atas Carlyle, menyaksikan kerumitan, pertarungan, kematian, baku hantam, dan mencium bau-bau tak sedap dari bangkai dan mayat para peri, yang tergetak di luar benteng.
"Tuan Putri, sebaiknya pergi ke dalam istana segera. Thea, lindungi dia," sahut Boone yang telah tiga hari lamanya bertempur melawan musuh.
"Tidak, Boone..." Tuan Langboard menatapku tajam.
"Tapi, Tuan, prajurit kita sudah kelelahan. Dan mereka mulai terdesak. Pasukan Lumira hampir mendekati benteng kita," jelas Thea.