Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ia Raja Pesisir, Aku Raja Pedalaman [Part 10: Dawn of A War]

26 Januari 2020   12:42 Diperbarui: 26 Januari 2020   12:52 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest.com | by. Rosie Hardy

Jalanan menuju kastil Pangeran Alvar masih sunyi. Bahkan hembusan nafas kuda penarik keretaku terdengar begitu jelas.

Embun pagi menetes menuruni pucuk daun demi pucuk daun yang lain. Embun penanda hari telah menjelang pagi, menyendiri menunaikan tugasnya membasahi dedaunan sebelum ia terusir oleh hangat sinar mentari.

Ditengah hutan , keretaku menyibak kabut penutup jalan. Sepanjang pandang dari jendela kereta, kulihat hutan pinus di ruas kiri dan kanan memagari jalanan, dengan debu yang ditinggalkan oleh derik suara roda kereta membelah jalanan dengan tanah dan tumbuhan liar di sekitarnya.

Thea berkuda di samping keretaku. Pacu kudanya terkadang mendahului kereta, namun terkadang berada di belakang bersama dua orang prajurit pengawal Kerajaan.

Nampak di ujung jalan, kastil Pangeran Alvar berdiri dengan gagahnya. Dipandu seorang prajurit setempat kami memasuki pintu gerbang menuju kastil kecil itu.

Pangeran Alvar menyukai hutan. Baginya pohon adalah nyawa bagi bernafasnya bumi.

"Itu penting, Tuanku Puteri. Pohon-pohon ini mulai habis ditebangi oleh kaum Nevirit. Dibuat rumah untuk mereka, tanah ladang, dan yang paling parah, ditebang hanya untuk beberapa uang koin saja," Pangeran Alvar menjemput dan mengantar kami ke sebuah taman yang sangat indah di belakang kastil.

Taman itu mempunyai pintu gerbang dari dedaunan ranting yang saling mengulir satu dengan yang lain. Di kanan dan kiri pintu gerbang terdapat dua pohon besar  mengapit pintu yang terbentuk dari juntaian ranting.

Saat memasuki taman, sungguh suatu pemandangan nan menakjubkan. Di bagian tengah taman, ada ruang kristal berulir ke atas, bening seperti kaca. Kristal-kristal kecil dironce bergantungan bagai tirai menggantung begitu panjang dan menutupi ruang berulir di tempat tersebut.

Di suatu sudut teratas, ada semacam alat musik petik, seperti sebuah kecapi. Pangeran Alvar memainkan jemarinya yang lentik. Aku melihat setiap petikan dawai menerbangkan suara yang berwarna-warni beterbangan di angkasa, sangat indah.

Pangeran Alvar tersenyum melihatku menikmati warna-warni suara yang beterbangan, hingga aku ingin menangkap salah satu suara yang nakal menempel dan hinggap di pundakku, kemudian terbang lagi menyentuh pipi kananku.

Aku mengejar suara itu, namun tiba-tiba aku menabrak sesosok pria tua, berambut putih panjang dengan jubah berwarna putih. Sebuah mahkota peri berulir perak menghiasi kepalanya.

"Owwh,.." kupejamkan mataku, dan melompat terkejut.

"Maafkan hamba, Tuanku," suara pria tua bertubuh tegap itu sangat berat dan berwibawa.

"Tuan Langboard," sahut Pangeran Alvar berdiri dan menunduk memberi hormat. Segera kuikuti menghormat pada sosok pria tua yang namanya sering kudengar.

"Ada kabar untukmu, Pangeran. Dari Kerajaan Saverian," Tuan Langboard mengambil sebuah gulungan kain.

Dibentangkan kain itu di udara, sementara Pangeran Alvar berdiri melihat bentangan kain itu dengan cermat. Dahinya mengerut, wajahnya sangat gelisah.

"Genderang perang telah siap dikumandangkan, Pangeran. Adakah yang ingin kau perbuat sebelumnya?" tanpa memperdulikanku, mereka berdua terbawa dalam pembicaraan yang serius. Tentu saja aku pun ikut mendengarkan.

"Apalagi yang bisa kuperbuat, Tuan. Selama ini, aku sudah berusaha mengatur dan mengulur waktu, jika sekiranya ada jalan keluar agar nafsu Lumira untuk menguasai bangsa Nevirit dan Kerajaan para peri memudar.

"Namun, ternyata, apa yang telah digariskan alam memang harus terjadi, Tuan Langboard,"Pangeran Alvar tertunduk lesu.

"Kita harus segera menyusun kekuatan dan stategi kita, Pangeran. Paduka Raja Redrix harus lekas diberitahu tentang ini semua," sahut Tuan Langboard.

"Aku yang akan ke istana sekarang, Tuan," Pangeran Alvar segera beringsut pergi laksana kilat.

Tuan Langboard menatapku tajam. Didekatinyalah aku yang berdiri bergeming. Aku merasa sangat gentar berhadapan dengannya.

Tetapi aku merasakan tatapan tajamnya berubah menjadi teduh, penuh welas asih. Seakan ingin menghalau segala kegelisahan dan kegentaran dalam hatiku.

Lalu tiba di hadapanku, ia berlutut, kedua tungkai kaki dilipatnya. Ia bersujud dengan tongkat yang tegak, menjadi pegangannya. Seakan kakinya terlalu lemah, tak kuat menahan beban tubuhnya.

Dengan kepala tertunduk, ia berkata, "Tuanku Puteri, mari ikut hamba. Waktunya telah tiba. Kita harus segera pergi ke Kerajaan Saverian. Pasukan Kerajaan Lumira telah mengepung benteng Carlyle,"

"Apa yang bisa kulakukan? Aku hanya mampu memegang pedang. Itupun tak seberapa, dan aku juga ikut dalam peperangan ini, Tuan?" tanyaku dengan kegentaran yang makin mengikat setiap pembuluh darahku.

"Bersama hambamu ini, Tuanku Puteri, " Thea memberanikan diri menyahut pembicaraan kami. Ia pun ikut bersujud di hadapanku.

Tak lama kemudian aku berada di tepian lautan. Angin panas menerpa wajahku. Langit berwarna jingga dengan seburat merah layaknya darah. Laut tanpa ombak. Sangat tenang. Seperti cermin raksasa yang memantulkan warna angkasa.

Baju zirah kini melekat pada tubuhku. Kulihat dari benteng Carlyle, pasukan Saverian berbaris rapi, panji-panji berkibar seolah mendirikan satu tekad bulat  Kerajaan untuk melawan barisan pasukan Lumira.

Di sepanjang garis horison cakrawala, aku melihat sekumpulan binatang-binatang aneh muncul dari kedalaman samudera. Ada seekor ikan dengan mulut yang penuh dengan gigi taring melompat ke udara, terbang sebentar dengan sayapnya kemudian tenggelam kembali ke dasar laut.

Lalu muncul sebentuk monster, giginya seperti pedang yang tajam. Hidung besarnya seperti gua kecil yang berlendir, badannya yang begitu besar hampir menutupi sebagian barisan monster lain di belakangnya.

"Pemandangan yang mengerikan bukan?" sahut seseorang di belakangku.

"Pangeran Arye," lelaki muda yang umurnya tak jauh beda denganku kini berdiri di sebelah kananku.

"Aku tak pernah berharap menyuguhkan pemandangan mengerikan ini kepadamu, Puteri," kulihat dibalik baju zirahnya, tepat di lehernya, menggantung sebuah kalung perak dengan liontin yang tak asing bagiku.

Ya, itu huruf "A", liontin ibuku. Aubrey, nama ibuku. Jadi, dia yang selama ini mencuri dan menyimpan liontin itu? Aku ingat. Ya, dia yang saat itu datang ke rumah dan mengambil liontin yang seharusnya menjadi milikku. Kepunyaanku.

Angin berhembus dari arah lautan. Begitu panas hingga kulihat wajah Arye semakin memerah.

Ah, tunggu dulu, aku pernah melihat sorot mata itu. Di mana? Aku lupa, oh, dia... memiliki sinar mata yang sama dengan makhluk aneh yang sempat bertemu denganku dan Thea di rumah Tuan Dunberg.

"Sebentar lagi, Puteri... Hanya dalam hitungan detik. Aku akan menguasai segalanya," bisik Pangeran Arye dekat ke telingaku.

Apa maksudnya? Apa maksudnya ia akan menguasai segalanya?

Terompet dan genderang perang telah berbunyi. Langit makin memerah. Angkasa berubah dari awan biru menjadi merah, semerah darah. Petir besar membelah cakrawala, dari arah Timur ke Barat, guntur mengelegar bersahutan, membahanakan semesta yang marah, tertikam durjana.

Lalu datang ombak yang sangat tinggi, hendak menghempas seluruh isi lautan. Gemuruh ombak bergulung mengikuti angin yang terasa kian panas. Seketika, muncullah seekor naga besar dari dalam lautan, terbang melayang di ketinggian langit merah.

Naga itu ditunggangi seseorang yang serupa monster, bertubuh manusia, dengan wajah yang mengerut di bagian dahinya. Dan ada dua tanduk kecil muncul  menghiasi bagian kanan dan kiri kepalanya.

"Aaaaarrrrrghhhh," seru makhluk itu begitu kencangnya.

Disandangnya pedang besar berkilat layaknya guntur yang sedang menyambar di angkasa raya.

Ia, makhluk itu memimpin di barisan paling depan dari segala makhluk mengerikan yang keluar dari dalam lautan lepas.

Mungkin lebih dari hitungan juta, selaksa prajurit dengan berbagai jenis senjata yang kini menjadi andalan mereka.

"Lihat....!! Lumira, sebentar lagi akan menguasai kalian, bangsa peri... Tunduklah, serahkan diri kalian pada kekuasaan Lumira..." suara makhluk mengerikan tersebut dibarengi dengan semburan api yang keluar dari naga besar yang masih melayang di atas lautan.

Tak lama pedang makhluk aneh itu diangkat tinggi dan seluruh angin bertiup kencang dari arah pasukan itu berada, dan menggoncangkan sebagian air laut yang bergulung menuju para prajurit istana.

Ayahanda, Raja Redrix melesat menghalau ombak tinggi itu dan menggulungnya kembali ke arah para prajurit Lumira.

Namun begitu banyaknya monster yang akhirnya menyerang memasuki pantai dan bertempur dengan para prajurit peri. Para peri pemanah mahir segera meluncurkan beribu panah api di angkasa, hingga membentuk satu bola api besar dan turun tepat di bawah prajurit Lumira.

Aku berdiri di atas Carlyle, menyaksikan kerumitan, pertarungan, kematian, baku hantam, dan mencium bau-bau tak sedap dari bangkai dan mayat para peri, yang tergetak di luar benteng.

"Tuan Putri, sebaiknya pergi ke dalam istana segera. Thea, lindungi dia," sahut Boone yang telah tiga hari lamanya bertempur melawan musuh.

"Tidak, Boone..." Tuan Langboard menatapku tajam.

"Tapi, Tuan, prajurit kita sudah kelelahan. Dan mereka mulai terdesak. Pasukan Lumira hampir mendekati benteng kita," jelas Thea.

"Puteri Sherin yang akan menyudahi segalanya, ia dan garis hidupnya, akan mengubah segalanya, seperti telah ditulis dalam kitab kita," jelas Tuan Langboard.

Aku melihat Ayahanda memalingkan muka, menatap ke arah lautan yang memantulkan warna merah ke angkasa.

"Ayah,..." panggilku sambil menghampiri wajah yang telah lesu dihantam lelah yang bertubi-tubi.

Ia memelukku, erat, sangat erat. Kegentaran seorang ksatria menghampirinya, menetes melelui sebutir air mata yang tak kuasa dibendung olehnya.

Kulepas pelukan Ayah. Aku berdiri di atas benteng Carlyle yang paling tinggi. Aku berdiri tanpa senjata apa pun. Hanya aku.

"Kau ...Cornicus...aku, Sherin, telah mendengar semua kata-katamu, sungguh kasihan kau. Kesakitanmu segera musnah. Akan kutunjukkan padamu dendamu hanya sia-sia... Kemanapun kau pergi, kau tak kan mampu ingkari...."tiba-tiba tubuhku melayang di udara.

Aku terbang di atas medan pertempuran. Tubuhku ditarik ke arah makhluk yang kupanggil Cornicus. Mukanya merah, matanya seperti api, hendak membakarku hidup-hidup. Aku menatapnya.

Kegentaran yang semula menaungiku menjadi hilang, menyatu di dalam bara keberanian yang entah datang dari mana, kini menghampiriku, memenuhiku.

"Kau, makhluk lemah. Apa maksud mereka yang berkata, kau adalah penentu akhir hidupku?" tangan Cornicus mencengkeram tubuhku erat. Bahkan aku merasakan beberapa tulangku mulai retak.

"Kesombonganmu adalah titik lemahmu, Cornicus. Tak ada gunanya kau membalas dendam. Aku sudah tahu segalanya.

"Tentang ibumu yang seorang malaikat, dan ayahmu yang seorang iblis. Kau diragukan, kau dibuang, dikucilkan, dihina, dan dendam menutupi matamu, saat ini," kulihat ke dalam matanya, sesaat api di dalam matanya meredup, namun segera menyala merah dan mengeluarkan api.

"Kau tak tahu apa pun, dasar keturunan Nevirit !!" lalu tubuhku dihujamkan di kedalaman bumi. Sejenak tubuhkku melayang seperti  kapas, lalu jatuh ke tanah, dan entah dimana aku berada kini.

Yang kurasakan hanyalah dingin yang tak terkira. Tulangku serasa remuk, hampir mati rasa. Tak berani kubuka mataku. Gelap. Mungkinkah ini kematianku?Lunglai segala tulang di tubuhku. Terasa hilang punah kesadaranku. Matikah aku?

Namun sayup masih kudengar suara, Boone berteriak memanggilku, "Sheriiiin!!!" 

*Solo, .... masih kerasa Imlek 2020 nih, buat semua sobat K... just let me say, Xin Nian Kuai Le...
Maap nyak...late post niih :) ikutin terus, ingat, part 11 bakalan jadi ending....xixixi, mohon doanya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun