Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ia Raja Pesisir, Aku Raja Pedalaman [Part 1 : "Cincin"]

9 Oktober 2019   10:23 Diperbarui: 9 Oktober 2019   10:51 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : pixabay.com

Aku punya seorang kekasih. Ia tampan, lagi gagah. Itu menurutku. Ia mempesonaku dengan segala caranya. Santun kata, rona wajahnya saat tertawa, pancaran matanya yang tajam, sikapnya yang bijak, dan caranya menggandeng tanganku tanpa harus menggenggamnya erat. 

Aku pun mulai belajar untuk menyukai segala kekurangannya. Kebiasaannya yang ingin serba cepat, kebaikannya pada semua orang yang kadang membuatku cemburu, hidungnya yang sedikit pesek, badannya yang sedikit gembul, dan tawanya saat aku ingin serius. 

Tapi menyukai kekurangannya adalah cara ajaib agar kami tetap bersama. Kata beberapa ahli sih begitu. Tak ada salahnya mencoba, bukan? 

Seringkali ia mengajakku pergi. Entah hanya sekedar menemani hobi kulinernya, atau hanya bercanda sederhana di sudut warung sate kegemarannya. Katanya, untuk menghilangkan kepenatannya. Dan yang paling tidak masuk akal, aku mau begitu saja.

Aku mencintainya. Sangat. Entahlah. Dia mungkin juga begitu. Paling tidak ia tahu bahwa aku cukup mencintainya. Itu pun cukup bagiku.

Ia tak mau aku marah. Tapi ia menyukai setiap ekspresiku jika aku marah. Menurutku aneh, tapi ya, begitulah. 

Pernah suatu kali aku marah. Beberapa hari ia hanya sibuk dengan urusan pekerjaan dan teman-temannya. Dan saat aku hanya diam saja, ia segera tahu kalau aku sedang kecewa padanya. 

Segala cara ia gunakan untuk meredakan amarahku. Bukan dengan kuliner kesukaannya, atau hobinya bercanda, ia tahu bagaimana meredakan amarahku. Padahal aku hanya diam. 

Tapi ada rasa senang. Meski aku tak pernah mengharapkan hari itu terulang lagi. Ia, kekasihku yang juga mencintaiku, berusaha dengan keras untuk memperbaiki cerita cinta kami. Dramatis, tapi aku senang. Kebanyakan wanita begitu bukan?

Hingga kemarin, aku membuatnya sedih. Dan seketika itu juga, aku pun menjadi sangat bersedih. Tiba-tiba semua chat ku dibalasnya dengan singkat. Seolah tak pernah ada yang penting lagi untuk kami bicarakan.

Tiba-tiba dia juga menolak semua pintaku, meski aku tahu itu adalah kesukaannya. Aku tak pernah mengerti mengapa ia bersikap seperti itu. 

Aku bahkan dibuatnya bingung. Aku tak pernah mengerti dengan segala keputusannya untuk mempercepat waktunya bersamaku. Mengapa? 

"Mas, apa kita ga bisa sebentar lagi aja. Mau ada acara apa toh?" tanyaku pelan.

"Engga. Aku ga ada acara kemana-mana." jawab Ipung. Iya. Namanya Ipung Sukmajaya. Keren, ya.

Aku diam. Memperhatikannya sebentar. Lalu dengan cepat membonceng motor Vespanya yang antik.

Ia terlihat buru-buru. Namun aku tak tahu, kemana Vespa diarahkannya. Oh, ternyata ke rumahku. 

"Nya ga usah kemana-mana hari ini. Tetap di rumah. Berjanjilah. Kamu harus di rumah. Ga usah ikutan pergi kemana-mana. Tolong. Janji?" tanya tegas. Kali ini dia tidak main-main seperti biasanya. Aku tahu dia serius. 

Aku mengangguk pelan, tanda setuju. Pandangannya masih tajam menatapku. Seolah tak mau ia meninggalkanku. 

"Ini apa yang terjadi, Mas?"

"Pokoknya stay at home,"

Setelah itu, ia membelai pipi kananku. Lalu ia memelukku erat. Aku pun tak mengerti, mengapa ia melakukan itu. Tak seperti biasanya. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang seakan-akan melompat keluar memelukku pula. 

"I'll be home soon," pelan ia berkata, seolah tak ingin melepasku pergi.

Setelah lama ia menempatkanku pada titik yang aku tak pernah mengerti, akhirnya ia melepaskan aku. 

Tak lama kemudian, di kejauhan terlihat asap hitam mulai mengepul. Seakan membelah langit yang semula biru cerah, menjadi hitam. Suara riuh orang-orang berhamburan, berteriak histeris. 

"Iyem, ada apa?" Iyem tak menjawab tanyaku. Ia menarikku masuk ke dalam rumah.  Ditengah nafasnya yang mulai tak beraturan, Iyem menutup semua tirai yang menutupi jendela rumah. 

"Non, cepat kunci pintu. Bantu Iyem tutup semua pintu belakang dan garasi. Iyem mau nutup pintu jendela di lantai atas," katanya tanpa penjelasan apa pun.

Ayah yang sedari tadi sedang membaca di kamar pun akhirnya ikut keluar. Segera dinyalakannya televisi. Ayah tak pernah mempercayai dunia online. Ia lebih menyukai televisi, radio, dan segala sesuatu yang bersifat konvensional.

Hanya perlu beberapa menit, akhirnya Ayah pun mengikuti semua yang Iyem lakukan. 

"Nya, kamu tutup pintu garasi dan segala akses orang ke rumah ini. Cepat! Ayah bantu Iyem," serasa Ayah hanya copas permintaan Iyem tadi.

Malam ini kami habiskan dengan rasa takut yang tak seperti biasanya. Ketakutan mencengkeram kami sekuat tenaga. Ayah menyuruhku dan Iyem tetap berada di ruang tengah. 

Aku anak tunggal. Namaku Tania. Sesingkat itu? Iya. Saat aku lahir, aku tak lagi mengenali ibuku. Kata Ayah, Ibu meninggal sesaat setelah melahirkan aku. Aku tak pernah punya saudara lagi. 

Ayah anak tunggal juga. Sejak kepergian Ibu, beliau sangat enggan untuk menikah lagi. Nenek tak pernah berhenti untuk menjodohkannya dengan semua wanita di seluruh dunia. Itu menurutku. 

Semua karena Ayah memang tak mau menikah lagi. Beliau pernah berkata, bahwa akulah satu-satunya wanitanya di dunia ini. Hmmmh Ayah memang hero buat aku.

Aku pun tak pernah mengalami ketakutan semacam ini. Sungguh mencekam. Oh, aku jadi teringat. Waktu itu mungkin umurku baru lima tahun. Malam-malam seperti ini, tiba-tiba Ayah mengajakku pergi. Naik mobilnya, dan kami pergi menjauhi tempat tinggal kami semula. 

Dua puluh tahun yang silam. Dan, aku pun tak pernah mengerti, mengapa kami harus cepat-cepat pindah saat itu. Tapi itu bukanlah hal yang terlalu penting bagiku. Jadi tak pernah kutanyakan lagi pada Ayah mengenai hal ini. Dan akhirnya, di sinilah aku. Semua baik-baik saja. Hingga malam ini.

Semua hening. Tak ada suara apa pun. Kami bertiga juga bergeming. Larut dalam sepi yang bercampur dengan rasa was-was. 

"Ayah, sebenarnya ada apa ini semua? Iyem apa bisa beri penjelasan? Ada apa? Apakah aku jadi orang tolol di seluruh kota ini?" tanyaku sambil berbisik.

"Hsssshh," jari telunjuk Iyem dilekatkan di depan bibirnya, menyuruhku untuk diam.

Suara seperti tembakan dan dentuman bom terdengar dimana-mana. Entahlah. Seperti efek suara dari adegan-adegan dalam film action kesukaan Ipung. 

Oh iya, bagaimana dengannya? Aku melihat gawaiku. Tak ada satu pun notifikasi dari Ipung. Tak biasanya ia begini. Dan mengapa aku semakin bertambah resah?

Kucoba menghubunginya. Namun ternyata, sinyal gawaiku mati. Kucoba mengulang booting, namun tetap saja tak ada sinyal. 

"Jangan coba hubungi siapa pun, Nya. Jangan," larang Ayah.

"Kenapa, Ayah?" 

"Kau harus memakainya. Berjanjilah jangan pernah melepaskannya," kata Ayah sambil memakaikan sebuah cincin tanpa batu permata. Hanya seperti sebuah logam berbentuk lingkaran. Polos, berwarna silver. Tak ada ukiran apa pun. Tak ada yang menarik dari cincin sederhana itu.

"Apa ini jimat, Ayah?" tanyaku heran .

Ayah hanya tersenyum saat kusebut kata jimat. Ya, tentu saja. Ayahku adalah orang yang tak pernah mempercayai hal-hal mistis. Mungkin jika ada perang antara yang percaya dan tidak percaya mistis, Ayah pasti berada di garda paling depan pada barisan mereka yg tak percaya.

Ayah lebih percaya pada manfaat teknologi. Meski teknologi dalam ukurannya adalah teknologi jadul dalam kamusku.

"Braaaak!!!" ada suara seperti pohon jatuh dan menimpa atap garasi kami. 

Kami saling menatap. Ayah memberi kode pada kami berdua, aku dan Iyem untuk tetap di tempat kami.

Sementara suara-suara seperti bom terdengar di sana sini. Benar-benar suara yang sangat mencekam. Malam itu bukan malam hening dan nyaman seperti biasanya. 

"Zdaaagg!!" seperti sesuatu sedang menabrak kaca jendela depan.

"Zdaaagg.... zdaaagg.... zdaaagg...." Oh, terdengar mengerikan sekali di luar sana. 

Iyem memelukku erat. Aku tahu wajahnya ketakutan tapi bagiku ia seperti lebih cemas. Entah apa yang ia cemaskan. 

"Nya, berjanjilah, jangan kamu lepaskan cincin ini, apa pun yang terjadi," kali ini Ayah mengatakannya dengan sangat jelas. 

Mata Ayah di balik kacamata beningnya perlahan berubah menjadi merah. Bukan karena ingin menangis. Tapi benar-benar merah. Hampir seperti nyala api. Aku seperti sedang berhadapan dengan seseorang yang bukan Ayahku.

*Solo, saatnya mengunjungi dimensi imajiner.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun