Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sebutir Asmara di Linggarjati

17 Agustus 2019   22:57 Diperbarui: 18 Agustus 2019   02:13 2697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest.com/foto Indonesia jaman dulu (diolah kembali oleh penulis)

Malam itu tepat tanggal 6 Januari 1937, diantara riuh para tamu undangan, seorang gadis berwajah ayu sibuk berias demi sebuah tontonan berkelas. Ya, malam itu malam pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernard. 

Tubuh yang berbalut baju adat Jawa menuntunnya di tengah aula ruang pesta. Alunan syahdu gending Jawa dari tetabuhan gamelan, mulai terdengar merdu dari kejauhan Benua Asia, menemani Sang Putri nan cantik jelita menari di bawah dinamika ketukan Sang Ibunda.

Gemulai gerakan nan lembut tertata, terlihat mempesona dari wajah ayu bagai Dewi Sumbadra memancarkan aura kecantikan Puteri keraton. Penonton seakan takjub terbius oleh kecantikan ayu tanpa cacat seorang gadis 15 tahun dari Keraton Mangkunegaran, salah satu daerah jajahan Belanda.

Demikian pula tatkala Sang Putri dan Ayahandanya pulang kembali ke tanah air, dari perhelatan agung pernikahan bangsawan Belanda, Sang Putri seperti biasa, menghabiskan waktu luangnya dengan berkuda. Suatu hobi yang tak lazim bagi wanita pada saat itu.

"Gusti, ini ada kabar dari majalah luar negri. Ada gambarnya Gusti Nurul situ. Cantik, Gusti," kata Lastri, salah satu abdi dalem Keraton Mangkunegaran.

Gadis cantik itu bernama Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, putri Raja Mangkunegara VII. Ia hanya tersenyum. Di tangannya kini ada  majalah Life terbitan Amerika, tertanggal 25 Januari 1937. 

Entah ke berapa kalinya Nurul menerima pujian atas kecantikannya. Wajarlah jika semua bunga di taman keraton iri dan ciut hati untuk mekar, bila Sang Putri sedang menebar senyum.

Waktu pun berlalu. Gadis itu kini semakin tumbuh dewasa. Nurul telah genap berusia 24 tahun saat itu. Bak kembang, ia adalah Kembang Mangkunegaran. Kecantikannya tak pudar, malah semakin menjadi seiring dengan kecerdasannya yang terasah di sekolah para bangsawan.

Lewat berbagai media, terdengarlah kabar masuknya tentara AFNEI yang diboncengi NICA ke wilayah Indonesia. Sementara, pihak Jepang mengumumkan adanya posisi status quo di Indonesia.

"Inggris telah mengundang Indonesia untuk mengadakan gencatan senjata dengan Belanda mulai tanggal 14 Oktober tahun ini, " kata Mangkunegara VIII yang menggantikan tahta kerajaan setelah Raja Mangkunegara VII wafat.

"Lalu apa isi kesepakatan lainnya? Apakah Belanda mau mengakui wilayah Jawa sebagai wilayah Indonesia?" tanya Sang Putri Kembang Mangkunegaran.

"Belum. Menurut kabar itu akan dibahas besok saat Perundingan di Linggarjati, tanggal 11 November yang akan datang. Kuharap kita bisa datang memenuhi undangan dari Pemerintah Indonesia,"jawab Sang Raja baru.

Hingga saat revolusi Indonesia mulai mereda, ibukota pemerintahan berada di kota Yogyakarta. Sidang rutin kabinet pun diadakan di Yogyakarta.

Pada tahun 1946 itulah pertama kali Gusti Nurul bertemu Bung Karno dan Sutan Sjahrir.

Usai pertemuan itu, Nurul kembali diundang oleh Sang Penguasa Negeri, Soekarno ke Cipanas, Jakarta.

"Kanjeng ibu ingin kita berdua ke istana negara di Jakarta? " tanya Nurul pada ibunya.

"Bukan ibu. Itu kemarin ada undangan dari Jakarta. Bung Karno meminta kita datang dan berkunjung ke istana negara. Beliau ingin kamu dilukis sama Pak Basuki Abdullah, cah ayu," jawab ibunda dengan lembut.

Seulas senyum mulai tertampak di wajah yang selalu ayu. Entah untuk berapa kalinya ia harus menolak semua pinangan para pria pemuja kecantikannya. Kini ia harus berhadapan dengan pria berwibawa dan berkharisma, politikus bangsa.

"Maaf, Ndoro putri, apa jadi berangkat ke Jakarta? Biar saya siapkan semua keperluan, Ndoro Putri," kembali Lastri mengambil koper besar yang sudah disiapkan abdi dalem semalam. 

"Mungkin aku juga harus menyiapkan jawaban untuk beliau, Lastri. Kemarin Bung Karno sudah melamar saya," sahut Nurul.

Lastri hanya seorang abdi dalem Keraton Mangkunegaran, tahu segala gosip yang mungkin telah menyebar di kalangan keraton. Namun ia bukan abdi dalem yang suka bergunjing ke sana ke sini. Baginya melayani Sang Ndoro Putri Nurul adalah suatu kebanggan tersendiri.

Begitu pula hari ini. Ia mempersiapkan setiap helai baju Sang Putri dengan sangat hati-hati. Semua kosmetik yang diperlukan Gusti Putri Nurul pun disiapkannya secara detail. Mulai dari bedak hingga ramuan jamu tradisional yang sangat disukai oleh Gusti Nurul.

Lastri pun sudah mampu menebak. Jawaban apa yang akan diterima Sang Proklamator Negri. Ia tahu pasti tabiat majikannya, yang paling tidak suka akan poligami.

Apalagi yang akan menjadi alasannya? Gusti Nurul-nya itu adalah seorang wanita bangsawan yang berpendidikan tinggi. Ia tahu betul bahwa Bung Karno sudah beristri Inggit Garnasih dan juga Ibu Fatmawati.

Masih ingat di kepala Lastri saat Gusti Nurul-nya mengatakan, "Wanita itu bukan hanya konco wingking, hak kita sama. Ini bukan jamannya Kartini lagi. Kita, wanita sudah harus bisa menjadi setara dengan kaum laki-laki."

"Bedanya, hanya saat menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Itu kodrat kita, Lastri, " lanjut Nurul dengan sangat bersemangat.

Seperti beberapa waktu yang lalu, saat seluruh Keraton Mangkunegaran dihebohkan dengan kabar ditolaknya pinangan Sultan Hamengkubuwono IX dari Keraton Yogyakarta kepada Gusti Nurul, Sang Kembang Mangkunegaran.

Beberapa waktu telah lewat. Seiring terbit dan terbenamnya sang Surya, penanda waktu bagi semua insan di bumi persada Indonesia. 

Pagi itu, seorang kurir dari Yogyakarta telah datang. Seorang wanita dengan setelan baju yang resmi dan anggun layaknya seorang yang bekerja di sebuah instansi penting.

Lastri segera berjalan cepat menemui Nurul yang sedang berkuda di halaman belakang keraton. 

"Gusti Putri, ada tamu dari Jogja. Katanya ingin bertemu Gusti Putri secara pribadi. Gusti sudah ditunggu di ruang tamu," ujar Lastri sambil sebentar-sebentar menghela nafasnya.

"Oh, ternyata Anda, Ibu Osman. Ada perlu apa, ya?" tanya Sang Putri

Tamu yang ternyata sekretaris Perdana Menteri Indonesia, Siti Zoebaedah Osman hanya tersenyum simpul.

"Ini, Gusti Putri. Saya hanya sebentar saja. Ada titipan yang harus saya sampaikan kepada Gusti. Seperti biasa, dari Bapak Sutan Sjahrir," jawab Sang sekretaris.

"Tolong sampaikan rasa terima kasih dan hormat saya kepada Bung Kecil. Beliau sudah repot-repot membanjiri saya dengan segala hadiah cantiknya," sahut Sang Putri Nurul.

"Baiklah, kalau begitu, saya pamit dulu, Gusti Putri."

Setelah Siti Zoebaedah Osman pergi, Nurul segera memberikan bungkusan itu kepada Lastri yang sudah berdiri di belakangnya. Sedangkan sepucuk surat dari Bung Kecil mulai dibacanya sambil tersenyum simpul.

"Tulisannya jelek, Lastri," ujar Nurul singkat. Namun ada seulas senyum menyertai kalimat itu. Seakan matanya yang berbinar menyiratkan sesuatu yang bergejolak dalam batin Sang Putri.

Lastri hanya melangkah mengikuti ke mana Sang Putri pergi. Dalam bentangan angannya yang juga bukan gadis kecil lagi, Lastri cukup cerdas untuk memahami isi hati sang majikan.

Seusai pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Yogyakarta saat sebuah sidang para pejabat pemerintahan diadakan, Sang Perdana Menteri itu seringkali mengirimi hadiah dari Jakarta untuk Nurul.

Setahu Lastri, ada jam, sutera, bahkan tas-tas yang sangat bagus dan yang pasti mahal harganya. 

Sutan Sjahrir belum pernah datang ke istana Mangkunegaran. Hanya saja Nurul pernah bercerita, tentang Sutan Sjahrir. Seringkali mereka hanya bertukar kabar lewat surat. Tak lebih dari itu.

"Besok pagi aku dan Kanda Kanjeng Gusti Mangkunegara diminta datang ke Linggarjati, Lastri. Ibunda dan Mbakyu juga berangkat," demikian Nurul berucap. Bagi Lastri, itu adalah sebuah perintah bahwa ia harus kembali menyiapkan segala keperluan majikannya itu untuk berpergian jauh. 

11 November 1946, hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Sebuah perundingan bagi terwujudnya cita-cita Pemerintah untuk mengukuhkan status wilayah Jawa, Sumatera, dan Madura di bawah kekuasaan Indonesia digelar di Linggarjati.

Semua tamu mulai menghadiri tempat rapat. Begitu pula rombongan dari istana Mangkunegaran. Kali ini Sutan Sjahrir secara pribadi menyambut kedatangan rombongan Mangkunegaran.

"Selamat datang di Lingarjati, Kanjeng Gusti, kami sudah persiapkan sebuah rumah untuk menginap," sambut pria yang lebih akrab disapa Bung Kecil.

Saat itulah dua pribadi unik bertemu untuk kedua kalinya. Kali ini mereka bukan bertemu lewat surat. Namun kedua pasang mata bertemu dan melahirkan sebuah gelora asmara dalam benak Bung Kecil.

Sore telah berganti tugas dengan malam,  Bung Kecil mengunjungi rumah perundingan Belanda-Indonesia, tempat Sang Putri Kembang Mangkunegaran menginap.

"Bagaimana kabarnya, Putri?" sapa Bung Kecil.

"Baik,"jawab Sang Putri singkat. "Terimakasih untuk semua hadiahnya, Bung,"sambungnya

"Oh ... Itu hanya oleh-oleh biasa," sangat kaku Bung Kecil menjawab. Seluruh kekuatan negosiatornya seakan runtuh ditelan gemuruh debar jantung yang menghiasi malamnya bersama Sang Putri Kembang Mangkunegaran.

Di ruang itu pulalah, Sang Perdana Menteri menyatakan keinginan tertingginya untuk meminang Putri nan ayu pujaan negri.

Di situ pula Sang Putri Kembang Mangkunegaran membiarkan tangan perkasa Sutan Sjahrir membelai pipi dan dagunya. Mungkin kisah cinta ini sangatlah unik bagi Sang Putri, hingga ingatan malam itu tak pernah lepas dari ingatannya.

Linggarjati telah menjadi saksi, asmara yang tertelan masa. Kala pinangan telah terurai, namun logika Sang Putri telah mematahkan kembali satu hati sang negosiator negri.

Meski gelora membara, namun Sang Putri pulang ke istana tetap dengan kebulatan tekad tak akan dibiarkan sia-sia hatinya terbagi dan menyakiti sebuah cinta atas dasar kata poligami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun