"Ya udah ya kita mulai dulu. Udah mepet nih waktunya. Nanti biar papa menyusul aja,"Â bu Handoko kembali berbisik kepada Ririn, putri satu-satunya.
Ririn hanya mengangguk pasrah. Kalau sebelumnya ayahnya bilang masih dalam perjalanan pulang, kini ayahnya belum bisa dihubungi lagi. Mungkin handphone-nya kehabisan daya, begitu pikir Ririn.Â
Acara pun dimulai. Acara dipandu oleh Dian, keponakan Ririn yang masih kuliah. Lalu seorang adik panti asuhan tampak membacakan ayat suci Al-Qur'an, disusul seorang ustadz memberikan tausiyahnya. Bu Handoko, Ririn, dan beberapa anggota keluarga lainnya tampak masih belum tenang karena yang punya hajat, pak Handoko, belum tampak batang hidungnya juga.
Tiba-tiba Ririn beranjak dari duduknya. Langkahnya tampak tergesa menuju taman di samping rumah. Rupanya ada telepon masuk dan harus ia angkat. Sejurus kemudian, mamanya pun sudah berada di sampingnya.Â
"Papa di rumah sakit, Ma..," Ririn tak kuasa menahan tangisnya. Dia terisak-isak tanpa bisa dibendung.
"Kata pihak rumah sakit, papa kecelakaan dan dibawa orang-orang ke rumah sakit." Ririn terus menangis dan setengah berlari menuju garasi rumah. Tampaknya dia akan segera ke rumah sakit. Bu Handoko terpaku di tempat duduknya. Saudara-saudaranya sibuk menenangkannya. Acara pun berubah tak kondusif. Ustadz berusaha membangun suasana menjadi lebih baik.
"Assalamu'alaikum.."
Sebuah suara tiba-tiba masuk di ruang acara.
"Alhamdulillah.. Pak Handoko sudah datang rupanya," sambut ustadz di tengah tausiyahnya.
Orang-orang terdiam. Mereka tampak bingung. Pak Handoko tak.kalah bingungnya. Bu Handoko pun mendekati suaminya. Dan, tiba-tiba Ririn sudah berlari mendekati mereka, lalu memeluk ayahnya dengan tangisan yang sedari tadi belum hilang.
"Alhamdulillah papa gak kenapa-kenapa. Makasih, ya, Pa.."