Mohon tunggu...
Delvis Sonda
Delvis Sonda Mohon Tunggu... Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024: Inovasi Demokrasi atau Manipulasi Konstitusi?

4 Juli 2025   08:58 Diperbarui: 4 Juli 2025   08:58 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dok. Pribadi 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 telah mengguncang fondasi sistem pemilu di Indonesia. Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa pemilu nasional (presiden, DPR, dan DPD) dan pemilu daerah (DPRD, gubernur, bupati/walikota) tidak lagi diselenggarakan secara serentak, melainkan harus dipisahkan dengan jeda waktu tertentu. Alasan utama MK adalah demi "penyelenggaraan pemilu yang lebih efisien, adil, dan berkualitas".

Sekilas, argumen tersebut terdengar masuk akal. Kompleksitas pemilu lima kotak dalam satu hari memang telah lama menuai kritik: menyulitkan penyelenggara, membingungkan pemilih, dan membuka ruang pelanggaran administratif. Namun, keputusan untuk memisahkan waktu pemilu nasional dan lokal membawa konsekuensi yang jauh lebih dalam dari sekadar persoalan teknis. Ia menyentuh soal ketatanegaraan, legitimasi kekuasaan, bahkan potensi pelanggaran konstitusi. Maka, sudah sewajarnya kita melihat putusan ini bukan hanya dengan kacamata hukum, tetapi juga dari sisi etika demokrasi dan kepentingan publik jangka panjang.

Masalah Konstitusional dan Kekuasaan yang Tumpang Tindih

Pertama, dari sudut pandang konstitusional, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Ketentuan ini telah menjadi dasar untuk menyelenggarakan pemilu secara serentak sejak 2019. Putusan MK sebelumnya, No. 14/PUU-XI/2013, bahkan secara eksplisit memerintahkan agar pemilu diselenggarakan serentak agar selaras dengan prinsip presidensialisme dan penguatan sistem pemerintahan.

Dengan putusan baru ini, MK justru membuat tafsir baru yang bertolak belakang dari preseden yang mereka ciptakan sendiri. Mereka menyebut bahwa pemilu serentak telah menimbulkan kelelahan sistemik dan membahayakan kualitas demokrasi. Padahal, alasan tersebut adalah ranah evaluasi administratif, bukan konstitusional. MK seakan bertindak bukan sebagai pengawal konstitusi, tetapi sebagai perancang sistem politik. Ini jelas menimbulkan tanda tanya besar: apakah Mahkamah telah melampaui kewenangannya dan masuk ke wilayah pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah)?

Bahaya Perpanjangan Jabatan dan Manipulasi Waktu

Salah satu konsekuensi langsung dari pemisahan pemilu ini adalah kemungkinan diperpanjangnya masa jabatan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota hingga waktu pemilu lokal baru. Dengan kata lain, mereka akan tetap menjabat tanpa mandat baru dari rakyat. Ini adalah bentuk pembiaran kekuasaan tanpa legitimasi elektoral, yang justru berbahaya bagi demokrasi.

Bagaimana bisa sebuah lembaga hukum tertinggi membiarkan terjadinya "masa jabatan tanpa pemilu", hanya karena masalah teknis dan administrasi? Dalam demokrasi, jabatan politik harus selalu dilandasi mandat rakyat melalui pemilu. Ketika ini dikesampingkan, bahkan dibenarkan secara hukum oleh MK, maka kita sedang membuka ruang bagi logika kekuasaan yang tidak demokratis.

Krisis Etika dan Kecurigaan Politisasi MK

Masalah lain yang tidak bisa diabaikan adalah krisis etika yang terus membayangi Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, MK telah dicederai oleh skandal etik dalam putusan No. 90/PUU-XXI/2023, yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai wakil presiden meski belum berusia 40 tahun. Dalam kasus itu, Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang juga paman dari Gibran, dijatuhi sanksi berat oleh Majelis Kehormatan MK karena konflik kepentingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun