Mohon tunggu...
Dhani Irwanto
Dhani Irwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Buku

Dhani Irwanto adalah seorang insinyur teknik sipil hidro dan lebih dikenal sebagai perencana dan ahli dalam hidrologi, bangunan air, bendungan dan tenaga air, profesi yang melibatkan antar-disiplin yang telah dijalani selama lebih dari tiga dekade. Terlepas dari kehidupan profesionalnya, ia juga seorang peneliti sejarah bangsa-bangsa dan peradaban, didorong oleh lingkungan, kehidupan sosial, budaya dan tradisi di wilayah tempat ia dibesarkan. Kehadirannya yang kuat di internet telah membuatnya terkenal karena gagasannya tentang pra-sejarah dan peradaban kuno. Dhani Irwanto adalah penulis buku "Atlantis: The Lost City is in Java Sea" (2015), "Atlantis: Kota yang Hilang Ada di Laut Jawa" (2016), "Sundaland: Tracing the Cradle of Civilizations" (2019), "Land of Punt: In Search of the Divine Land of the Egyptians" (2019) dan "Taprobana: Classical Knowledge of an Island in the Opposite-Earth (2019)". Dhani Irwanto lahir di Yogyakarta, Indonesia pada tahun 1962. Saat ini ia adalah pemilik dan direktur sebuah perusahaan konsultan yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tanah Punt adalah Sumatera

29 Oktober 2019   19:35 Diperbarui: 18 April 2021   01:10 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 1771, seorang Inggris Charles Miller mengunjungi Enggano. Pengalamannya diterbitkan pada tahun 1778, dan diterjemahkan kedalam bahasa Belanda pada tahun 1779. Miller berhasil mendarat dan bertemu penduduk asli. Ia menggambarkannya sebagai berikut. 

"Dengan susah payah dan bahaya kami menjelajahi seluruh sisi baratdaya, tanpa menemukan tempat dimana kami bisa mencoba untuk mendarat; dan kami kehilangan dua jangkar dan kapal telah hampir karam sebelum kami menemukan tempat yang aman dimana kami mungkin bisa menjalankan kapal. Namun, akhirnya kami menemukan tempat berlabuh yang luas di ujung tenggara pulau dan saya langsung pergi dengan perahu, dan memerintahkan kapal untuk mengikuti saya secepat mungkin, karena tempatnya sepi sekali. Kami mendayung langsung ke teluk ini; dan segera setelah kami mencari tempat di pulau ini untuk berlabuh, kami mendapati bahwa di sepanjang pantai telah ada orang-orang tanpa busana yang semuanya bersenjatakan tombak dan pemukul; dan duabelas perahu yang semuanya penuh dengan orang-orang itu, yang sebelum kami melewati, mereka bertiarap sembunyi, kemudian segera bergegas mendekati saya, dengan suara-suara yang mengerikan: yang ini, anda mungkin mengira, sangat khawatir tentang kami; dan karena saya hanya punya seorang Eropa dan empat tentara orang hitam, selain empat orang pelaut India yang mendayung perahu. Saya berpikir bahwa yang terbaik adalah berbalik, jika memungkinkan dengan todongan senjata dari kapal sebelum saya memberanikan diri untuk berbicara dengan mereka." 

Akhirnya, ia menemui "orang-orang liar yang mulia" itu dan belajar sesuatu dari budaya mereka yang alamiah, feminis, ateis dan saling memiliki. 

"Mereka bertubuh tinggi dan berpostur baik; prianya pada umumnya sekitar lima kaki dan delapan atau sepuluh inci [173 – 178 sentimeter] tingginya; wanitanya lebih pendek dan tubuhnya lebih bungkuk. Mereka berwarna kemerahan, dan berambut hitam lurus, yang laki-laki dipotong pendek, tapi yang wanita membiarkannya tumbuh panjang, dan menggulungnya dalam lingkaran diatas kepala mereka dengan sangat rapi. Laki-lakinya sepenuhnya telanjang, dan wanitanya mengenakan tidak lebih dari sehelai daun pisang yang sangat sempit. Mereka tampaknya mengamati segala sesuatu tentang kapal dengan penuh perhatian; tetapi lebih ke motif pencurian daripada rasa ingin tahu, setelah mereka memperoleh kesempatan kemudian sebuah kemudi perahu dilepasnya, dan mendayung membawanya pergi." 

R Francis, seorang pedagang minyak kelapa, pernah tinggal di Pulau Enggano pada 1865 – 1866 dan 1868 – 1870. Ia telah sangat dikesan dan selalu diingat oleh orang-orang Enggano, karena mereka masih membicarakannya pada tahun 1930-an pada waktu ahli bahasa Jerman, Hans Kahler mengunjungi pulau tersebut. Seorang penjelajah Itali, Elio Modigliani telah mengunjungi Pulau Enggano antara tanggal 25 April dan 13 Juli 1891. Ia menggambarkan secara terinci bahwa rupanya dalam budaya masyarakat Enggano peran perempuan adalah lebih dominan, yang ditulis dalam L'Isola delle Donne ("Pulau Perempuan"), pertama kali diterbitkan pada tahun 1894, dan masih menjadi sumber informasi yang penting sampai sekarang, bukan hanya karena tulisannya saja, tetapi juga ilustrasi-ilustrasinya. Pada tahun 1994, ilustrasi-ilustrasi tersebut disambut dengan meriah di Enggano. Ketika Modigliani berada di Enggano, beberapa desa masih berada di perbukitan. Tidak lama sesudahnya, masyarakat Enggano sebagian besar pindah ke daerah pesisir. Bahkan, pada abad ke-19, seorang pedagang Bugis dari Sulawesi,  Boewang tampaknya telah tertarik dengan Enggano karena sejumlah besar kelapanya. Rijksmuseum di Belanda memiliki koleksi penting tentang artefak Enggano dan telah dipublikasikan oleh Pieter J ter Keurs beserta reproduksi ilustrasi-ilustrasi Modigliani. 

Populasinya menurun tajam pada tahun 1870-an, mungkin karena wabah penyakit atau bencana lainnya. Jumlah penduduknya turun dari 6.420 pada tahun 1866 menjadi hanya 870 pada tahun 1884 dan setelah penurunan drastis ini populasinya terus menurun lebih jauh lagi (Suzuki, 1958; Winkler, 1903; Keurs, 2011). Belanda mengirim petugas medis untuk menyelidikinya. Karena titik tertinggi pulau ini hanya 281 meter diatas permukaan laut, penurunan populasinya kemungkinan sangat dipengaruhi oleh tsunami yang diakibatkan oleh letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, ataupun oleh jatuhan material letusan gunung tersebut. Penduduk aslinya tidak pernah kembali ke jumlah semula dan hanya berjumlah sekitar 400-an jiwa pada awal 1960-an. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menggunakan pulau tersebut untuk merehabilitasi para penjahat muda dari Jawa, yang diberlakukan kerja paksa untuk membersihkan semak dan membangun sawah. Dengan demikian, penduduknya telah sedikit pulih semenjak saat itu. 


Di Pulau Enggano saat ini terdapat 5 sub-suku: Kauno, Kaitora, Karubi, Kaohao dan Karaba. Pembagian sub-suku ini tampaknya bervariasi (Keurs, 2011). Beberapa sub-suku, walaupun begitu, sekarang ini sudah tidak ada. Hal ini disebabkan oleh migrasi ke pulau-pulau lain dan pernikahan dengan yang bukan dari suku Enggano, sehingga membuat sub-suku yang bersangkutan menjadi tidak aktif atau hilang. Terutama apabila seorang perempuan dari suku Enggano yang matrilineal menikah dengan pria bukan dari suku Enggano yang biasanya patrilineal, sub-suku tersebut kehilangan kesempatan untuk berkelanjutan; karena anak-anak biasanya ikut keluarga pria. 

Pulau Enggano mengandung teka-teki yang besar perihal linguistik dan sejarahnya. Penduduknya dikatakan penutur Austronesia, namun kosakata mereka hanya sedikit yang menunjukkan kekerabatan dengan kosakata Austronesia (Blench, 2014). Mereka tidak membuat kain, tidak menanam bahan makan, tetapi hanya memanfaatkan tanaman yang ada, tinggal di rumah-rumah panggung berbentuk bundar, dan hampir tidak seperti orang-orang di daerah tetangganya. Terdapat banyak literatur yang ditulis oleh para pengunjung awal dalam bahasa Belanda yang dikutip dalam daftar pustaka, tetapi sedikit yang menyebutkan tentang etnografi mereka kecuali Modigliani (1893, 1894). 

Sekitar pergantian abad ke-20, ketika para misionaris memulai mengkonversi penduduknya, sistem perumahan dan organisasi sosial sebelum itu telah banyak berubah dan saat ini sulit untuk merekonstruksi kondisi aslinya. Dalam beberapa tahun terakhir, Keurs (2006, 2008, 2011) telah menjadi etnografer utama yang berminat perihal masalah ini dan dalam publikasi internetnya (Keurs, tanpa tahun) terdapat ringkasan yang diambil dari literatur, foto-foto benda-benda peninggalan budaya di museum Eropa dan daftar pustaka yang penting. 




Suku Rejang

Suku Rejang adalah sebuah kelompok suku yang tinggal terutama di pantai baratdaya pulau Sumatera, di lereng pegunungan yang sejuk di Pegunungan Barisan, di provinsi Bengkulu. Masyarakat suku Rejang secara umum terdapat di Kabupaten Rejang Lebong (Kecamatan Lebong Utara, Lebong Selatan, Curup dan Kepahiang), di Kabupaten Bengkulu Utara (Kecamatan Tabapenanjung, Pondokkelapa, Kerkap, Argamakmur dan Lais), di Kabupaten Kepahiang, di Kabupaten Lebong dan di Kabupaten Bengkulu Tengah. Sebagian dari mereka tinggal di sepanjang lereng pegunungan Bukit Barisan. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun