Mohon tunggu...
Dhani Irwanto
Dhani Irwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Buku

Dhani Irwanto adalah seorang insinyur teknik sipil hidro dan lebih dikenal sebagai perencana dan ahli dalam hidrologi, bangunan air, bendungan dan tenaga air, profesi yang melibatkan antar-disiplin yang telah dijalani selama lebih dari tiga dekade. Terlepas dari kehidupan profesionalnya, ia juga seorang peneliti sejarah bangsa-bangsa dan peradaban, didorong oleh lingkungan, kehidupan sosial, budaya dan tradisi di wilayah tempat ia dibesarkan. Kehadirannya yang kuat di internet telah membuatnya terkenal karena gagasannya tentang pra-sejarah dan peradaban kuno. Dhani Irwanto adalah penulis buku "Atlantis: The Lost City is in Java Sea" (2015), "Atlantis: Kota yang Hilang Ada di Laut Jawa" (2016), "Sundaland: Tracing the Cradle of Civilizations" (2019), "Land of Punt: In Search of the Divine Land of the Egyptians" (2019) dan "Taprobana: Classical Knowledge of an Island in the Opposite-Earth (2019)". Dhani Irwanto lahir di Yogyakarta, Indonesia pada tahun 1962. Saat ini ia adalah pemilik dan direktur sebuah perusahaan konsultan yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tanah Punt adalah Sumatera

29 Oktober 2019   19:35 Diperbarui: 18 April 2021   01:10 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pulau Sumatera adalah sebuah pulau di Indonesia bagian barat, pulau terbesar yang seluruhnya berada didalam wilayah negara Indonesia (dua pulau besar lainnya, Kalimantan dan Papua, terbagi antara Indonesia dan negara-negara lain) dan pulau terbesar keenam di dunia. Bagian barat, baratlaut dan baratdayanya berbatasan dengan Samudera Hindia, dan di lepas pantai baratdayanya terdapat sederetan "Kepulauan Halang" yaitu Simeulue, Nias, Mentawai, Pagai dan Enggano. Di sebelah timurlaut berbatasan dengan Selat Malaka yang memisahkannya dengan Semenanjung Malaya. Di sebelah tenggara berbatasan dengan Selat Sunda yang memisahkannya dengan Pulau Jawa. Ujung utaranya berbatasan dengan Kepulauan Andaman, sementara di sebelah timurnya terdapat Kepulauan Bangka-Belitung, Selat Karimata dan Laut Jawa. 

Sumatera pada zaman dahulu dikenal dalam bahasa Sansekerta dengan Swarnadwipa ("Pulau Emas") dan Swarnabhumi ("Tanah Emas"), karena terkenal dengan penambangan emasnya di dataran tingginya. Geografer Arab menyebut pulau ini dengan Lamri (Lamuri, Lambri atau Ramni) pada abad ke-10 sampai ke-13, mengacu pada sebuah kerajaan didekat Banda Aceh sekarang yang merupakan tempat pendaratan pertama para pedagang Arab. Mulai akhir abad ke-14, nama Sumatera (penyebutan orang Barat untuk "Samudera") lebih dikenal, merujuk kepada Kerajaan Samudera Pasai yang berkuasa pada waktu itu sebelum digantikan oleh Kesultanan Aceh. 

Odoric dari Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa ia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, dan sampai ke Kerajaan Sumoltra. Ibnu Battutah menuliskan dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq ("Berkelana ke Timur") bahwa pada tahun 1345 ia singgah di Kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama Samudera, sebuah kerajaan di Aceh, digunakan oleh para pengunjung untuk memberi nama seluruh pulau. 

Para pengunjung lain termasuk Ibnu Majid, Roteiro, Amerigo Vespucci, Masser, Ruy d'Araujo, Alfonso Albuquerque dan Antonio Pigafetta mencatat nama-nama: Samatrah, Camatarra, Samatara, Samatra, Camatra, Camatora, Somatra, Samoterra, Samotra, Sumotra, Zamatra dan Zamatora. Catatan kolonial Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake pada abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra (Sumatera dalam bahasa Indonesia). 

Sumatera adalah cikal-bakalnya peradaban Melayu. Sebuah nama Bhumi Malayu tertulis pada Prasasti Padang Roco bertahun 1286 dan 1347 M ditemukan di Dharmasraya dimana Adityawarman menyatakan dirinya sebagai penguasa Malayapura. Catatan Majapahit, Nagarakretagama bertahun 1365 M, menyebutkan bahwa Tanah Melayu dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Dari catatan ini, nama Malayu tampaknya dikenal sebagai daerah di sekitar lembah Batanghari dari muara ke pedalaman, yang berada di bagian timur Pulau Sumatera. Orang-orang yang mendiami pantai timur Sumatera dan sebagian Semenanjung Malaya mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Melayu dengan bahasanya yang umum disebut bahasa Melayu. Setelah kedatangan orang Eropa pada abad ke-16, mereka mengidentifikasikan orang-orang pribumi yang hidup di kedua pantai Selat Malaka tersebut sebagai orang Melayu. Sebutan ini kemudian diterapkan juga untuk orang-orang di wilayah lainnya yang memiliki ciri-ciri yang sama. 

Karena budaya di Pulau Sumatera saat ini telah banyak terpengaruhi oleh budaya-budaya lain, penulis melacak kembali budaya kuno pulau tersebut dengan memfokuskan pada suku-suku terpencil di lepas pantai baratdaya Sumatera serta suku-suku terpencil di daratan Pulau Sumatera. Deretan pulau-pulau Andaman, Nicobar, Simeulue, Nias, Mentawai, Pagai dan Enggano yang menghadap ke Samudera Hindia adalah pulau-pulau yang sedikit banyak masih terisolasi. Penduduk pulau-pulau ini memiliki budaya yang hampir sama tetapi Pulau Enggano adalah yang paling terisolasi dan belum berkembang. Selain itu, terdapat cukup banyak literatur yang ditulis oleh para pengunjung Pulau Enggano semenjak tahun 1596. 


Gambar 16. Pulau Sumatera 

Suku Enggano

Pulau Enggano adalah sebuah pulau kecil yang terletak sekitar 100 km di lepas pantai baratdaya Sumatera. Di pulau tersebut saat ini terdapat enam desa, yang semuanya terletak di sekitar satu-satunya jalan utama yang melintasi pantai timurlaut pulau itu: Kahayapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok dan Banjarsari. Desa-desa Malakoni, Apoho dan Meok lebih banyak penduduk pribuminya, sedangkan desa-desa lainnya lebih banyak pendatangnya. Penyeberangan feri telah menghubungkan desa-desa Kahayapu dan Malakoni dengan kota Bengkulu. 

Gambar 17. Pulau Enggano 

Nama pulau ini diduga berasal dari kontak awal dengan para pedagang Portugis (engano dalam bahasa Portugis berarti "kesalahan"). Referensi paling awal tentang pulau ini adalah oleh Cornelis de Houtman. Pada 5 Juni 1596, empat kapal dibawah komando Cornelis de Houtman mendekati pulau ini. Meskipun beberapa awak kapal mencoba masuk ke darat untuk mendapatkan bahan segar, tetapi mereka kembali lagi ke kapal setelah melihat beberapa penduduk asli yang muncul dan sangat agresif. Pada tahun 1602, 1614, 1622 dan 1629 kapal-kapal Belanda lainnya datang ke Enggano dan kadang-kadang berhasil memperdagangkan beberapa barang. Namun, secara umum penduduk cenderung tidak suka melakukan kontak dengan pengunjung. 

Pada tahun 1645, pemerintah kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) mengirim dua kapal untuk mendapatkan budak dari Enggano. Dalam suatu pertempuran sengit dua tentara Belanda tewas, namun para prajurit lainnya berhasil menangkap 82 orang penduduk Enggano. Dalam perjalanan kembali ke Batavia, enam orang diantaranya meninggal. Nasib tawanan lainnya tidak diketahui. Sangat mungkin bahwa mereka tidak pernah kembali ke Enggano, dan meninggal sebagai budak di Batavia. Ekspedisi ini tidak dianggap sukses, sehingga untuk waktu yang lama Belanda kehilangan minat mereka di Enggano. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun