"Umm..enggak nek," Anna masih setengah menerawang, tak yakin dengan jawabannya. Ia merasa tidak nyaman namun tetap berusaha menjaga sikap. Si nenek kian dalam memperhatikannya, Â melanjutkan pembicaraan.
"Kau tau nak. Kau sangat cantik." kata si Nenek.
"Makasih, Nek," Anna menampilkan senyum yang sangat manis.
"Senyummu sangat manis," lanjut nenek. "Tapi kau tau itu tidak ada gunanya."
"Aa.." Senyumnya sedikit meredup. Matanya bergerak-gerak, ia mencoba mencari kata-kata tapi kemudian ia putuskan untuk tidak berbicara.
"Anakku...meski kau tersenyum dengan sangat manis untuk memberikan kesan bahagia pada orang lain, tetap saja kau tak bisa membohongi dirimu sendiri." Anna tertegun. Nenek menatapnya dengan lembut. Garis-garis kebijaksanaan di sekitar matanya terukir oleh kehidupan yang panjang dan berliku. Kemudian si nenek melangkah mendekat memegang pundak Anna, "Bahkan mataku yang rabun ini dapat melihat lubang yang besar di hatimu."
Kali ini Anna tak dapat menahan ekspresinya. Senyum yang ia buat telah sepenuhnya hilang. Ada getaran hebat di dadanya. Ia berbalik badan, pergi.
"Jangan lari dari rasa takut, anakku. Jika kau lari, ketakutan itu akan mengejarmu," sambil mengelus kepala cucunya yang masih memilih-milih gitar, si Nenek berkata.
      "Kembalilah...Hanya dengan begitu kau akan bahagia."
Rasanya Anna ingin berhenti dan berbalik. Tapi, tidak! Ia telah memutuskan untuk tetap berjalan ke depan dan tak pernah lagi menoleh ke belakang.
***