Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tempat untuk Kembali

3 Juli 2021   10:00 Diperbarui: 3 Juli 2021   10:06 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anna masih terbaring gelisah di ranjangnya. Bola matanya tampak bergerak-gerak di dalam kelopaknya. Mimpi itu datang lagi. Setiap kata-kata yang keluar dari orang di dalam mimpinya tak mampu diredam hujan yang deras. Masih sangat jelas, suara orang itu membuat hatinya berontak. 

"Anna. Hentikan! Aku tak suka melihat orang yang membohongi dirinya sendiri!"

Mata Anna refleks terbuka. Peluh mengalir di wajahnya. Dadanya sesak seolah-olah ada rantai yang dililitkan di tubuhnya yang dingin. Anna berusaha menahannya dengan nafas berat. Ia masih ingat. Seluruh tubuh orang itu yang kuyup diguyur hujan dari rambut panjangnya hingga kaos oblong tosca dan band biru tua di pergelangan tangan kanannya. Mata orang itu sendu namun cukup tajam untuk menghujam jantungnya.

Anna beranjak dari tempat tidur lalu membuka jendela kamarnya. Hari masih gelap. Ia memejamkan mata sambil menarik nafas dalam-dalam. Satu kali, dua kali, tiga kali. Mengisi paru-parunya dengan udara dingin. Kemudian ditutupnya kembali jendela itu.

Udara dingin mengisi paru-parunya, mengalir ke saraf-saraf otaknya dan menetralkan pikirannya dari bayang-bayang itu. Ia tak perlu menoleh ke kiri atas, ke arah jam dinding yang berada di atas rak bukunya. Ia menyadari ini belum lagi subuh dan tak bisa melanjutkan tidurnya lagi.

Seperti biasa, ia menghampiri kamar pakaiannya. Ada sesuatu di sudut sana, tertutup oleh kain tosca tua tebal. Ia tak pernah membukanya, namun ia tahu betul apa yang ada di balik kain tersebut. Sebuah gitar klasik akustik murahan. Matanya berkaca-kaca menahan pedih dalam dadanya. Seharusnya benda itu sudah dibuangnya 10 tahun lalu. Seharusnya. Ia segera menepis perasaannya dan beranjak dari sana.

***

"Mau beli gitar juga, Nak?" ia berada di sebuah pamaren alat musik, di Mall, ketika seorang nenek bertanya padanya.

"Hah...enggak Nek." Ia kaget, namun mampu merubah wajah terkejutnya menjadi sebuah senyuman hangat. Ia melihat si nenek yang ternyata bersama seorang anak lak-laki 6 atau 7 tahun, pikir Anna.

"Cucu nenek mau belajar gitar. Dari umur 3 tahun sudah kelihatan minatnya di bidang musik." Anna tidak begitu memperhatikan kata-kata si nenek. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya di sana.

"Kamu main gitar juga?" tanya si nenek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun