Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tempat untuk Kembali

3 Juli 2021   10:00 Diperbarui: 3 Juli 2021   10:06 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di depan cermin yang buram  Anna menatap sepasang mata yang sedang menatapnya.

"Sebenarnya siapa aku ini?" ia membathin. Menghapus embun di cermin, berusaha melihat lebih jelas dirinya sendiri. "Tak seorangpun tau siapa aku. Bahkan aku..."

"... kau tak bisa membohongi dirimu sendiri." wajah nenek yang ditemuinya tempo hari berkelebat di cermin. Rahangnya seketika menegang dan tatapan kosongnya berubah nanar. "Bahkan mataku yang rabun ini dapat melihat lubang yang besar di hatimu." Si nenek masih tersenyum lembut di dalam cermin. Lubang itu, ia pun bisa melihatnya. Ia berusaha keras tidak melihatnya, tapi gambaran itu semakin jelas. Silih berganti seperti video yang di fast-backward kemudian fast-forward kembali. "Jangan lari dari rasa takut, anakku. Jika kau lari, ketakutan itu akan mengejarmu."

"..aku tak suka melihat orang yang membohongi dirinya sendiri!" Suara orang yang selalu datang dalam mimpinya menggema, memantul dari dinding-dinding lembab ruangan itu. Rasa dingin kembali menghujam perutnya. Ia ingin mengeluarkan isi perutnya tapi tidak bisa. Mungkin karena ada sesuatu yang menahan atau mungkin karena tak ada yang dapat ia keluarkan. Sesuatu di kepalanya mengerang hebat, memohon kepada Tuhan untuk melepaskannya dari penderitaan. Air matanya mengucur deras. Tangannya mengepal di atas dadanya, menahan rasa sakit di sana.

"Aku memang pembohong, Han. Kau pantas membenciku." Anna menghabiskan malam itu merangkul dirinya sendiri di lantai yang basah dan dingin.

***

Bermil-mil dari tempat dingin itu, Han sedang memandang ke arah pemandangan salju dari jendela apartemennya. Desember memang selalu dingin di situ. Sama dinginnya dengan yang ia rasakan di dalam hatinya, dalam kesendirian. Ia yang selalu menyukai kesendirian sambil menulis syair-syair dan menggubah lagu-lagu. Ia selalu menemukan kedamaian dan jati dirinya dengan hanya mendengarkan suara hatinya. Kapan tepatnya ia membenci kesendirian itu? Kapan tepatnya kesendirian itu berubah menjadi bayang-bayang yang membelenggu dan menenggelamkannya dalam lubang besar dalam hatinya? Kapan tepatnya ia mulai meragukan kata hatinya? Ia yang selalu penuh keyakinan telah menyerah pada takdir. Tapi benarkah? Benarkah ia menyerah. Tidak ada manusia yang mampu membohongi hatinya sendiri, bukan? Bahkan dirinya sendiri meyakini itu karena kenyataannya ia tetap sendiri. Ya, ia membenci kesendirian, namun ia tetap membiarkan dirinya dalam kesendiriannya. Pikirannya hanya miliknya sendiri, perasaannya hanya miliknya sendiri. Ia telah menciptakan berpuluh-puluh simfoni yang dinikmati banyak orang. Untuk siapa karya-karya itu dibuat?

Ia menatap sebuah tiket penerbangan di tangan kirinya. Sekali lagi ia ingin mempercayai hatinya. Tidak, sebenarnya hatinyalah yang terus memaksa untuk tetap percaya. Ia harus kembali.

Ia meletakkan tiket tersebut di atas meja di sebelah kirinya, tanpa berpindah posisi. Salju putih masih terhampar di hadapannya. Warna putih itu menyilaukan, memantulkan cahaya matahari. Ia melepaskan kacamatanya dan mengusap wajahnya dengan telapak tangan kirinya, mencoba menghapus bayang-bayang di sana. Namun, sekali lagi, tak ada manusia yang mampu membohongi dirinya sendiri. Di dalam lubuk hatinya, ia sepenuhnya mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan itu. Hanya ada satu jawaban, Anna.

***

Anna menginjakkan kakinya kembali di kota itu. Ia duduk di bangku panjang di sebuah taman, tempat dimana seorang musisi miskin yang bercita-cita go international pernah mengajarinya teknik bermain gitar. Ia memandang ke sekeliling taman. Sudah banyak berubah, pikirnya. Tentu lah banyak perubahan. 10 tahun berlalu sejak ia pergi, lari dari perasaannya sendiri. Dirinya saat ini sendiri juga sudah banyak berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun