Mohon tunggu...
Devina Karsten S
Devina Karsten S Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2019

Just keep typing...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kehidupan Organisasi Tak Seindah Ekspektasi?

3 Desember 2020   18:53 Diperbarui: 3 Desember 2020   19:02 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memiliki relasi antar manusia pasti terdapat konflik yang berhubungan. Sebuah hubungan merupakan ikatan antara dua atau lebih manusia yang dimana setiap mereka memiliki hak dan tanggung jawabnya dan pastinya pihak lain akan memiliki ekspektasi dalam setiap hubungan yang dijalin. Hubungan-hubungan yang dimaksud, bisa terjadi dalam hubungan pertemanan, hubungan asmara, hubungan organisasi, hingga hubungan pernikahan yang dimana di dalam setiap hubungan memiliki struktur dan konflik yan berbeda. 

Psikologis mengatakan bahwa, relasi dan proses psikologi yang terjadi dalam hubungan antar budaya, seperti keadaan emosional, lebih bisa terlihat. Seperti contoh dalam hubungan orang tua dengan anak, bagaimana seorang anak mempelajari bahasa ketika anak tersebut mendengar bahasa yang digunakan oleh orang tuanya.

Hubungan dalam relasi yang terjalin antar budaya juga membawa beragam perbedaan dan pengalaman yang berbeda-beda. Menurut Dogan Romano (dalam Baldwin, dkk., 2014, h. 271), seorang psikologis lintas budaya, memberikan contoh hubungan yang spesifik antara manusia di berbagai nilai budaya, makanan dan minuman, perilaku secara seks, etnosentrisme dan lainnya, salah satunya adalah nilai budaya. Jika seorang manusia dengan kebudayaan kolektivis akan lebih merasa bertanggungjawab dalam perihal waktu dan kebutuhan keuangan untuk kepentingan keluarganya. 

Sebagai contoh warga dari Kanada yang berasal dari Filipina memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa keponakan-keponakannya mendapat edukasi yang baik. Perbedaan komitmen dalam sebuah hubungan bisa memiliki dampak terhadap pihak lain yang bersangkutan. 

Setiap orang dalam hubungannya memiliki kepentingannya masing-masing, dalam hubungan berkeluarga pastinya akan lebih mementingkan hubungan dalam keluarganya sedangkan dalam kehidupan pernikahan, keluarga dari pihak yang bersangkutan dapat mencoba untuk mempengaruhi hubungan tersebut ke arah yang tidak diinginkan.

Pastinya, dalam sebuah hubungan juga memiliki ekspektasi terhadap orang lain dalam hubungan tersebut. Sebagai contoh, dalam hubungan persahabatan, terdapat aturan dan harapan pada hubungan persahabatan, ketika kita mengartikan sebuah kata “teman” bisa saja arti persahabatan dalam budaya lain berbeda, maka aturan dan harapan yang ada dalam sebuah hubungan antar hubungan. 

Seperti dalam penelitian terhadap pelajar AS, antara Amerika Latin, Afrika, dan kulit putih yang di mana ditemukan bahwa orang Latin melihat seorang teman sebagai seseorang yang terbuka secara emosional, orang kulit putih melihat seorang teman sebagai seseorang yang dapat “menjadi diri sendiri”, dan orang Afrika sebagai seseorang yang juga akan berada di sana untuk membantu mengatasi konflik dalam kehidupannya. (Baldwin, dkk., 2014, h. 273). Perbedaan ini bisa menimbulkan adanya konflik jika setiap orang yang memiliki pandangan dan budaya yang berbeda.

Begitu pula dalam kehidupan berorganisasi, terdapat banyak pikiran dan pandangan yang masuk ke dalam suatu organisasi tertentu, maka akan timbul adanya konflik internal. Apalagi ketika sebuah organisasi terdiri dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda, maka akan menimbulkan pengetahuan yang berbeda terhadap persepsi akan suatu komunikasi dalam organisasi. 

Berikut beberapa tips yang bisa kita aplikasikan ketika kita menghadapi konflik yang terjadi dalam organisasi terkait hubungan antar budaya.

1. Membangun kesadaran diri akan perbedaan budaya yang terlibat

Sumber: via EKRUT
Sumber: via EKRUT

Kesadaran diri seseorang diperlukan dalam pengenalan budaya asing atau budaya baru yang ada. Seseorang yang tidak memiliki kesadaran akan adanya budaya baru, maka akan terjadinya sebuah mispersepsi, miskomunikasi, dan misinformasi yang menyebabkan sebuah konflik. Konflik terjadi ketika adanya ketidakcocokan atau tidak adanya chemistry antar dua atau lebih pihak. 

Jika tidak ditemukan kesadaran diri pada seseorang dalam memahami budaya dan membangun chemistry yang baik, maka akan timbul konflik. Konflik juga bisa menghambat kinerja anggota dalam mencapai tujuan bersama organisasi, maka dari itu diperlukan kesadaran diri yang baik di dalam setiap diri manusia. 

Sebagai contoh, organisasi di dalam sekolah, yaitu OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Dalam OSIS pasti terdapat banyak siswa yang menjadi anggota dengan adanya latar belakang budaya dan kepercayaan yang berbeda. 

Ketika masing-masing individu tidak menyadari hal tersebut, bisa saja kinerja setiap anggota akan terhambat karena munculnya konflik internal yang terjadi antar salah dua anggota atau lebih. Maka dari itu, bisa dilakukan proses orientasi pada anggota OSIS dalam rangka memperkenalkan diri mereka agar setiap anggota OSIS dapat mengenal satu sama lain dan membangun chemistry dalam bekerja untuk mencapai tujuan bersama OSIS.

2. Berkolaborasi atau berintegrasi dalam menyelesaikan konflik internal

Sumber: via Liputan6.com
Sumber: via Liputan6.com

Berkolaborasi di sini menunjukkan sebuah situasi di mana pihak-pihak yang terlibat konflik lebih mengutamakan win-win solution. Manajemen konflik ini, mendorong pihak yang merasa tidak puas dalam konflik ini, bekerja sama dalam mendapatkan solusi yang terbaik dan saling menguntungkan satu dengan yang lain.

Dalam kehidupan organisasi, skill menemukan solusi dalam sebuah organisasi juga menjadi salah satu kunci keberhasilan organisasi. Permasalahan dalam organisasi terus bermunculan, entah konflik internal ataupun eksternal. 

Penyelesaian dengan cara kolaborasi merupakan cara yang terbaik yang bisa diaplikasikan ke dalam sebuah organisasi. Dengan cara ini, anggota organisasi akan secara tidak langsung mendiskusikan terkait solusi yang tepat akan suatu masalah dan berharap tidak ada pihak yang dirugikan.

3. Mengakomodasi suatu konflik

Sumber: via EKRUT
Sumber: via EKRUT

Jika suatu konflik dalam sebuah organisasi sudah sangat besar dan terlihat dalam situasi yang semakin memanas. Manajemen konflik ini bisa dilakukan dengan cara menyerahkan tuntutan kepada pihak lain. 

Misalnya terjadi sebuah perbedaan pendapat dalam suatu organisasi dan dapat menimbulkan konflik, maka dapat diserahkan kepada pihak lain yang bersangkutan dalam organisasi tersebut. Dan biasanya pihak tersebut akan menjadi jalan keluar atau pendapat yang bisa dijadikan solusi dalam konflik tersebut. 

Bisa juga berupa sebuah masukan yang bisa menjadi pandangan atau pencerahan kepada setiap anggota organisasi. Keberadaan setiap anggota juga sangat menentukan bagaimana solusi dalam ditemukan untuk memecahkan suatu konflik dalam organisasi.

Sekian tips yang bisa saya bagikan kepada teman-teman organisasi sekalian. Kehidupan berorganisasi memang pada kenyataannya selalu terjadi konflik, entah internal maupun eksternal. 

Namun, perlu diketahui bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Fokuskan diri pada masalah dan temukan solusinya dengan kepala dingin, dan tak lupa juga memahami perbedaan budaya yang menjadi salah satu sumbu konflik dalam sebuah organisasi. Aplikasikan tips ini ke dalam organisasi Anda!

Daftar Pustaka:
Baldwin, J. R., Coleman, R. R. M., Gonzὰles, A., & Packer, S. S. (2014). Intercultural Communication for Everyday Life. UK: Willey Blackwell.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun