Mohon tunggu...
carolina destika
carolina destika Mohon Tunggu... Lainnya - menulis sepanjang hari

komitmen untuk senantiasa memperbaiki diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Separuh Jiwa Yang Telah Pergi

9 Desember 2021   17:42 Diperbarui: 9 Desember 2021   17:47 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suamiku baru saja meninggal  tiga hari yang lalu di sebuah rumah sakit. Entah kenapa pagi itu tiba-tiba aku ingin datang ke rumah sakit itu.  Meski hujan rintik-rintik aku mengeluarkan motor matic dan mulai melaju.  Aku mengenakan baju terakhir yang kupakai ketika pergi bersamanya sebelum ia sakit.

Gamis ungu dengan motif bunga berwarna merah dipadu dengan  jilbab polos segi empat  berwarna putih tulang. Karena hujan tidak terlalu deras, aku hanya mengenakan jaket tipis yang panjangnya sampai kebetis.

Sesampai di rumah sakit, aku menuju sebuah kursi panjang yang biasa dipakai untuk duduk para pasien rawat inap melepas kejenuhan. Biasanya saat akhir masa pemulihan ketika hampir mendekati diperbolehkan pulang.

Kursi itu berada di sebuah taman bunga, terletak di tengah rumah sakit.  Terdapat saung yang terbuat dari kayu, di bagian pinggir diletakkan sarang burung yang sangat besar, hampir setinggi saung. Terdapat banyak burung yang beterbangan. Burung dalam sangkar itu dapat terbang menggerakkan sayapnya tidak bisa bebas.

Berbagai macam tanaman sangat indah dipandang mata, hijaunya mendamaikan hati. Di taman itu tumbuh tanaman dengan dedaun aneka warna, ada juga tanaman bunga warna warni yang harum dengan kupu-kupu beterbangan disekelilingnya.  Namun seluarbiasa  indah  taman itu, tidak ada yang mau berlama-lama disitu. Selalunya bila telah dinyatakan sehat, lebih memilih segera pulang.

Tiba-tiba seseorang menghampiri dan duduk di sebelahku. Seseorang yang sangat kukenal, aroma tubuhnya dan caranya menyapaku sangat tidak asing. Ketika kutolehkan wajah, aku melihat senyumnya yang khas dengan pandangan mata lembut.  Berdebar langsung dadaku melihatnya, bahagia membuncah di dada mengalirkan rindu yang menggunung. Sejak menikah kami selalu bersama, tidak ketemu selama tiga hari saja serasa bertahun-tahun.

“Mas, darimana saja ?,  aku menunggumu disini sejak tadi,” kataku setengah berteriak sambil membelalakkan mata.

Saking bahagianya aku melompat-lompat lalu memeluknya dengan erat. Sepertinya tak ingin kulepaskan selamanya.

“Aku tak ingin kehilanganmu Mas, jangan pergi ya,” kataku mengucurkan air mata. Bahagianya seperti mendapatkan barang kesayangan yang telah hilang lalu tiba-tiba ia kembali.

Mas Ari membalas pelukan, mengelus punggungku dengan lembut  dan  melempar senyuman. Tanpa sepatah kata, ia mengajakku kearah parkiran mobil. Ia membuka pintu sebuah mobil sedan berwarna merah metallic yang belum pernah kulihat.

“Mobilnya baru ya Mas,” seruku heran.

Ketika masuk ke dalamnya aku merasa sangat nyaman, kursinya dilapisi kain beludru yang halus dan sangat empuk.  Aku belum pernah melihat interior mobil  sebagus ini sebelumnya. Suara murottal yang diputar memenuhi seantero mobil sangat mendamaikan hati.

“Bagus banget mobilnya Mas, kapan belinya ? Nanti ajak Chika naik mobil ini ya, dia pasti suka.”

Kataku antusias sambil tetap melihat dengan takjub isi mobil ini.  Anehnya Mas Ari hanya tersenyum, tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya menyahut ocehanku.

Mas Ari mengajakku berputar-putar mengelilingi kota. Suasana pagi yang gerimis membuat syahdu suasana. Aku pun menikmati perjalanan ini dengan hening, karena Mas Ari sepertinya sedang tidak ingin banyak berbicara.

Mobil ini berjalan melewati tempat-tempat yang biasa kami kunjungi bersama Chika, anak semata wayang kami. Setiap akhir pekan Mas Ari selalu mengajak jalan-jalan keluar sekedar melepas penat, setelah bekerja selama sepekan. Meski terkadang hanya sekedar makan bersama dengan menu sederhana. Bukan kemewahan yang  menjadikan istimewa,  namun kebersamaan dalam canda dan tawa diantara kita adalah sesuatu luar biasa.

Pada tempat-tempat yang meninggalkan kenangan itu Mas Ari memandangnya dalam seolah sesuatu yang berat untuk ditinggalkan. Terkadang berhenti sejenak dan melemparkan pandangan lalu melanjutkan perjalanan.

Tak terasa dua jam telah berlalu, mobil Mas Ari berjalan kea rah rumah sakit, tempat aku bertemu dengannya tadi.
‘Loh Mas, kok ke rumah sakit, ayo kita pulang ke rumah. Pasti Chika senang sekali ketemu kamu Mas. Apalagi bawa mobil baru,” kataku sambil menyentuh lengannya.

Mas Ari kembali tersenyum tanpa memberikan jawaban.  Ia tetap melajukan kendaraannya masuk ke halaman parkir rumah sakit. Setelah membukakan pintu untukku, ia mengajakku kembali ke tempat dudukku pagi tadi bangku panjang di taman rumah sakit.

Setelah aku duduk di tempat semula, ia memelukku erat. Lalu memegang kedua bahuku, menatap dua bola mataku pandangan yang sulit dilukiskan. Harus kuakui,  Mas Ari terlihat lebih segar, wajahnya putih bercahaya.  Aku menikmati pandangan mata yang tak bisa kulupakan walau sekejap.

“Dek…Mas harus berangkat segera. Mas akan pergi jauh. Kuharap ikhlaskan kepergian ini. Jaga anak kita baik-baik ya, yakinlah suatu saat kita akan bertemu kembali.”

“Tapi Mas, Chika belum lihat mobil barunya. Kita pulang dulu saja ya Mas, rengekku tak mau berpisah.”

“Tiak bisa Dek, kau harus berjanji menjadi wanita yang tegar dan kuat. Mas berangkat sekarang,” kata Mas Ari sambil meninggalkanku tanpa menoleh lagi.

Suara petir menggelegar membangunkan tidurku sore itu. Hujan deras yang turun selama tiga hari berturut-turut seolah membuatku enggan beranjak dari kamar.

Kesedihan yang luar biasa melanda, air mata selalu membanjir, serasa tubuh ini tak memiliki daya untuk melanjutkan kehidupan.

Kondisi pandemi membuat suasana duka cita sungguh terasa sangat panjang. Tak banyak yang berani datang untuk takziah, hanya satu dua orang saja yang masih punya nyali.

Mimpi di siang hari bolong tadi terasa sangat nyata, Mas Ari datang memakai jubah berwarna putih dengan wajah cerah bercahaya.

Seolah hendak menyampaikan kabar bahwa keadaanya baik, jauh lebih baik dari sebelumnya.

Pertemuan itu membangkitkan sedikit kesadaran, bahwa hidup harus dilanjutkan meski tanpa separuh jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun