Ketika masuk ke dalamnya aku merasa sangat nyaman, kursinya dilapisi kain beludru yang halus dan sangat empuk. Aku belum pernah melihat interior mobil sebagus ini sebelumnya. Suara murottal yang diputar memenuhi seantero mobil sangat mendamaikan hati.
“Bagus banget mobilnya Mas, kapan belinya ? Nanti ajak Chika naik mobil ini ya, dia pasti suka.”
Kataku antusias sambil tetap melihat dengan takjub isi mobil ini. Anehnya Mas Ari hanya tersenyum, tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya menyahut ocehanku.
Mas Ari mengajakku berputar-putar mengelilingi kota. Suasana pagi yang gerimis membuat syahdu suasana. Aku pun menikmati perjalanan ini dengan hening, karena Mas Ari sepertinya sedang tidak ingin banyak berbicara.
Mobil ini berjalan melewati tempat-tempat yang biasa kami kunjungi bersama Chika, anak semata wayang kami. Setiap akhir pekan Mas Ari selalu mengajak jalan-jalan keluar sekedar melepas penat, setelah bekerja selama sepekan. Meski terkadang hanya sekedar makan bersama dengan menu sederhana. Bukan kemewahan yang menjadikan istimewa, namun kebersamaan dalam canda dan tawa diantara kita adalah sesuatu luar biasa.
Pada tempat-tempat yang meninggalkan kenangan itu Mas Ari memandangnya dalam seolah sesuatu yang berat untuk ditinggalkan. Terkadang berhenti sejenak dan melemparkan pandangan lalu melanjutkan perjalanan.
Tak terasa dua jam telah berlalu, mobil Mas Ari berjalan kea rah rumah sakit, tempat aku bertemu dengannya tadi.
‘Loh Mas, kok ke rumah sakit, ayo kita pulang ke rumah. Pasti Chika senang sekali ketemu kamu Mas. Apalagi bawa mobil baru,” kataku sambil menyentuh lengannya.
Mas Ari kembali tersenyum tanpa memberikan jawaban. Ia tetap melajukan kendaraannya masuk ke halaman parkir rumah sakit. Setelah membukakan pintu untukku, ia mengajakku kembali ke tempat dudukku pagi tadi bangku panjang di taman rumah sakit.
Setelah aku duduk di tempat semula, ia memelukku erat. Lalu memegang kedua bahuku, menatap dua bola mataku pandangan yang sulit dilukiskan. Harus kuakui, Mas Ari terlihat lebih segar, wajahnya putih bercahaya. Aku menikmati pandangan mata yang tak bisa kulupakan walau sekejap.
“Dek…Mas harus berangkat segera. Mas akan pergi jauh. Kuharap ikhlaskan kepergian ini. Jaga anak kita baik-baik ya, yakinlah suatu saat kita akan bertemu kembali.”
“Tapi Mas, Chika belum lihat mobil barunya. Kita pulang dulu saja ya Mas, rengekku tak mau berpisah.”