Mohon tunggu...
Kristianus Garman
Kristianus Garman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pecinta Kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pergi yang Abadi

22 Maret 2024   13:59 Diperbarui: 22 Maret 2024   14:09 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

I

Surat Pertama 

"Di sini di ruang gelap yang hampa dan sepi sendiri tanpa ada yang menemani. Tangan dan kakiku dipenjara oleh dingin yang tak pernah selesainya. Hati dan jiwa tengah dipenjara oleh rasa rindu. Tanganku gemetar untuk merangkai kata, namun aku memaksanya untuk menderetkan sejuta aksara agar rasa ini sempat tersampai. Air mataku telah membasahi kertas usang ini untuk menyampaikan rasa yang tak bertuan. Tentang jiwa dan badan yang berdiri kokoh, tetapi rasanya pergi. Untukmu kuderetkan larik-larik puisi ini karena engkau telah lama pergi dan aku tak tahu kapan engkau akan kembali. Ah, itu adalah urusanmu. Aku bosan dengan Tanya kapan engkau pulang. Meski hati terus teriris oleh syair-syair sendu. Dan luka kian mengangga setiap pagi,ketika aku mengingatmu. Sampai aku terhenti pada titik terakhir untuk mengiklaskanmu tetap pergi. Meski rumah selalu tetap rindu untukmu pulang. Terutama aku yang paling memendam rindu untuk mengetahui sosokmu. Apakah engkau sudah Tua? Siapa yang memberimu makan? Jika suatu hari engkau pulang aku telah menyediakan puisi yang paling indah. Aku telah menyiapkan sajak paling sempurna dari setiap juru pena."

Surat Kedua "Namun, saat ini salah satu titikmu yang jatuh pada rahim mama tengah menunggu engkau di pelataran rumah.  Kini Ia tumbuh dalam setiap detiknya waktu. Kini ia menjadi pribadi yang selalu menunggu setiap datangmu. Di matanya sejuta mendung yang belum dihujankan. Ia menjadi kata yang paling murung dalam setiap puisi yang kau cipta ayah. Ia menjadi pribadi yang paling nyeri atas luka yang kau tusuk dalam lubuk hatinya. Ia selalu menunggumu kala Senja berpamit pergi. Dan  berharap engkau pulang bersama malam dan ada bintang yang menuntun engkau pulang seperti para raja menjenguk Yesus dalam cerita malam sang mama.  Ternyata engkau enggan untuk  pulang.Biarlah. Jariku kini letih untuk menciptakan puisi. Hati kini menjadi beku untuk memikirkan setiap kata untukmu. Aku mulai bosan dengan menunggu. Biarlah engkau pulang sendiri."

Terakhir. "Ayah. Aku pernah mendapat cerita bahwa aku pernah mempunyai sosok yang orang sebut ayah. Suatu sore, sosok yang pernah mengandung, melahir,dan mendidik engkau pernah bercerita tentangmu kepadaku. Dan asal engkau tahu aku tak pernah mengerti tentang cerita itu. Pada waktu itu, ada mendung diraut wajahnya yang kian kerut ketika ia bercerita. Ada nestapa yang tak pernah berlalu. Ada sesal dalam setiap hembusan nafasnya. Ada luka dan derita di matanya . Tahukah engkau, ia pernah berkata kepadaku bahwa ia sempat menyesal mengadakan engkau di jagat yang pernah durjana ini. Dan ia ceritanya tentangmu begini, "Engkau adalah salah satu sosok yang paling mengerti tentangnya dari sekian banyaknya saudaramu. Engkau menjadi tulang punggung untuk keluarga. Mengingat waktu itu ayahandamu telah pergi. Dan suatu hari engkau meminta restu kepadanya, bahwa engkau ingin pergi merantau untuk mencukupi kebutuhan hidup. Waktu itu aku masih umur satu bulan. Dan dua putri kembarmu umur dua tahun. 

Pada usia yang masih pagi engkau pergi meninggalkan kami semua dan mama.Kami semua berdoa untuk pergimu agar sang pemilik kehidupan agar ia berpihak padamu. Sungguh doa kami didengarnya dan engkau tiba di seberang samudera dengan bahagia dan tawa. Pada tahun-tahun awal engkau  di sana engkau masih memberi kabar dan membagi hasil dari jerih payahmu. Namun, setelah lama di sana engkau tak pernah memberi sedikit ceritamu sampai detik ini."  Aku sangat nyeri untuk menantimu sosok misteri. Asal engkau tahu orang yang pernah melahirkanmu kini ia sedang melipat selimut laranya. Ia terbaring dalam derita yang cukup lama. Dan dalam doanya selalu menyebut namamu. Dan hal itu yang menyayat hatiku ayah. Membuatku sabar menantimu. Dalam setiap ujud dan doa aku selalu menyebut namamu. Agar engkau segera kembali.

Teruntuk buah hati. Dari lubuk hati dari wanita yang menahan nyeri . Aku deretankan setiap aksara nestapa. Ketika ayahanda telah pergi . Dan meninggalkan kamu buah hati. Aku menghaturkan maaf atas salah sang mama. Aku adalah wanita yang paling tak berniliai, membawa kalian dalam skenario kelalimanku. Maafkan aku yang tak pernah memberikan kalian tawa . Namun selalu menancapkan duri yang paling nyeri. Membuat kalian terlarut dalam lara. Wahai,, anakku. Maafkan aku ini hamba yang tak berguna yang hanya menciptakan luka padamu. Lupakanlah dia yang menghadirkan kalian dalam rahimku. Biarlah ia tetap pergi mencari setiap lentik jari yang paling bernilai di hati. 

Dia terbujur kaku. Lidahnya kelu menyimak setiap kata yang dirangkai dengan rapih. Butir-butir air bening perlahan jatuh dari matanya yang penuh sesal. Tangannya gemetar ketika memegang beberapa kertas usang di tangannya. Pipinya yang keriput mengisyaratkan lara yang tak pernah selesai dalam dirinya. Ia terus mengurai air mata ketika ia membaca deretan syair-syair pilu dari buahnya yang kini tumbuh tanpa hadirnya di sisi mereka. Meski hanya memberikan cerita sebelum buah hatinya terlelap dalam dekapnya. Atau hanya sebatas menceritakan kisah cinta mereka kepada anak.  Benang-benang di tubuhnya perlahan pisah dari kumpulannya. Ia tak teratur. Ia jatuh tersungkur di lantai tanah rumah yang ia dirikan beberapa tahun lalu. Matanya mengingat seribu tawa di tempat itu. Air mata tak pernah bosan melintasi kerut pipinya. Sampai malam pun tiba ia terbuyur kaku. Tenanganya terkuras oleh air mata akan lara yang menimpanya. Gelap menyelimuti rumah kecil itu. Ia pasrah pada gelapnya malam. Ia tertidur pulas dengan alaskan derita dalam jiwanya.  Sampai ia menghembus nafas selesai dengan air matanya sendiri. Ia meratap sendiri atas perginya.

Paginya orang banyak mendatangi rumah itu. Melihat ia yang tertidur untuk selamanya. Melihat ia pergi dengan derita. Tak ada suara  tangis untuk mengiringi perginya yang terakhir. Orang malah menghantarnya dengan cerca dan hina. Ia sungguh telah pergi sebelum sesalnya diampuni. Sebelum ia mendengar sapa dari anaknya. Atau sekadar melihat senyum dari anaknya yang kini dewasa tanpa kasih darinya. Dia tergeletak secara sadis seperti sesadis tindakannya . Di tangannya memegang sepucuk kertas  usang dan pena terletak di atas tubuhnya yang dimakan oleh keringat derita. Dan ia sempat meramu syair tentang cinta dan sesal darinya kepada keluarga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun