Mohon tunggu...
Dessy Yasmita
Dessy Yasmita Mohon Tunggu... Desainer - valar morghulis

If you want to be a good author, study Game of Thrones.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Bukit Ada Kunang-kunang Terbakar

25 Juli 2020   11:34 Diperbarui: 27 Juli 2020   16:21 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Artie_Navarre dari Pixabay (pixabay.com/Artie_Navarre)

1. KOREK 
Dia menatap korek yang diputar-putar dengan jarinya, menimbang-nimbang untuk menyalakan atau tidak. Malam memang dingin. Jauh di depannya kota kelap-kelip, sunyi aktivitas.

Sudah berapa lama? Dia bertanya dalam hati, lalu menghitung-hitung. Tiga tahun. Tiga tahun dia tidak tidur. Mungkin ada satu atau dua jam per hari.

Sebelum tiga tahun itu dia dikenal sebagai rajanya remaja. Ketua geng, bad boy, atau apalah titel yang mereka semat. Dia bangga dengan status itu, bangga namanya dikenal. 

Semua orang takut padanya, pedangnya, dan motornya. Dulu dia sering membayangkan dirinya samurai bermotor. Dia ingat masa-masa emas itu karena kepala bocel dan lengan terbaret, bau darah dan bensin, teriakan dan rintihan hanya satu-satunya yang membuat dia hidup.
Hidup.

Dia tersenyum miris. Dulu begitulah dia memaknai hidup sampai malam laknat itu tiba. Pertempuran dengan sekolah wilayah lain telah diatur di sebuah tanah lapang. Begitu dimulai, pertempuran pantang usai sebelum semua lawan menyerah. Itu mottonya. 

Malam memang belum terlalu malam dan pasukan musuh sudah kocar-kacir. Matanya memindai sekeliling sampai dia menemukan sosok itu. Diiringi teriakan dia mengejar musuh yang berjalan. 

Anak itu sempat menoleh ketakutan, lalu lari. Dikejarnya, ditebasnya anak itu. Anak itu menjerit minta ampun, tapi tak didengarnya. Kesal dengan jeritan itu, dia berhenti, membiarkan motornya jatuh, dan menusuk anak itu berkali-kali. Jadi pria jangan cengeng. Namun, anak itu diam terkapar.

Sejak saat itu dia minggat, lari dari kota. Malam dan siang ia mencoba tidur, tetapi sosok anak itu terus menghantuinya. Tiga tahun, tanpa henti. Dia sudah memohon pada mimpi-mimpinya untuk memberi ketenangan. Namun, mereka tak menggubris.

Kota masih kelihatan lelap dalam kelap-kelip. Dia tahu malam ini dia harus membasuh dosa-dosa lama dan menanggalkan titelnya. Disambarnya jeriken yang menguarkan bau, lalu dinyalakannya korek yang tadi dia mainkan. 

Di sebuah sudut kota, seseorang tengah menatap ke bukit sambil merokok. Mulanya ia melihat kelap-kelip, lalu terpana melihat api menari.

2. BALKON
Di sebuah sudut kota, seseorang tengah menatap ke bukit sambil merokok di balkon. Mulanya ia melihat kelap-kelip dan bertanya-tanya dalam hati, seberapa ramai kunang-kunang ada di sana.

Dia lupa pada rokoknya. Matanya tajam mengawasi bukit. Pasti ribuan kunang-kunang, pikirnya, tetapi sejak kapan? Tiga tahun yang lalu dia pindah ke apartemen ini dan sejak saat itu pula dia merokok di balkon. Tak pernah kunang-kunang terlihat di bukit yang entah berapa kilo jaraknya.

Dia menatap langit malam, mengingat masa kecilnya di kampung. Kapan musim kunang-kunang? Dia tak ingat lagi. Sudah lama sekali. Hampir dua puluh lima tahun yang lalu.

Dulu dia mencemooh orang-orang yang tak bisa mengingat masa lalu atau pelajaran sejarah. Sekarang dia mengerti. Kehidupan mengambil alih ingatan. Kita membuang ingatan yang telah karatan dan memberi ruang pada memori-memori baru.

Pintu dibuka. Istrinya menyembulkan kepala. "Masih lama?"
Dia balas bertanya tanpa mengalihkan kepalanya dari bukit, "Apa kita pernah lihat kunang-kunang di kota ini?"
Istrinya mengernyit. "Tidak. Seingatku, tidak."
"Tidurlah. Sebentar lagi rokokku habis." Kali ini dia menoleh, menatap istrinya. 

Sepuluh tahun menikah, rasanya tak ada yang berubah pada tubuh perempuan itu. Sifatnya pun tidak. Dia masih senang menonton film horor dan tak bisa memasak. Setiap pagi sang istri masih cerewet mengingatkan ini dan itu, seringkali membuatnya begah.

Bercerai. Kedengaran saru, tetapi pikiran itu telah melintas beberapa kali dalam pikirannya. Dia merasa ruang geraknya menyempit. Itu sebabnya--

Handphone bergetar di saku celana. Dia seperti tersirap ke dunia nyata, merogoh dan tergopoh mendekatkan benda itu ke telinga. Sebelum bicara, dia mengisap rokoknya yang tinggal secuil dalam-dalam. "Jangan sekarang."

"Kenapa? Kau sibuk apa?" tanya suara di seberang.
"Kau tahu kenapa."
Mereka diam sejenak.
"Kau bisa melihat kunang-kunang di bukit?" Si pria melanjutkan.

Perempuan itu mengernyit. Apartemen mereka hanya berjarak tiga blok. Dia bisa melihat bukit yang sama. Dia berjalan ke jendela, lalu menyibak tirai. 

3. TIRAI
Perempuan itu mengernyit, melirik ke arah suaminya yang duduk menunggu di ruang keluarga. Dengan handphone masih di telinga dia  berjalan ke jendela ruang makan, lalu menyibak tirai. Dari sini dia  bisa melihat bukit yang sama, hanya saja terhalang apartemen lain. Padahal tempat ini hanya berjarak tiga blok dari kakaknya yang masih menunggu jawaban.

"Aku tak melihat apa-apa."
Kakaknya mendesah pelan, lalu berkata, "Aku tidur dulu."
Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tahu waktunya tidak tepat.
"Bagaimana?" Suaminya bertanya. Rautnya cemas. Dia menggeleng.

Sang suami meninju sandaran sofa. Dia mengambil kotak rokoknya. "Sungguh tak berguna. Bahkan di saat seperti ini dia tak mau menolong. Apa dia segitu takutnya pada istri?"

"Bukan begitu. Aku belum bisa ngomong sekarang. Dia keburu mau tidur."
"Alah, alasan!" Suaminya mendengus lagi kemudian dengan langkah gusar pergi ke pintu utama.
"Mau ke mana?"
"Mikir!"

Pintu dibanding keras dan ruang segera sepi. Banyak yang sebenarnya ingin dia katakan pada sang suami, tetapi segalanya tercekat di paru-paru.

Setelah terdiam beberapa saat, dia kembali ke jendela dan menepikan tirai seolah-olah pagi telah datang. Bukit yang dia lihat legam dalam malam. Tak ada kunang-kunang. Dia bergidik.

Kunang-kunang mengerikan. Sejak kecil dia selalu takut pada kelap-kelipnya. Entah mengapa, dia merasa diawasi serangga itu. Kalau kakaknya sedang asyik mengejar mereka, dia pura-pura menikmatinya. Rahasia itu masih aman hingga hari ini.

Sekelebat ide lewat. Bagaimana jika dia menukar rahasia ini dengan uang? Dia butuh uang. Suaminya butuh uang. Utang-utang harus dibayar. Meski sebagian berhasil ditunda, tak berarti mereka bebas. Ide itu kembali mengganggu pikirannya. Layakkah rahasianya ditukar uang?

Beberapa meter dari apartemen, sang suami berhenti sejenak, menghela napas. Dia tahu seharusnya tak membentak. Namun, kata-kata itu meluncur lancar begitu saja.

Angin malam singgah di tengkuknya dan entah mengapa dia merasa kedinginan. Kakinya bergerak lagi, melangkah ke kedai kopi di seberang jalan. Tak didengarnya bunyi klakson.

4. TITIPAN
Orang itu menyeberang ke kedai kopi di seberang jalan. Tak didengarnya bunyi klakson. Terlambat sedikit, dia mungkin jadi mayat. Untunglah pengendara mobil sigap membanting setir dan menghindar.

Pengemudinya seorang perempuan paruh baya yang kusut penampilannya. Dia jelas keluar bukan untuk bersenang-senang. Beberapa meter dari situ dia mengerem mobil dan melihat melalui spion dalam, orang yang nyaris ditabraknya mengepalkan tangan dan memaki.

Tak ada waktu. Dia tancap gas lagi.

Pertama, dia sudah mencari di rumah beberapa teman anaknya. Sekarang dia menuju kafe yang sering jadi tempat anak muda ngumpul. Setelah lima belas menit dia tiba, tetapi anak perempuannya tak ada di sana. Hanya saja, satu jam yang lalu dia dan pacarnya di situ.

Handphone-nya tidak diaktifkan. Menghubungi polisi saat ini percuma saja. Sejak pertengkaran semalam, si anak tak mau pulang. Dia menginap di rumah teman perempuannya dan setelah itu bersama pacarnya, sampai sekarang.

Perempuan paruh baya itu tak tahu apakah selama ini dia terlalu keras atau terlalu lembut, tak tahu apakah dia benar-benar mengenal putrinya. Sebuah perasaan menyalip di hatinya.

Dia segera menepi. Dia menatap spion dalam, melihat wajahnya dan rambutnya yang mulai beruban. Seperti badai, ingatan tentang putrinya memenuhi kepalanya.

Dulu dia selalu bersama anak semata wayang itu. Namun, sejak bercerai, dia harus bekerja. Biaya hidup dan keinginannya menyekolahkan anak setinggi mungkin malah membuatnya kian jauh dari si anak. Anak itu selalu jadi titipan, entah pada ibunya, pada tetangga, pada tempat penitipan anak, dan setelah berusia 13 tahun dia selalu sendirian di rumah.

Sekonyong-konyong dia menangis. Dia ingin memutar waktu, kembali ke masa lalu, mengulang lagi dari nol. Jika ada keajaiban itu, jika bisa ditukarnya dengan sesuatu, perempuan itu bersedia sepenuh hati. Namun, keajaiban hanya cerita anak-anak. Sudah terlambat untuk menginginkannya.

Di sela tangisan dia jatuh tertidur. Ada mimpi samar-samar yang kemudian terganggu oleh dering handphone-nya. Begitu melihat nama si anak, tubuhnya menegang. 

5. JAUH
Begitu melihat nama si anak, tubuhnya menegang. Dia nyaris berteriak. "Hallo?!"

Di seberang, seorang remaja berdiri di balik pintu toilet yang dikuncinya. Dia mendengar suara ibunya yang meninggi. Gemetar dia menjawab, "Ma."

Ada keheningan sejenak. Setelah itu, si ibu menyerocos, bertanya ini dan itu. Tidak ada nada marah, hanya kekalutan. Si anak merasa bersalah dan pada satu titik dia ingin menangis.

Dia ingin bercerita tentang pemandangan yang dilihatnya satu jam yang lalu, pemandangan yang tak mungkin bisa dia lupakan. Padahal setelah pertengkaran semalam, segalanya berjalan lancar.

Dia menginap di rumah teman dan pulang sekolah jalan-jalan dengan pacarnya. Mereka memasang beberapa rencana dan pilihan terakhirnya adalah pindah.

Namun, ongkos tidak memungkinkan. Dana dan uang yang mereka kuras dari tabungan masing-masing tidak akan cukup untuk bertahan lebih dari empat hari. Jadi, mereka memutuskan untuk jalan-jalan saja seharian. Begitulah.

Setelah dari kafe, mereka memutuskan untuk berkeliling, terutama di pinggiran kota. Semuanya terasa asyik. Lagu di radio cocok untuk perjalanan. Mereka bergoyang sambil terus berkendara.

Ah, dia sungguh menikmatinya. Untuk pertama kalinya dia merasa sangat senang. Dia tidak pernah jalan-jalan seperti ini sebelumnya. Apalagi sang pacar sengaja sedikit ngebut saat mobil mulai menanjak bukit. Di sudut-sudut kelokan, dengan riang dia menjerit karena tubuhnya diombang-ambing kecepatan.

Kecepatan itu indah. Statis itu membosankan. Itulah yang dia kenang tentang hidupnya. Membosankan. Selalu sendirian. Dia butuh kebisingan dan kecepatan karena diam mengerikan. Itu pikirannya sampai di detik dia melihat kobaran di tepi jalan. Nyalanya besar, membentuk serpihan api dan abu.

"Orang bakar sampah," gerutu sang pacar. Namun gadis itu menyadari sesuatu yang salah. "Itu ... bukannya orang?"

Sang pacar mengerem mendadak. Mereka membisu, tetapi mobil dipenuhi musik yang riuh. Sementara itu, pemandangan di depan mereka tampak magis. Seperti boneka sawah menari liar. 

Sang pacar kemudian menyumpah dan mobil digas habis. Si gadis menoleh. Dia melihat bola api lebih kecil jatuh dari kobaran yang besar.

6. PAGI
Sang pacar menyumpah dan mobil digas habis. Roda mencicit karena dipaksa kabur. Dia tak ingin mengingat apa yang baru dilihat.

Pemandangan barusan telah membuat kemaskulinannya porak-poranda. Kegagahannya ciut dan ketakutan segera menguasainya. Segala pikiran berseliweran dan dia sibuk menyusun skenario.

Sebelum mereka berhenti di pom bensin, tak seorang pun berbicara. Musik sudah lama dimatikan. Dia tak ingat siapa yang mematikannya. Mungkin gadis itu, gadis yang setengah-setengah saja disukainya.

Dulu dia hanya ingin menaklukkan gadis yang superpendiam itu. Dulu dia hanya ingin bersenang-senang. Pacaran itu bersenang-senang, kan? Sekarang dia terjebak bersamanya. Coba saja mereka tidak pernah pacaran, pemandangan laknat tadi tidak perlu dilihatnya.

"Jangan ceritakan pada siapa pun." Begitu kalimat pertamanya sebelum mobil berhenti untuk mengisi bensin.
"Kenapa?"
"Kau gila? Kita bakal dituduh pembunuh!"
"Tapi ..."
"Belilah makanan," potongnya, "yang banyak. Kita harus ke luar kota."

Sang gadis tampak ingin membantah, tetapi urung. Tanpa banyak bicara dia pergi ke minimarket.

Saat melanjutkan perjalanan, tak ada percakapan maupun musik. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Si pria tanggung semakin menyesal telah memacari gadis di sampingnya. Pergi berdua lebih menyulitkan. Dia tak mungkin membunuh pacarnya dan meninggalkan lebih banyak jejak. Dia juga tahu, dia tak ingin bertanggung jawab atas gadis itu. 

Hari sudah pagi ketika mereka tiba di kota kecil berikutnya. Lagi-lagi mereka berhenti di pom bensin, menumpang kencing. Ketika dia kembali dari toilet, si gadis belum kelihatan. Perempuan selalu lama. Gadis ini pun selalu lama di toilet. Selama ini dia pura-pura saja sabar menunggu. Sekarang tidak. Dia menyalakan mobil. Jarinya sibuk mengetuk setir. Tak tahan, dia keluar menuju toilet perempuan. "Rin! Masih lama?"

"Tunggu."

Dengan kesal dia kembali ke mobil. Satu menit. Dia bersumpah menunggu semenit. Dia tak tahu kalau pacarnya saat itu sedang menelepon ibunya. Namun, semacam dorongan liar membuatnya mengambil keputusan. Dia tidak akan menunggu lagi. 

Mobilnya perlahan-lahan meninggalkan pom bensin.

SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun