“Bagaimana jika kita membuka kelas tari bersama dan kau mengajariku balet?”
Sabrina berdiri membelakangiku. Tubuhnya dibasahi hujan.
“Apa katamu? Kita? Kau pikir, kau ini siapa?”
“Aku memang bukan siapa-siapa tanpamu, Sabrina.”
Perempuan itu membalik tubuhnya, mendekatiku, menampar.
Plak!
“Kau tak berhak bicara seperti itu!”
“Apa laki-laki yang sudah mati masih berhak memilikimu?”
“Mulutmu lancang sekali!”
Sabrina berlari meninggalkan pekuburan, meninggalkanku. Aku mengikutinya, berusaha menghapus jejak pedihnya. Tubuh kurus yang kurindukan terduduk di bangku taman di bawah pohon. Hujan membuat bibirnya sedikit pucat.
“Dulu di tempat ini, kami pasti sudah berciuman jika hujan tak turun. Dia melamarku. Aku masih ingat bagaimana kami memutuskan untuk merajut masa depan bersama.”