Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mata Sabrina

22 Februari 2017   11:12 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:30 3129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Dia kerap memandang keluar jendela sebelum akhirnya berlama-lama menatap bangku kosong di hadapannya. Ia melakukannya setiap sore hingga jam buka warung ini usai.”

“Apa Sabrina sedang menunggu seseorang?”

“Mungkin seperti dugamu, atau ia sedang melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan saat ini.”

Laki-laki paruh baya memintaku ikut dengannya. Di balik dapurnya, terdapat anak tangga. Aku menyusulnya naik ke lantai dua. Terperanga. Ada ruangan kosong dengan cermin melapisi semua dinding.

“Lepas alas kakimu.”

Aku meletakkan sepatu di rak kecil sebelah sepatunya.

“Dulu Sabrina sering menari di sini. Dia balerina.” Laki-laki paruh baya mengajakku duduk di lantai kayu. “Anak laki-lakiku membuatkan studio tari ini untuknya. Sejak anakku jatuh cinta pada Sabrina, warung kopiku menjadi penuh dengan anak-anak. Sabrina memberikan les tari gratis. Dulu aku hanya menjual kopi dan Sabrina menambahkan menu baru: cokelat. Jika ingin menari, datanglah kemari dan dapatkan potongan untuk pembelian secangkir cokelat hangat, begitulah cara Sabrina mempromosikannya. Wajar bila warungku tak pernah sepi dari canda tawa anak-anak.”

Aku mengerti mengapa Sabrina begitu dikenal di kota ini. Ia membuat banyak anak-anak bahagia. Bagi para orang tua, secangkir cokelat hangat tidak lebih mahal dibanding senyum anak mereka.

“Semua orang tahu bahwa Sabrina memiliki mata yang indah. Jika ia sudah menari, memutar-mutar tubuhnya, keindahan itu semakin terpancar. Anakku sering menghabiskan waktunya untuk memandangi tarian Sabrina di tangga itu. Kekagumannya pada Sabrina mengubahnya menjadi laki-laki yang ceroboh. Pernah suatu kali ia lupa mematikan kompor. Asap mengepung dapur. Untung aku segera mematikannya. Dan berkali-kali ia keliru mengantar pesanan ke pengunjung. Sampai di sore itu, matanya lebih awas pada setiap detail gerakan tari Sabrina hingga tergelincir saat menaiki anak tangga. Benturan di kepala membuat nyawanya tak tertolong.”

Laki-laki paruh baya menghela napas. Terdiam, memandangi wajah kami yang terpantul pada dinding cermin. Aku membuka suara.

“Sabrina masih menari?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun