Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

no

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Aisa 23: Cinta Kita Berdua

7 Februari 2017   05:45 Diperbarui: 7 Februari 2017   08:05 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Simpati seorang teman, batin Aisa. Kak Lit, kamu kalah! Sayangnya Lalita tak mungkin mendengar suaranya yang hanya diucapkan dalam hati.

“ Tidak. Aku tidak dipukuli mama. Mama melahirkan, masih terlalu lemah untuk memukul orang.” Kata Aisa tanpa maksud bercanda,  Prana tertawa mendengarnya. “ Maaf, aku tak bisa memenuhi janji, uangmu akan kukembalikan.”

“ Tidak usah. Siapa tahu suatu saat ibumu berubah pikiran. “

“ Ibuku sifatnya keras, tak mungkin berubah pikiran.”

“ Kak Lit mengatakan kamu berbakat, tak lama lagi sudah bisa menjahit. Uang itu tak usah dikembalikan. Gunakan untuk membeli mesin jahit, atau  suatu saat kalau kamu ingin membuka usaha jahitan, gunakan untuk modal menyewa tempat.”

Kak Lit mengatakan aku berbakat? Berarti Prana pernah datang kemari menemui kak Lit. Pertanyaan itu berkecamuk di hati Aisa. Apa saja yang Prana omongkan hingga Kak Lit mengatakan jempol sebelah, jempol yang terikat benang merah dewa Guat Lao Kong ?


Mendengar omongan Prana yang teratur sopan itu bagai angin surga bagi telinga Aisa. “ Sampaikan terima kasihku pada teman teman papa.” Aisa menahan airmata sekuat mungkin, tapi tetap saja matanya berair.

“ Akan kusampaikan. Ohya, aku belum makan. Tadi pulang sekolah ikut mobil jemputan teman ke sini. Mobilnya mengantar teman ke Sidorejo. Gimana kalau kamu temani aku makan di sebelah ? Kamu suka baso ?” tanya Prana.

Aisa menggeleng. “ Aku masih kenyang. Tapi, Aku bersedia menemanimu.” Seharusnya aku menolak, supaya tidak diledek Merry, Liana, Santi dan Corry, terlebih kak Lit. Kenapa aku malah menawarkan diri ? Tidak. Aku bukan menawarkan diri. Aku hanya membalas ramah tamahnya karena ia telah memberiku peluang membuka usaha jahitan di masa depan. Tanpa bantuannya, entah  kapan baru aku bisa membeli mesin jahit. Ibu tak mungkin memberiku uang.

“ Yuk,”  Ajak Prana, berdiri, dan berjalan keluar. Aisa mengekori. Tiba di tempat para penjahit, ia mendengar suara ehem-ehem beberapa kali. Suara ehem ehem itu telah membuat kepalanya terasa berat sekali.

Jam 1.30 warung bakso tidak ramai. Kebanyakan yang makan anak-anak Bukit Datuk dan Bukit Jin. Maklum saja, hanya mereka yang punya uang jajan lebih dibanding yang bukan bekerja di perusahaan perminyakan. Prana memesan dua mangkok baso. Aisa menggeleng. Prana tetap memesan dua mangkok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun