“ Siapa si dia ? “ nada Aisa ikut berirama.
“ Aku gak mau ngasi tahu, biar kamu penasaran sampai tua,“ lagi-lagi ucapan Lalita berirama, mirip nyanyian.
“ Aisa !!! Ada yang cari !!!!” teriak Corry dari ruang depan. Aisa kaget, segera menoleh ke depan. Terlalu asik ngobrol membuat ia menatap meja tempat Lalita memotong bahan, lupa menjahit. Wajahnya pucat ! Ngapain dia datang kesini ? Apa sudah pulang sekolah ? Aduh, habis donk aku diledek Kak Lit 7 hari 7 malam, keluh Aisa dalam hati.
Dengan lutut gemetar ia berjalan ke depan. Gaya jalannya mirip bertemu Lutong di kebun singkong. “ Kak Prana, silahkan duduk.” Ia menyodorkan kursi yang biasa di duduki pacarnya Corry.
“ Jangan mau diajak duduk disitu, Prana! Disitu bukan ruang bebas pacaran !” teriak Lalita dari dalam. “ Kesini aja! Aku mengalah deh, aku pergi membeli ritsliting !”
Prana tersenyum kaku, sementara wajah Aisa bersemu merah dadu. Prana tidak duduk, Aisa menunggu reaksi Prana. Lalita membuktikan omongannya. Ia mengambil kunci motor sambil berjalan menuju motornya. Saat lewat di samping Prana dan Aisa, ia memberi kedipan sambil berehem dua kali. Aisa tak sanggup mengangkat kepalanya.
“ Yuk, ke dalam ?” ajak Prana.
Aisa merasa lebih baik pembicaraan mereka dilakukan di dalam agar tidak terdengar oleh Corry, Liana, Santi dan Merry. Ia mengekori Prana berjalan ke dalam. Aisa duduk di belakang mesin jahit, sementara Prana duduk di depan meja tempat Lalita mengukur bahan.
“ Ibumu tak mengizinkan kamu melanjutkan ?” tanya Prana.
“ Iya, “ jawab Aisa gugup. “ Duitmu akan kukembalikan. Kapan kamu akan mengambilnya ?” tanya Aisa, masih belum hilang gugupnya.
“ Aku datang bukan untuk mengambil uang. Aku mengunjungimu untuk melihat apakah kamu dipukuli ibumu atau tidak gara gara kedatangan paman Setya.”